Bab 4

1732 Words
Arum terlihat keluar dari area dapur di toko tempatnya bekerja sambil membawa dua mangkok berisi soto untuknya dan untuk Dewi. Sebelum berangkat ke toko bunga untuk bekerja, Arum sempat membeli soto yang dijual di dekat kosannya. "Soto datang," ujar Arum sambil berjalan menuju meja kecil yang berada di dekat jendela toko samping meja kasir. Biasanya meja ini digunakan untuk pelanggan yang sedang menunggu bunga pesanan mereka sedang dirangkai. Dewi yang sudah menunggu bersorak senang melihat Arum yang meletakkan soto di atas meja. Ia segera mengambil jatah mangkoknya dengan gembira, "enak banget baunya," ungkap Dewi. Arum tersenyum sambil duduk di kursi di hadapan Dewi, "Selera aku nggak usah diragukan lagi Kak. Kalau aku bilang enak udah pasti enak". Dewi mengangguk setuju dengan perkataan Arum sambil sibuk menikmati soto yang ada di depannya saat ini. Saat mengingat sesuatu Dewi segera menelan makanan yang sedang ia kunyah di dalam mulut lalu menatap Arum, "Jadi hari ini kamu izin setengah hari?" tanya Dewi pada Arum. Arum yang sedang asyik menikmati soto miliknya segera mengangguk dengan malas. Mood yang tadinya bagus saat menikmati soto seketika menjadi hancur saat Dewi mengingatkan bahwa hari ini dirinya harus pergi ke kantor Media Wardi untuk membicarakan lebih lanjut tentang pembuatan film dari n****+ karangannya. Dewi memicingkan matanya, bingung melihat Arum yang seperti tidak bersemangat mendengar perkataannya. "Kenapa sih? kok kaya nggak semangat gitu," Tanyanya. "Hari ini meeting sama kru produksi film mba. Mau nentuin karakter pemain, jadi aku sebagai penulis harus hadir," ungkap Arum. Mendengar perkataan Arum membuat Dewi tersenyum menggoda padanya, "Kenapa, takut ya ketemu mantan suami?". Arum segera melotot pada Dewi namun tidak membantah sama sekali perkataan wanita yang lebih tua tiga tahun darinya ini. Ia tentu saja takut bertemu Bagas, bukan karena ia memiliki perasaan pada pria itu, sama sekali tidak. Selama mereka menjadi suami istri tidak ada perasaan apapun di antara keduanya. Hal yang membuat Arum takut bertemu Bagas saat ini adalah karena mengingat semua hal buruk yang ia lakukan di masa muda dulu saat masih menjadi istri Bagas. Ia hanya fokus menghambur-hamburkan uang milik keluarga Mawardi, mencuri berbagai barang berharga di rumah mereka dan selalu berpura-pura menjadi anak baik di depan kakek Bagas, namun selalu menunjukkan sifat buruk di hadapan mantan suaminya itu. Jika Arum mengingat tentang kelakuannya di masa lalu tentu saja membuatnya sangat membenci dirinya sendiri. Apalagi jika mengingat tentang kelakuan liciknya yang menjebak Bagas di malam satu minggu sebelum Kakek pria itu meninggal. Dulu ia dengan bodohnya berharap jika mengandung dan memiliki anak, maka seluruh kekayaan keluarga Mawardi akan menjadi milik dirinya dan anaknya. Arum benar-benar menyesali semua perbuatan jahat yang dirinya lakukan di masa lalu dan memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengan keluarga Mawardi yang tentu saja sangat membenci dirinya. Dirinya saat ini hanya ingin fokus membesarkan putranya dan berharap keluarga Mawardi terkhususnya mantan suaminya itu tidak mengetahui keberadaan anaknya. "Jangan terlalu dipikirin Arum, si Leo kan nggak di Jakarta. Bagas nggak akan tahu soal dia," hibur Dewi berusaha meyakinkan Arum yang terlihat khawatir selama beberapa hari ini. "Gimana kalau suatu saat Bagas nggak sengaja ketemu sama Leo, bisa aja karena ikatan batin Ayah dan Anak dia bisa ngerasain kalau Leo itu Anaknya," keluh Arum yang sudah menunduk menatap soto miliknya yang hanya diaduknya saat ini. "Tapi kan dia nggak pernah ketemu Leo. Jadi nggak ada masalah dong," ujar Dewi, "Oh iya jangan lupa ganti wallpaper hp kamu, takutnya nggak sengaja dilihat Bagas nanti. Kecuali kalo Bagas nggak tahu kamu anak tunggal, jadi dia bisa aja ngira itu adik kamu," saran Dewi. Mendengar itu Arum langsung mengambil handphonenya di saku celana, "Kok aku nggak kepikiran ya. Untung aja Kak Dewi ngingetin. Bagas itu tahu aku anak tunggal, dia bisa curiga liat fotoku sama anak kecil". Ia segera membuka pengaturan kemudian mengubah gambar wallpaper handphonenya dengan gambar sampul n****+ miliknya. "Soalnya kamu dari kemarin mikirin hal terburuk mulu, jadinya otak nggak bekerja dengan benar deh," ejek Dewi. Dewi kemudian berdiri sambil memegang mangkok yang isinya sudah habis kemudian melihat ke arah mangkok Arum, "Aku udah beres nih makannya. Kamu itu masih dimakan atau udah beres?". Arum menggeleng, "Udah nggak laper Kak". Dewi mengangguk kemudian mengangkat juga mangkok soto milik Arum yang masih berisi setengah mangkok. Ia segera membawa kedua mangkok tersebut ke dapur toko untuk dicuci. Setelah kepergian Kak Dewi, Arum langsung berjalan menuju etalase untuk mulai merapikan bunga-bunga yang dipajang di sana. Ia mengangkat bunga-bunga yang sudah layu dan tidak bisa di jual lagi kemudian menggantinya dengan bunga-bunga baru yang masih segar, Saat sedang asyik dengan pekerjaannya, Arum mendengar bunyi lonceng di pintu toko yang menandakan bahwa ada pelanggan yang masuk ke dalam toko. Arum segera berbalik sambil menyapa pelanggan yang datang, "Selamat data..." ucapan Arum terpotong saat melihat yang masuk ke dalam tokonya ternyata adalah Bagas Mawardi, pria yang baru saja dibicarakan oleh dirinya dan Dewi. Melihat bahwa penjaga toko ternyata adalah Arum mantan istrinya, seketika Bagas juga menjadi sedikit canggung, "Hay, ternyata kamu kerja di sini," ujar Bagas berusaha terdengar ramah. Menyadari rasa kikuk dalam dirinya, Arum segera berusaha untuk mengontrol ekspresinya. Ia langsung memberikan senyum ramah pada Bagas, "Iya Pak Bagas, ini pekerjaan tetap saya selain menjadi penulis n****+," ujar Arum menjelaskan. Kalau boleh tahu Pak Bagas mau mencari bunga apa?" lanjut Arum bertanya. Bagas segera beralih melihat berbagai bunga yang di pajang di toko tersebut. Ia terlihat kebingungan setelah melihat berbagai jenis bunga yang ada, kemudian kembali menatap ke arah Arum, "Bisa nggak kamu kasih rekomendasi, soalnya saya nggak begitu mengerti tentang bunga," pinta Bagas pada Arum. "Bunganya mau dikasih buat siapa? biar saya carikan yang cocok." Bagas terlihat berpikir sebentar, "Menurut kamu apa bunga yang cocok untuk gadis muda berusia 22 tahun?" tanya Bagas. Arum mengangguk paham ia kemudian berjalan ke sudut etalase dan menunjukkan sebuah bunga berwarna merah pada Bagas, "bunga mawar, anggrek atau tulip udah terlalu pasaran untuk dikasih pada seseorang. Gimana kalau bunga Camelia ini?" tanya Arum. "Boleh," jawab Bagas tanpa berpikir. Ia tidak begitu mengerti tentang berbagai jenis bunga, jadi bunga apa saja menurutnya sama saja selama terlihat indah. "Pak Bagas bisa tunggu di sana dulu, biar saya rangkai dulu bunganya," ujar Arum sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di dekat jendela samping meja kasir. Bagas melihat arah yang ditunjuk Arum kemudian mengangguk, ia segera berjalan menuju kursi tersebut tidak lupa tersenyum ramah pada Dewi yang saat ini sudah duduk di meja kasir. Arum membawa beberapa tangkai bunga Camelia kemudian di bawa ke meja tempat merangkai bunga. Ia mulai mengambil kertas serta pita untuk merangkai dan menghias bunga tersebut menjadi sebuah buket. Tidak sampai sepuluh menit Arum menyelesaikan pekerjaannya ini dan tersenyum puas melihat hasil kerjanya yang rapi dan indah. Arum segera membawa buket bunga Camelia tersebut pada ke meja kasir, lalu menatap ke arah Bagas, "Buket bunganya udah jadi Pak". Bagas segera berdiri dan menuju ke depan meja kasir, ia langsung mengeluarkan uang kemudian diserahkan pada Dewi yang duduk di balik meja kasir. Dewi mengetik pesanan Bagas di komputer kemudian mencetak nota belanjaan yang langsung diserahkan pada Bagas, "terimakasih sudah berbelanja," ucap Dewi dengan nada ramah. Bagas mengangguk sambil balas tersenyum ramah kemudian mengambil buket bunga yang dibelinya. Ia kemudian berbalik menatap Arum, "Saya pamit dulu Arum". Arum mengangguk,"Iya Pak," jawabnya. Bagas segera berjalan keluar dari toko bunga milik Dewi tersebut, meninggalkan Dewi yang sudah menatap Arum dengan pandangan menggoda, "Kenapa kamu nyaranin bunga Camelia?" tanya Dewi penasaran. "Katanya die beli bunga buat dikasih ke gadis muda, kayanya pacarnya. Makanya aku ngasih bunga Camelia merah yang artinya cinta pasangan kekasih," jelas Arum. Dewi mengangguk paham, "Ternyata mantan suami kamu udah punya pacar. Padahal aku pernah iseng ngebayangin, gimana kalo kamu sama Bagas rujuk? Kan Leo jadi punya orangtua yang lengkap". Arum langsung menggelengkan kepala mendengar hayalan tidak masuk akal Dewi. "Nggak usah ngaco kak. Aku sama Bagas nggak akan pernah rujuk. Baru liat muka aku aja keluarganya pasti udah enek duluan," jelas Arum sambil berjalan kembali menuju etalase untuk merapikan bunga-bunga yang dipajang. "Rencana Tuhan nggak ada yang tahu Arum." Arum tertawa mendengar perkataan ngawur dari Dewi, "Kami dua tahun loh hidup sebagai suami istri, bisa aja kan kami jatuh cinta saat itu, tapi buktinya selama dua tahun itu kami nggak ada yang saling jatuh cinta.Itu artinya kami emang nggak berjodoh Kak," jelas Arum. "Cinta itu masalah waktu Arum, mungkin aja waktu jadi suami istri emang belum waktunya kalian jatuh cinta. Kalian kan nikah pas masih muda banget waktu itu, keinginan anak muda yang bebas masih membara." "Udah ah, ngapain harus bahas hal ngaco kaya gini?" ujar Arum sambil sibuk dengan pekerjaannya. Melihat Arum yang sudah tidak ingin membahas Bagas, Dewi memilih tidak melanjutkan perkataannya. Ia kembali sibuk membaca laporan pemasukan dari toko. ***** Arum melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dimana waktu sudah menunjukkan pukul satu siang kurang dua puluh menit lagi. Ia janjian untuk meeting di jam satu siang dengan para kru produksi film makanya ia cukup buru-buru saat ini. Arum bernafas lega saat ojek online yang dikendarainya berhenti tepat di depan gedung perusahaan Media Mawardi. Ia segera turun dan melepas helm kemudian membayar pada driver. Arum segera berlari masuk ke dalam gedung menuju meja resepsionis. Wanita yang menjaga di meja resepsionis sudah mengenal Arum jadi ia langsung tersenyum saat melihat Arum dan langsung menyodorkan kartu akses lift padanya. "Makasih mba," ujar Arum sambil tersenyum ramah. "Arumi?" Arum berbalik hendak berjalan menuju lift, namun langkahnya terhenti saat melihat orang yang menyebut namanya. Jantung Arum berdegup kencang saat melihat mantan Ibu mertuanya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan pandangan terkejut. "Ma..," Arum segera menggeleng dan meralat ucapannya, "Tante Putri". "Ternyata benar kamu Arum, Kamu ngapain di sini?" Tanya Putri sambil menatapnya lekat wanita muda dihadapannya ini. Arum sedikit tidak nyaman melihat pandangan Putri Rahmawati yang melihatnya dengan intens dan tatapan tajam. saat ini Arum hanya mengenakan baju kemeja berwarna biru langit dengan celana kain putih serta rambut hitam sebahunya yang dibiarkan tergerai dengan dihiasi bandana berwarna putih, ia merasa penampilannya sudah cukup baik saat ini. "Saya..." "Dia penulis n****+ yang akan dibuatkan film oleh perusahaan Ma," potong Bagas yang saat ini sudah berjalan mendekati Putri dan Arum. "Kamu bisa segera pergi ke ruang meeting, semua orang sudah menunggu di sana. Saya akan menyusul nanti," ujar Bagas pada Arum. Arum segera mengangguk, "Kalau begitu saya permisi," jawab Arum lalu langsung berjalan pergi menuju lift. Putri Rahmawati segera menatap putra pertamanya itu dengan pandangan bertanya-tanya. "Kita bicara di ruanganku aja Ma," ujar Bagas sambil mengajak Mamanya menuju ruangan kerja miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD