“Hei! Tungguin gue!” ucap seseorang di belakang Rere.
Gadis itu berbalik menoleh dengan terkejut, mengenali suara yang familiar itu.
“Tania!” serunya dengan riang.
Clara di sebelahnya pun ikut berseru girang.
“Tan, lo udah sembuh?” tanya Clara bersemangat.
“Iya, gue udah bosen di rumah sakit terus. Jadi, gue keluar aja. Kangen sama lo berdua!”
Ketiganya berpelukan dengan erat. Mereka bagaikan sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa.
“Akhirnya lo sembuh juga, Tan. Tapi lo beneran udah nggak apa-apa? Atau lo yang memaksakan diri untuk keluar?”
“Gue udah nggak apa-apa. Lagian percuma juga gue tetap di sana. Toh, mereka cuma merawat gue gitu doang. Bosen juga tiap hari yang dilihat cuma pemandangan yang sama. Di rumah sakit kan nggak selalu ada lo berdua,” ucap Tania panjang lebar.
Gadis itu tersenyum, pulih dari sakitnya.
“Syukur deh kalau lo udah baikan. Padahal, tadinya gue dan Clara berencana untuk jenguk lo lagi di rumah sakit. Ya nggak, Clara?”
Clara mengangguk membenarkan. “Ya mending kalau kita ketemu di sini sekarang.”
“Tapi, mulai sekarang gue jadi ketergantungan sama inhaler,” ucap Tania dengan malu.
“Hah? Inhaler? Emangnya lo asma?”
Tania mengangguk. Kedua temannya memandangnya tak menyangka.
“Jadi, lo punya asma sekarang?”
“Iya, gara-gara pohon sialan itu ngejepit paru-paru gue. Jadi, sekarang kalau kecapek’an gue bakal bengek,” ucap Tania dengan santainya.
“Astaga, kasian banget temen gue,” ucap Rere dengan nada prihatin.
“Tapi gue tetep masih bisa kayak dulu kok,” tambah Tania lagi.
“Yang penting lo udah sembuh aja udah bagus, Tan,” sahut Clara.
“Jadi, gimana keadaan sekolah setelah gue pergi selama berhari-hari?” tanya Tania dengan rasa ingin tahu.
“Segalanya berjalan normal aja, Tan. Meskipun, ada beberapa hal yang terjadi.”
Rere dan Clara sibuk menceritakan beberapa kejadian menarik yang menurut mereka cocok untuk diceritakan kepada Tania.
Ketiganya berjalan menyusuri koridor sekolah sambil tertawa-tawa ceria seperti biasa. Kembalinya Tania dalam kelompok itu menambah keceriaan Rere dan Clara.
“Eh, eh, berhenti sebentar,” ucap Tania tiba-tiba.
“Itu kan si anak cupu, kita cegat dia?”
Kedua temannya mengangguk. “Hei, cupu, sini!” panggil Rere kepada Syifa.
Langkah Syifa terhenti dengan wajah terkejut. Dia tidak menyadari kehadiran tiga anak itu sebelumnya. Terutama adanya Tania di tengah-tengah Rere dan Clara.
“Tania?” ucapnya dengan nada heran. “Sejak kapan kamu keluar dari rumah sakit?”
“Bukan urusan lo!” bentak Tania dengan galak.
“Lo kaget ya melihat Tania udah kembali sekolah lagi? Apa jangan-jangan lo berharap agar Tania lebih lama di rumah sakit?” tuding Clara dengan kejam.
Syifa menggeleng mengelak. “Tentu saja tidak. Aku lega kamu udah keluar,” ucap Syifa kepada Tania.
“Ck, munafik banget sih lo!” decak Tania dengan kesal.
“Emang cewek ini bermuka dua banget, Tan. Di belakang lo dia bersyukur, sementara di depan malah sok-sokan peduli,” timpal Clara memprovokasi.
Syifa menatap kedua gadis itu dengan tak senang. “Aku sama sekali tidak seperti itu.”
“Ah, terserahlah. Gue jadi badmood gara-gara ada elo!”
“Ngomong-ngomong, mana temen lo yang aneh itu? Kenapa belum kelihatan?” tambah Tania sambil celingukan.
“Akhir-akhir ini mereka berantem, Tan, jadi berpisah gitu deh pasangan ini,” sahut Rere memberitahu.
“Oh, gitu? Seru ya, ada berantem segala. Ckckck!”
Sindiran demi sindiran itu membuat Syifa tak berdaya. Dia berdiri di sana dengan tatapan hampa, ingin lekas melarikan diri dari mereka bertiga.
“Eh, itu dia si cewek aneh! Woi, sini lo!” teriak Rere memanggil sosok Amaya.
Gadis itu berjalan mendekat, memasang mimik muka tanpa ekspresi seperti biasanya. Syifa berdiri memalingkan wajah darinya, berusaha untuk tidak menatap sosok itu.
“By the way, apa mereka berdua ada hubungannya dengan kecelakaan lo waktu itu? Soalnya gue curiga banget sama mereka berdua,” ucap Clara.
Dia terus saja ngotot menuduh Syifa dan Amaya sebagai penyebab celakanya Tania.
Tania menatap wajah Syifa dan Amaya bergantian dengan pandangan heran.
“Mereka berdua?” ucapnya.
“Iya, waktu itu lo melihat Amaya di dekat sana, kan? Sebelum lo jatuh pingsan.”
Tania nampak menerawang, mencoba mengingat-ingat kembali kejadian waktu itu.
“Gue inget, gue emang ngelihat Syifa sama cowoknya yang cupu dari kelas sebelah itu. Kayaknya mereka lagi sibuk pacaran deh.”
Clara menaikkan alisnya dengan sinis. “Terus, dia?”
Clara menunjuk Amaya dengan dagunya. Tania berpaling kepadanya dengan tatapan hampa yang aneh, seolah dia sedang berusaha menyelami kembali kejadian itu.
“Amaya ada di balik pilar sekolah. Dia menatap gue dengan sinis. Sepertinya dia berusaha untuk memantrai gue deh.”
“Hah?”
“APA?!”
Respon Rere dan Clara bingung secara bersamaan. Keduanya menatap sahabat mereka dengan tatapan tidak percaya.
“Memantrai? Maksud lo?”
“Iya, gue lihat bibir Amaya komat-kamit kayak lagi merapal sesuatu. Gue curiga, jangan-jangan dia mau melet gue!”
Rere yang pertama kali pulih dari keterkejutannya. “Lo jangan ngadi-ngadi, ah!”
Tak disangka, Tania tertawa. Gadis itu terbahak-bahak kencang melihat ekspresi kedua sahabatnya.
“Ya ampun, hari gini lo berdua masih percaya aja sama begituan. Plis deh!”
“Tania, jadi lo nggak bener-bener melihat Amaya?” tanya Clara memastikan.
Tania menggeleng sambil menahan tawanya.
“Nggak lucu deh, Tan!” timpal Rere dengan wajah cemberut.
“Eh, sorry, sorry. Jangan ngambek dong, Re,” ucap Tania meminta maaf.
Rere bersedekap di depan d**a, menandakan bahwa dirinya sedang dalam mood yang buruk.
“Kalian berdua, ngapain masih di sini? Sana buruan pergi!” bentak Clara dengan galak.
Baik Syifa maupun Anaya berjalan pergi dengan cuek. Mereka meninggalkan ketiga gadis pembully itu di sana, masih sibuk bercanda di antara mereka sendiri.
Sedangkan Syifa dan Amaya berjalan berjauhan. Keduanya tak saling sapa hingga hari ini. Jadi, situasi menjadi agak canggung bagi mereka. Syifa berjalan cepat, ingin mendahului Amaya untuk sampai di kelas. Sementara gadis itu nampaknya berjalan santai saja. Anehnya, secepat apapun langkah Syifa, sosok Amaya selalu saja berada di sisinya.
Syifa mulai merasa jengah. Dia berusaha mempercepat langkah dengan berlari kecil. Tetapi, tetap saja Amaya selalu ada sejajar di sampingnya. Syifa mulai merasa letih dan ketakutan.
Bagaimana bisa langkahnya sejajar dengan langkah Amaya yang begitu pelan? Apa kaki gadis itu sepanjang itu?
Sungguh tidak masuk akal, pikir Syifa dengan heran. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk berbelok ke kelas Reza demi menghindari Amaya. Dia tak mungkin mengikuti Syifa ke sana, kecuali dia memang sengaja.
Setelah dia masuk ke kelas Reza, Syifa mengintip sosok Amaya dari ambang pintu dengan napas terengah-engah.
“Ngapain kamu?” bisik suara seseorang tepat di belakang tubuh Syifa.
“Aarrghhh!”
Sontak saja, gadis itu menjerit kaget dan melompat mundur.