Prolog
Arum keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua, ia menuju tangga lalu turun ke lantai satu. Saat sampai di lantai bawah seluruh anggota keluarga Mawardi sudah berkumpul di ruang tengah, ada yang menatap Arum dengan tatapan meremehkan, ada yang menatapnya dengan tatapan tajam, ada yang menatapnya dengan tatapan kasihan dan ada juga yang menatapnya tanpa ekspresi apapun.
"Kemarilah Arum."
Yang berbicara adalah adalah ayah mertuanya Andiguna Mawardi. Selama dua tahun ini pria paru baya itu menjadi salah satu orang yang cukup baik menerimanya di rumah ini.
Arum berjalan dan duduk di sofa ruang tengah. Di depannya saat ini selain ayah mertuanya ada ibu mertuanya Putri Rahmawati, lalu ada adik ayah mertuanya Reno Mawardi dan istrinya Gita Kurnia. Lalu ada adik iparnya Gina Mawardi dan Toni Mawardi serta sepupu suaminya Gerald Mawardi. Tatapan semua orang entah kenapa membuatnya gugup saat ini.
"Apa kita harus tunggu Bagas dulu baru bicara?" Tanya Putri Rahmawati sambil menatap Arum datar.
Adiguna menyentuh tangan istrinya, seakan memberi kode untuk tidak berbicara dulu saat ini.
"Apa semuanya sudah berkumpul?"
Semua orang yang duduk menatap ke arah pintu dan menemukan sosok lelaki muda yang mengenakan celana kain dan kemeja putih masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah.
"Semua sudah menunggu kamu dari tadi sayang. Sebenarnya kenapa kamu meminta semua orang berkumpul di sini?" Tanya Putri pada putra sulungnya itu.
Pria yang masuk tadi adalah Bagas Mawardi suami Arum selama dua tahun terakhir ini, mereka dijodohkan oleh Hendrik Mawardi Kakek pria itu. Sebelum menikah mereka bahkan tidak saling kenal, perjodohan itu terjadi karena perjanjian antara Hendrik Mawardi dan sekretarisnya Seno saat mereka masih muda dahulu. Jika cucu pertamanya laki-laki dan anak Seno perempuan, maka mereka berjanji akan menjodohkan keduanya.
Bagas terlihat duduk di sofa yang bersebrangan dengan Arum. Ia sempat menatap istrinya sebelum mengalihkan tatapan memandang semua keluarganya.
"Aku minta semua orang berkumpul di sini, karena ada yang ingin aku sampaikan. Hal ini sudah aku bicarakan dengan Arum semalam," ujar Bagas.
"Apa yang ingin kamu bicarakan Nak?" Tanya Andiguna.
"Aku dan Arum memutuskan untuk bercerai," jawab Bagas.
Perkataan Bagas tentu mengejutkan beberapa orang di ruangan itu tapi juga ada yang tersenyum lega.
"Bagas, kamu serius dengan perkataanmu ini nak?" Tanya Reno Mawardi pada keponakannya itu.
Bagas mengangguk mantap, "Aku dan Arum menikah secara terpaksa karena permintaan Kakek, bahkan usia kami masih sangat muda. selama pernikahan kami juga tidak menemukan kebahagian. Bukankah kalian semua di sini tahu aku masih punya banyak mimpi kedepannya, usiaku masih 23 tahun dan belum siap menjadi seorang suami," jelas Bagas pada keluarganya.
"Nak, perceraian bukan hal yang main-main," imbuh Andiguna.
"Pernikahan juga bukan sesuatu yang main-main Pa," potong Putri sambil menatap suaminya, "Bagas masih begitu muda, Arum juga masih sangat muda. Usia Arum masih 21 tahun dan Bagas masih 23 tahun, mereka dinikahkan secara paksa. Jika mereka tidak bahagia dengan pernikahan mereka, kita tidak bisa memaksa mereka untuk melanjutkannya," jelas Putri.
"Tapi pernikahan mereka Papa sendiri yang mengaturnya," tambah Reno.
"Papa udah meninggal mas. Sekarang biarkan anak-anak bebas menentukan hidup mereka," ujar Gita menambahkan pendapatnya.
"Bagaimana dengan pendapat kamu Arum? Apa kamu juga setuju untuk bercerai dengan Bagas?" Tanya Andiguna pada anak mantunya yang sedari tadi hanya diam.
Arum meremas kedua tangannya yang berada di pangkuannya. Ia perlahan mengangkat wajahnya yang dari tadi menunduk, menatap semua orang yang berada di ruangan ini.
"Aku setuju untuk bercerai Pa," jawab Arum.
Andiguna dan Reno menghembuskan nafasnya secara bersamaan, seakan hanya keduanya di sini yang merasa berat dengan keputusan dua anak muda di hadapan mereka ini. Namun mereka menyadari ini kehidupan Bagas dan Arum, sehingga keputusan ada di tangan mereka berdua.
"Jika itu mau kalian, kita segera urus perceraian kalian."