“Maksud kamu apa, Fa?” tanya Pak Burhan dengan kening berkerut dalam.
Syifa bergetar karena amarah. Dia mencengkeram pegangan kursi roda ayahnya dengan kuat.
“Lelaki itu berada di jalanan yang sepi, untuk apa? Coba Ayah pikirkan. Kenapa dia harus berada di sana waktu itu? Jalan itu terkenal dengan image buruknya. Jadi, orang itu pastilah ada di sana karena alasan yang tidak baik.”
Penjelasan singkat itu membuat sang ayah berpikir sejenak. Tetapi, gagasan Syifa rupanya terlalu mentah dan tidak kuat. Pak Burhan dengan cepat bisa menolak pendapatnya.
“Kan tidak semua orang begitu. Kamu nggak bisa menilai seseorang baik atau buruk hanya karena dia berada di jalan tertentu pada waktu tertentu.”
“Tapi sudah jelas kok, Ayah. Dia pasti melakukan hal yang tidak baik dengan berkeliaran di sana waktu itu. Memangnya apa yang dia lakukan di sana kalau bukan melakukan tindak kejahatan?”
Sang ayah menatap Syifa dengan tatapan heran.
“Kenapa bisa kamu berkata begitu? Setiap hari kamu juga melewati jalan itu. Dan bukan hanya itu, banyak orang lain yang lewat di sana. Semuanya bukan penjahat.”
“Tapi dia penjahat!” Syifa bersikeras.
“Apa kamu mengetahui sesuatu hari itu, Nak?” tanya Pak Burhan dengan hati-hati.
Syifa baru menyadari bahwa dirinya telah kelepasan. Dia nyaris mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Pak Burhan menatapnya seakan dia mengetahui adanya rahasia yang disimpan sendiri oleh putrinya.
“Tidak,” ucap Syifa buru-buru. Dia berpaling ke arah lain, tak ingin menatap sang ayah.
“Ayah rasa, kamu sepertinya menyembunyikan sesuatu dari ayah,” kata Pak Burhan.
“Tidak ada,” sela anak itu. “Aku tidak mau membahas kasus itu.”
Pak Burhan menghela napas panjang dan dalam. Dia berdiam saja Melihat reaksi dan sikap Syifa yang tak biasa.
Sesampainya mereka di rumah, sang ayah ingin mengajak bicara putrinya. Tetapi, rupanya Syifa sudah tahu akan hal ini. Dia bergegas masuk ke dalam kamarnya dan menghindar dari pembicaraan itu. Pak Burhan tak dapat memaksanya, sebab pintu kamar gadis itu sudah tertutup rapat.
“Kasus itu belum juga menemukan titik terang, Pak,” ucap seorang wanita yang menjadi klien Pak Burhan sore itu.
Dia adalah wanita yang sama dengan yang memberitahunya kemarin dulu. Hari ini dia datang untuk menjahitkan beberapa pakaian kepada Pak Burhan, sebagai tempat langganannya.
“Bagaimana dengan penyelidikan polisi?” sahut Pak Burhan selagi menjahit.
“Saya percaya mereka pasti sudah melakukan penyelidikan semampu mereka. Mereka terus bekerja dengan baik, hanya saja belum ada petunjuk ataupun kesaksian yang mengarah pada satu orang pelaku tertentu,” jelas si ibu.
Pak Burhan tiba-tiba saja merenung. Tangannya meraba kain di atas mesin jahit yang sedang berhenti, sementara pandangannya menerawang jauh.
“Ada apa, Pak?” tanya si ibu ingin tahu.
“Ah, tidak,” sahutnya sembari menggelengkan kepalanya.
Dia berusaha untuk menyingkirkan ide itu, tapi semenjak Syifa menentang keras ucapannya tadi siang, mendadak saja perasaan Pak Burhan menjadi tidak enak. Apakah putrinya yang remaja itu mengetahui sesuatu tentang kasus itu?
“Apa Ibu mengenal si korban? Bukankah dia agak terkenal di daerah desa sebelah?”
“Betul,” jawab si ibu mengangguk. “Dia dikenal sebagai pemuda pengangguran yang tidak jelas. Dia baru saja keluar dari penjara karena kasus pelecehan seksual.”
“Kira-kira, apa yang sedang di lakukan di jalan itu pada waktu kejadian tragis itu terjadi?” gumam Pak Burhan.
Ekspresi si ibu itu mewakili keheranan Pak Burhan. “Saya juga tidak tahu. Jika mengetahui lokasi jalan itu dan reputasi dia yang kurang baik, maka bisa disimpulkan bahwa ada tujuan yang tidak baik di sana.”
“Itulah, Bu ... Saya jadi khawatir,” ucapnya dengan pandangan masih menerawang.
Si ibu merasa bingung dengan ucapan Pak Burhan yang tidak jelas itu.
“Apa maksud Bapak?”
“Tidak, tidak, itu tidak mungkin ....”
“Apanya yang tidak mungkin, Pak?” selidik si ibu dengan penasaran.
“Anu, seandainya waktu itu ada seseorang yang ingin dia serang, lalu korbannya kemudian menyerang balik. Bagaimana kira-kira kejadian itu jadinya?”
Pemikiran itu seolah tidak terpikirkan oleh si ibu, membuatnya mengerutkan kening semakin dalam.
“Tapi, tentunya polisi sudah menyelidiki hal itu juga. Tak mungkin mereka melewatkan hal itu bukan?”
“Iya, tentu saja. Apakah mereka tidak menyebutkan apa-apa tentang hal ini?”
“Saya rasa ... Tidak,” jawab si ibu dengan ragu.
Nada suaranya tidak seyakin sebelum-sebelumnya. Dia memang tidak tahu, apakah polisi sebenarnya mencari seorang korban dari pemuda itu atau tidak.
“Jika seandainya ada seseorang yang dia serang dan melawan balik, apakah dia akan membunuh penyerangnya dengan cara semengerikan itu?”
Si ibu bergidik ngeri mendengarnya. Pemikiran Pak Burhan membuatnya membayangkan menjadi korban yang dimaksud.
“Saya tidak tahu, Pak. Itu cukup mengerikan, bahkan hanya sekedar dibayangkan saja.”
Kedua orang itu sama-sama melamun membayangkan.
“Siapa memangnya yang akan melakukan hal itu?”
“Entahlah,” gumam Pak Burhan sembari meneguk ludahnya sendiri.
Saat itu Syifa tengah berdiri di depan kamarnya, berdiri dengan tubuh menempel di dinding dan mendengarkan percakapan kedua orang itu.
Dia merasa berdebar-debar, mengerti bahwa sang ayah sudah tahu. Pria itu sudah menerka dengan baik, bahwa Syifa mengetahui sesuatu. Dia mungkin sudah menebak bahwa Syifa adalah korban yang dimaksudnya. Tetapi, satu hal yang tidak diketahuinya adalah; bukan Syifa pelakunya.
Bagaimana caranya dia akan menjelaskan hal ini pada sang ayah?
Malam itu saat makan malam, dia duduk berhadapan dengan sang ayah. Keduanya makan masakan sederhana yang dibuat oleh ayahnya. Pria itu mungkin boleh saja invalid, tetapi ssmangatnya untuk belajar sangat tinggi.
Semenjak dia ditinggal oleh sang istri hajya berdua dengan anaknya yang baru berusia enam tahun, dia lekas berpikir bagaimana caranya agar dia bisa menghidupi anaknya. Dia mencoba-coba berbagai pekerjaan yang bisa dikerjakannya untuk menghasilkan uang. Lalu dia masih harus belajar memasak demi membuatkan makanan sederhana untuk si buah hati. Begitulah dia menyesuaikan kehidupan mereka hingga saat ini.
“Ayah,” panggil Syifa usai membereskan piring-piring kotor dari meja makan.
Pria itu mendongak dari balik cangkir kopinya. Dia menatap Syifa dengan tatapan penuh tanya.
“Hmm?”
“Enggg ... Aku ingin mengungkapkan sesuatu,” ucap Syifa memulai.
Gadis itu menetapkan hati sejak tadi untuk mengatakan yang sebenarnya. Dia tak dapat menelan makanannya tanpa menatap sang ayah, yang duduk di sana tanpa memandang dirinya.
Syifa merasa, jika dia tidak mengungkapkannya sekarang, maka kemungkinan sang ayah pasti akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Bisa jadi, pria itu akan mengira bahwa Syifa-lah pelaku pembunuhan itu. Dia tak ingin sang ayah berpikiran buruk tentang anaknya sendiri. Maka dia berkali-kali memikirkan keputusan ini. Dia harus mengungkapkan kejadian yang sesungguhnya dari versi dirinya.
“Ada apa?” tanya sang ayah yang duduk menunggu.
Sementara Syifa mengambil napas dalam-dalam untuk menguatkan diri.