Bab 3

2000 Words
Arum sedang menuangkan mie buatannya ke dalam mangkok, bau mie kari soto tentu saja membuat rasa lapar semakin meronta-ronta dalam dirinya. Ia segera membawa mangkok mie miliknya menuju meja kerjanya. Arum tinggal di sebuah kos-kosan di daerah Jakarta. Kamar kosannya memiliki dua ruangan terpisah serta kamar mandi. Ruangan pertama adalah kamarnya yang berisi ranjang, lemari dan meja kerja yang di atasnya ada sebuah komputer yang ia gunakan untuk menulis n****+. Ruangan kedua hanya terpisah tembok dan ukurannya cukup kecil, ruangan itu berfungsi sebagai dapur dan ada kulkas kecil yang terpasang di sudut tembok lalu dari ruang kecil tersebut langsung terhubung dengan pintu kamar mandi. Arum meletakkan mangkok mie di atas meja samping komputer kemudian ia segera duduk dengan wajah bahagia. Arum menatap layar komputernya yang berisi susunan kerangka untuk n****+ baru yang akan ditulisnya, untuk mengumpulkan ide ia memutuskan membuat mie agar otaknya bisa bekerja dengan baik. Arum baru saja akan menyuapkan mie tersebut ke dalam mulutnya, namun gerakannya terhenti saat suara dering handphonenya terdengar. Ia segera meletakkan kembali garpu lalu mengambil handphonenya yang berada di atas ranjang. Arum tersenyum bahagia saat melihat bahwa panggilan yang masuk adalah dari Neneknya yang saat ini berada di Jogja. Ia segera duduk di atas ranjang lalu menekan tombol terima dan menempelkan handphonenya ke telinga. "Hallo Nek," sapa Arum dengan semangat. "Halo Arum. Kamu gimana kabarnya nak?" Tanya Neneknya Arum. "Baik kok Nek," jawab Arum sambil tersenyum senang. "Ini loh nak, si Leo mau ngomong sama kamu," ujar Neneknya. Arum tersenyum senang mendengar perkataan Neneknya. "Kasih ke dia dong Nek, aku juga kangen banget sama dia," ujar Arum. Arum sempat mendengar Neneknya berbicara dengan orang di sampingnya sebelum menyerahkan handphone pada seseorang. "Halo." Arum tersenyum mendengar suara yang begitu ia rindukan itu, "Halo sayang". "Ibu, Leo kangen. Ibu kapan pulang Jogja?" tanya Leo dengan suara cadelnya. Mendengar perkataan dari anak berusia empat tahun lebih beberapa bulan itu tentu membuat Arum seketika ingin menangis karena rasa rindu. Ia menarik nafas sebentar untuk mengontrol suaranya agar tidak serak karena menahan tangis. "Ibu masih sibuk sayang, kan Ibu nyari uang buat Leo. Tunggu ya, bulan depan Ibu pulang terus kita jalan-jalan," ujar Arum membujuk putra kecilnya itu. "Horeeeee, janji ya Bu." Arum mengangguk, walau ia sadar bahwa anggukan kepalanya tidak bisa dilihat oleh anaknya. "Iya sayang. Tapi janji anak Ibu harus jadi anak yang sehat dan rajin makan sayur, nanti ibu tanya Eyang loh". "Iya Ibu, Leo selalu makan sayur kok. Biar cepat besar dan bisa jagain Ibu dan Eyang," ujar Leo dengan penuh semangat. Arum tertawa mendengar perkataan anaknya ini. Dari dulu Leo selalu mengatakan, karena Ibunya dan Eyangnya hanya memiliki Leo maka dia yang akan selalu melindungi kedua wanita di hidupnya ini. Leo benar-benar menjadi harta paling berharga yang dimiliki Arum. "Bagus, anak Ibu emang pintar," puji Arum, "Bisa kasih handphonenya ke Eyang lagi? Ibu mau ngomong sama eyang." "Oke Bu," jawab Leo. "Halo Nak," sapa Nenek Arum yang suaranya terdengar lagi dari handphone. "Nek, Keadaan kalian di sana baik-baik aja kan? Ibu nggak dateng buat minta uang kan akhir-akhir ini?" tanya Arum memastikan kekhawatirannya. "Tenang saja nak, kami berdua baik-baik saja di sini. Ibu kamu dua bulanan ini sama sekali nggak pulang buat marah-marah dan minta uang," jelas Neneknya menenangkan Arum. "Kamu juga jaga kesehatan di sana, jangan kerja terlalu keras," lanjut Neneknya memberikan nasihat pada Arum. "Iya Nek," jawab Arum, "Oh iya Nek, Arum bulan ini nggak bisa pulang ke Jogja karena ada beberapa pekerjaan dadakan, Arum baru bisa pulang bulan depan kayanya," jelas Arum pada Neneknya. "Kalau Ibu pulang bulan depan, sebisa mungkin berusaha untuk sembunyiin uang yang ada ya," ujar Arum memperingatkan Neneknya. "Ya udah nggak apa-apa Nak. Asalkan kamu jaga kesehatan di sana. Kalau Ibu kamu datang Nenek yang bakal urus semuanya." "Iya Nek. Jaga kesehatan di sana ya," ujar Arum. "Ya sudah kalau gitu. Nenek nggak mau ganggu kamu terlalu lama, takutnya kamu ada kerjaan. Nenek matiin teleponnya ya." "Iya Nek." Arum kemudian melepaskan handphonenya dari telinga. Ia menatap sebentar ke arah wallpaper handphonenya dan tersenyum senang melihat gambar tersebut. Foto yang terpasang di wallpaper handphonenya adalah foto dirinya yang sedang memeluk Leo anaknya, rahasia yang ia sembunyikan dan berharap keluarga Mawardi tidak akan pernah mengetahui hal ini. ***** ~Satu Minggu sebelum Hendrik Mawardi meninggal (Lima Tahun lalu)~ Arum terlihat sibuk mencuci piring di dapur kediaman keluarga Mawardi, makan malam baru saja selesai satu jam yang lalu. Setelah mengantar kakek Hendrik mawardi ke kamarnya untuk beristirahat, Arum memilih langsung menuju dapur untuk membersihkan piring kotor sisa makan malam. Arum terus saja menggerutu kesal karena harus menyentuh piring kotor di saat dirinya sudah menjadi menantu orang kaya. Ia menggerutu kesal dari tadi sambil menghentakkan kakinya beberapa kali. "Bagas belum pulang?" Pertanyaan dari seseorang tersebut membuat Arum segera menoleh dan melihat ibu mertuanya yang berjalan menuju kulkas untuk mengambil minum. Putri Rahmawati Ibu mertuanya ini sebenarnya tidak begitu menyukai Arum karena ia tahu gadis itu hanya berakting menjadi anak baik di depan Ayah mertuanya agar bisa dinilai sebagai cucu mantau yang baik. Padahal ia hanyalah wanita matre yang diperalat oleh Ibunya untuk mencuri harta dan barang berharga dari rumah mereka. "Belum Ma. Dia pergi ke acara reuni SMA, jadi katanya pulangnya agak malam nanti," jawab Arum atas pertanyaan Mama mertuanya. "Kalau gitu kamu jangan tidur dulu sampai Bagas pulang," perintah Putri memperingatkan menantunya itu dengan tegas. "Iya Ma," jawab Arum malas-malasan. Putri kemudian meninggalkan Arum yang masih mencuci piring sambil menggerutu kesal mendengar perintah Mama mertuanya itu. "Emang dia pikir aku pelayan anaknya apa?" gumam Arum dengan nada kesal. Ia kemudian teringat dengan nasehat dari Ibunya. Hari ini ia harus melakukan rencana yang sudah disusun oleh Ibunya untuk menjebak suaminya Bagas agar bisa mendapatkan harta lebih banyak lagi. Setelah sepuluh menit, akhirnya semua cucian piring sudah beres. Arum segera membersihkan tangannya lalu menyiapkan minuman sus* coklat hangat yang Bagas sukai. Pria itu hanya bisa tidur setelah meminum s**u tersebut. Setelah s**u tersebut jadi ia melihat ke segala area untuk memastikan tidak ada orang yang memperhatikan dirinya saat ini. Begitu merasa kondisi sudah aman, Arum segera mengeluarkan sebuah obat perangsang dari saku celananya dan menuangkannya ke dalam gelas sus* yang sudah ia buat. Arum tersenyum senang melihat hasil kerjanya. "Dengan ini aku pasti bisa segera hamil anak Bagas dan ngehasilin banyak uang," gumam Arum kesenangan. Arum segera membawa gelas berisi sus* coklat hangat tersebut ke dalam kamar Bagas dan meletakkannya ke meja kecil di samping ranjang. Selama menikah Bagas sama sekali tidak pernah menyentuh dirinya dan malah selalu menatapnya sinis. Tapi Arum pastikan malam ini ia akan menjebak pria itu. Arum menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam, ia yakin Bagas pasti akan pulang sekitar tengah malam. Sambil menunggu Bagas pulang, Arum memutuskan mengambil buku n****+ kemudian jalan menuju ranjang. Ia memilih membaca n****+ sambil menunggu pria itu pulang. Setelah beberapa jam Arum selesai membaca halaman terakhir n****+ di tangannya, ia kembali melihat jam yang menunjukkan pukul dua belas malam. Arum seketika menguap karena rasa kantuk yang mulai menyerang. "Bagas pulang jam berapa sih? Kalau aku keburu ngantuk bisa gagal rencana menjebak dia" gerutu Arum yang mulai merasa gelisah. Arum sudah sangat mengantuk namun Bagas sama sekali belum ada tanda-tanda akan pulang, "Masa harus gagal sih malam ini?" gumam Arum merasa benar-benar kesal. Arum memilih meletakkan novelnya di meja kecil samping ranjang, lalu ia mulai membaringkan tubuhnya di kasur. Arum sudah tidak bisa menahan rasa kantuknya, jadi ia memutuskan untuk tidur duluan saja. Baru saja ingin memejamkan mata, suara ketukan pintu kamar mengagetkan Arum. Ia segera bangun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya di jam dua belas malam ini. Kalau Bagas pasti pria itu sudah langsung masuk, bukannya malah mengetuk pintu. Saat pintu terbuka, Arum melihat Gerald yang berdiri di depan pintu kamarnya dan Bagas. Pria itu terlihat kesusahan memegang Bagas yang kondisinya mabuk saat ini. "Hay Arum, aku mau nganter Bagas. Di acara reuni tadi dia minum terlalu banyak karena keasyikan ngobrol, jadinya mabuk kaya gini," jelas Gerald. Arum menatap Bagas yang terlihat setengah sadar dengan wajah yang sudah memerah. Ia kemudian beralih menatap Gerald, "Makasih ya. Biar aku aja yang bawa masuk," ujar Arum. Dalam hatinya ia bersorak senang karena rencananya akan berhasil sepertinya. "Kalau gitu aku pamit dulu." Setelah pamit Gerald langsung berbalik dan berjalan menuruni tangga meninggalkan Arum yang masih harus berjuang membawa Bagas masuk ke dalam kamar mereka. Arum segera menutup pintu kamarnya lalu dengan susah payah menyeret Bagas untuk menuju ranjang. Bagas yang sedikit linglung perlahan membuka matanya yang langsung menangkap wajah Arum yang berada dekat dengan wajahnya. "Kamu udah sadar?" tanya Arum sambil melambaikan tangannya di depan wajah Bagas. "Minum dulu," ujarnya sambil membantu Bagas meminum Sus* coklat yang tadi sudah ia siapkan. Ia tersenyum licik melihat Bagas menghabiskan minuman tersebut. "Lepasin gue," ucap Bagas sambil menepis kasar pegangan Arum padanya. Arum melepaskan tangannya dan membiarkan obat yang ia berikan bereaksi. Walau Bagas menolaknya tadi, ia yakin beberapa detik lagi pria itu akan membutuhkan dirinya. Tubuh Bagas mulai terasa Panas. Kepalanya mulai terasa sakit dan ia merasakan tubuhnya menegang begitu pandangan matanya menatap Arum. Bagas kemudian bergerak menarik Arum ke dalam pelukannya. "Bagas, lepasin," pinta Arum yang berpura-pura meminta dilepaskan. Semakin Arum meronta, semakin kencang pelukan Bagas dipinggangnya, tubuh mereka bahkan saat ini sudah menempel cukup rapat. Jantung Arum berdetak kencang saat ini. Ia sudah menduga akan melalui hal ini dengan Bagas. Namun ia sama sekali tidak menyangka efek pelukan Bagas dan tiba-tiba pria itu mulai bergerak mencium lehernya membuat tubuh Arum menegang. Terasa seperti ada aliran listrik yang saat ini mengalir di tubuh Arum. "Bagas berhenti. Lepasin aku," pinta Arum yang masih berakting seakan Bagas yang memaksa dirinya. Ia melakukan ini karena yakin Bagas pasti akan mengingat kejadian ini besok. Bagas menghentikan ciumannya di leher Arum namun tidak melepaskan pelukannya pada gadis itu. Ia menatap Arum tajam. "Kamu istri aku Arum. Apa salah aku meminta hakku sebagai seorang suami?" tanya Bagas. Arum terdiam tidak menjawab pertanyaan yang diberikan Bagas. ia menyembunyikan senyumnya menyadari Bagas benar-benar berhasil ia jebak saat ini. Melihat Arum yang hanya diam saja. Bagas segera meraih tengkuk Arum dengan tangannya untuk mendekatkan wajah mereka berdua. Hanya dalam beberapa detik Arum dapat merasakan benda kenyal menyentuh bibirnya. Bagas mencium Arum dengan begitu dalamnya, ia meraup bibir istrinya ini seakan sudah tidak ada hari esok. Tangannya yang tadi berada di pinggang Arum mulai naik ke atas punggung gadis itu, memeluk kuat Arum hingga tubuh mereka semakin menempel. Dengan bibir yang masih saling menempel, Bagas membawa tubuh Arum menuju ranjang. Bagas perlahan menjatuhkan tubuh Arum di ranjang kemudian membaringkan tubuhnya di atas Arum. Ia kembali meraup Bibir gadis di bawah tubuhnya ini, menyesap rasa manis dari bibir tersebut. Saat mulai kehabisan nafas Bagas melepaskan ciumannya di bibir Arum, namun ia tidak diam saja karena ia kembali berpindah mencium pipi lalu turun ke leher Arum. Arum awalnya masih berusaha berakting menolak semua yang dilakukan Bagas, namun tenaga pria itu lebih kuat dari dirinya dan membuatnya memilih berhenti berakting dan pasrah menerima perlakuan Bagas saat ini. Tubuh Arum seperti tersengat listrik saat merasakan sapuan hangat bibir Bagas di lehernya, pria itu bahkan mengisap kuat lehernya. Tangan Bagas tidak diam saja, secara perlahan ia mulai membuka satu persatu kancing piyama yang dikenakan Arum. Ia kemudian memeluk Arum dan kembali mencium bibir gadis itu. Tangan Bagas bergerak ke belakang punggung Arum untuk melepaskan kaitan bra gadis itu. Begitu kaitan bra tersebut terlepas, tangan Bagas langsung bergerak masuk di sela Bra dan meremas gundukan d**a Arum yang terasa begitu kenyal di tangan Bagas. Arum mengerang nikmat dan beberapa kali mendesah karena remasan kuat tangan Bagas di kedua buah dadanya saat ini. Ciuman Bagas di lehernya juga perlahan semakin turun hingga dadanya. Bagas sudah tidak tahan dengan panas tubuhnya serta area intinya yang sudah menegang dan memaksa ingin segera dipuaskan. Kejadian yang direncanakan Arum akhirnya berhasil ia dapatkan. Tubuh Arum dan Bagas benar-benar berhasil menyatu malam ini, bahkan mereka menghabiskan hampir lima ronde lebih sampai Arum begitu kelelahan dengan kekuatan Bagas yang sama sekali tidak ia duga malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD