Pengakuan Syifa

1057 Words
“Ini tentang kasus pembunuhan itu,” ucap Syifa ragu-ragu. Gadis itu bersandar pada tepian wastafel cuci piring, tangannya bergerak-gerak gelisah menantikan reaksi dari sang ayah. “Ya?” sahut Pak Burhan hati-hati. Lelaki itu tidak menampakkan reaksi apapun di wajahnya. Dia tidak ingin membuat sang putri merasa takut dan ragu, sehingga mundur dan tak jadi menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. “Syifa sebenarnya tahu tentang kejadian itu,” ucap anak gadisnya pelan. Pak Burhan mengangguk. Dia ingin terus mendorong Syifa agar terus maju. “Saat itu Syifa sedang lewat sendirian. Jalanan itu sepi. Tak ada orang siapapun di sana. Lalu ....” Cerita itupun dimulai. Berbeda dari yang dipikirkannya, sewaktu dia bercerita, maka mengalirlah sudah cerita itu begitu saja. Dia tidak perlu memaksakan diri untuk menggambarkan kembali semua kejadian itu. Semua yang telah dia alami dan saksikan telah mengalir keluar dari mulutnya dengan lancar. Syifa sama sekali tak menambahi ataupun mengurangi apapun. Dia bercerita apa adanya, seperti yang dia saksikan sendiri. Sang ayah mulai mengerutkan keningnya heran, seakan tak percaya akan apa yang sedang didengarnya. Dia mungkin bertanya-tanya sendiri, apakah hal ini nyata atau tidak. “Tunggu sebentar, jadi pria itu hendak menyerang kamu?” sela sang ayah di tengah-tengah cerita Syifa. Gadis itu mengangguk tak sabaran. Dia ingin segera melanjutkan kembali ceritanya yang terpotong. “Beraninya dia menyerang kamu!” ucap sang ayah geram. Syifa dapat melihat kedua tangan ayahnya terkepal di atas pegangan kursi roda. Lelaki itu sudah pasti kesal mendengar cerita ini. “Ayah, tolong jangan menyela dan dengarkan saja ceritaku,” pinta Syifa dengan putus asa. Gadis itu melihat ekspresi wajah ayahnya berubah. Lelaki itu menghela napas dan mengangguk mantap, setuju untuk mendengarkan kelanjutan cerita Syifa. “Baiklah, ayah minta maaf,” ucapnya. “Aku akan lanjutkan,” ucap gadis itu seraya melanjutkan ceritanya. Sang ayah duduk di atas kursi rodanya dengan wajah kaku dan tubuh tegang. Dia mengubah-ubah ekspresinya ketika mendengarkan detil p*********n terhadap putrinya. Kedua tangannya masih tetap terkepal, menunjukkan betapa marahnya dia atas kejadian itu. Lelaki itu menatap putrinya dengan tercengang begitu ceritanya selesai. “Jadi, seseorang datang menolongmu dan menyerang pria itu? Siapa dia, Nak? Apa kamu tidak menemui dia setelah itu untuk mengucapkan terima kasih?” Lagi-lagi Syifa merasa kesal. Dia menatap sang ayah dengan tatapan tajam. “Ayah, aku belum selesai,” protesnya. “Oh, ayah pikir sudah selesai, Nak. Baiklah, lanjutkan,” sahut pria itu. “Ketika aku keluar, orang itu, entah siapapun dia sudah tidak ada. Dia menghilang begitu saja.” “Menghilang?” ulang Pak Burhan dengan nada keheranan. “Ya, dia hilang. Tidak ada jejak, tidak ada petunjuk. Seolah dia lenya begitu saja ditelan bumi.” “Tidak mungkin ...,” gumam ayahnya dengan terkejut. “Aneh memang. Ketika aku berjalan mendekati mayat pria itu, aku tidak menemukan siapapun di sana. Dan aku terlalu ngeri akan pemandangan di depanku sehingga aku berlari pulang siang itu.” “Jadi, hari itu kamu pulang dengan wajah pucat gara-gara kejadian itu?” Syifa mengangguk. Dia telah mengungkapkan semua kejadian yang telah dia alami hari itu. Kini beban yang dipikulnya sendirian sudah jauh berkurang. Dia memikirkan kembali hari kejadian itu, dan dia bersyukur karena dirinya masih pulang dengan selamat. “Kenapa kamu baru cerita sekarang, Syifa?” tanya sang ayah dengan ekspresi wajah yang sulit diterka. Syifa membalas tatapan ayahnya dengan ragu. “A-aku takut ....” Pria itu mendorong kursi rodanya untuk lebih mendekat ke arah sang putri. “Sayang, ayah ada di sini. Apa yang kamu takutkan?” Tangan besar dan kasar ayahnya memegang tangan Syifa dan menyalurkan kehangatan yang terasa bagaikan sebuah kekuatan baru baginya. “Seandainya hari itu kamu langsung bercerita pada ayah, mungkin ayah akan –“ Ucapan pria itu mendadak terhenti. Padahal Syifa ingin sekali mendengar apa tindakan sang ayah yang akan dilakukannya jika Syifa bercerita hari itu. “Ayah, apa yang akan Ayah lakukan kepadanya kalau aku cerita?” tanya Syifa menyelidik. Pria itu menggelengkan kepalanya dengan lemah, menyatakan perasaan putus asa yang mendera. “Ayah mungkin akan menghajarnya juga, kalau ayah bisa,” ucapnya dengan tak berdaya. Tatapan pria itu jatuh ke bawah, ke arah kedua kakinya yang lunglai di atas pijakan kursi roda. Seakan dia baru sadar bahwa dia adalah seorang lelaki yang tak berdaya. “Syukurlah aku tidak bercerita,” ucap Syifa. “Kalau tidak, mungkin pria itu sudah mati di tangan Ayah!” Pak Burhan tersenyum, senang mendengar kebanggaan dalam nada suara anaknya. “Tapi Ayah jelas tidak akan menghabisi nyawa orang itu dengan mengerikan. Ayah pasti tidak akan tega berbuat sekejam itu!” Syifa menggigit bibirnya resah. Bayangan mayat lelaki itu kembali muncul di pelupuk matanya. Kaki dan tangan yang terpuntir dan darah yang merembes dari kepalanya .... “Siapapun orang yang telah menolongku, dia membunuhnya dengan keji!” Pak Burhan mengangguk setuju. “Dia menyelamatkan kamu, tapi dia mungkin juga berbahaya bagi kamu. Seandainya waktu itu kamu keluar dan dilukai juga olehnya, maka –“ Pak Burhan bergidik ngeri. Syifa sama sekali tak membayangkan hal itu. Yang dia pikirkan adalah bahwa orang itu baik, sebab dia telah menyelamatkan Syifa. Tapi, bagaimana jika dia salah? Bagaimana jika ternyata orang itu jahat seperti yang Ayahnya katakan? “Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Ayah. Kukira dia berniat untuk menolongku saja. Lalu dia menghilang bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.” “Tapi dia membunuh orang, Nak!” tukas ayahnya dengan tegas. Kedua katanya membelalak ngeri. “Kalau dia menyelamatkan kamu saja, seharusnya dia tak perlu sampai membunuhnya seperti itu. Tak perlu juga menghilang dan membuat kamu berada dalam posisi yang serba salah.” Syifa merenungkan ucapan sang ayah dengan seksama. Benar juga yang dikatakan lelaki itu. Apa alasan orang itu menghilang begitu saja? “Mungkin dia hanya bersikap rendah hati,” gumam Syifa tak yakin. Pak Burhan menggeleng menolak pendapat itu. “Maka dia tak perlu membunuh orang. Cukup menghajar pria itu saja sampai melepaskanmu. Lalu, dia bisa pergi. Tapi ini berbeda, Sayang. Ini sebuah kasus pembunuhan. Dia melenggang pergi setelah membunuh orang. Itu sangat mengerikan. Bayangkan ada orang semacam itu di dekat kita!” Mendadak Syifa merasa ngeri. Jantungnya berdegup kencang ketika teringat kejadian itu. Suara berderak keras yang berasal dari kepala korban yang pecah disertai bau anyir darah yang memenuhi rongga hidungnya .... “Dia pergi meninggalkan kamu di sana sebagai pelaku pembunuhannya, Nak. Dia pasti bukan orang baik-baik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD