Rasa Bersalah

1038 Words
Reza menatap Syifa dengan tatapan heran bercampur bingung. Gadis itu merosot ke tembok dengan wajah pucat ketakutan. “Kamu kenapa sih, Fa?!” tanya Reza lagi dengan raut wajah penasaran. Gadis itu menghembuskan napas lega, melihat sosok Reza yang berdiri di depannya. Dia mengelus d**a yang terasa berdentam-dentam. “A-aku kira kamu setan!” gumam Syifa agak terengah-engah. “Hah? Mana ada setan siang-siang begini. Kamu ini ada-ada saja!” Syifa menenangkan diri sejenak, sebelum akhirnya bangit berdiri kembali dengan pulih. “Sssstt, itu pacarnya si Reza dari kelas sebelah,” gumam beberapa orang di kelas itu yang menatap Syifa diam-diam. Gadis itu menyadari, bahwa nyaris semua orang di sana sedang memelototi dirinya dan Reza. “Aku mau balik ke kelas,” ucap Syifa seraya berjalan pergi. Reza menyusul di belakangnya dengan pandangan penuh tanya. “Tapi, kamu nggak apa-apa kan?” Reza bertanya lagi dengan nada kuatir. “Hmm, nggak apa-apa!” sahut Syifa dengan cuek, bergegas meninggalkan cowok itu di belakang. Syifa menghela napas, seraya memasuki ruang kelasnya sendiri. Dia berjalan ke arah bangku tempat duduknya dengan pandangan terarah kepada Amaya. Gadis itu duduk diam di tempatnya, tanpa mendongak sedikitpun. Apakah hanya perasaannya saja atau memang Amaya seakan memancarkan aura aneh tertentu? Syifa menggelengkan kepalanya, lantas duduk di tempatnya dan mengecek buku tugas. Meski sebenarnya, pikirannya lebih fokus terhadap kejadian dengan Amaya tadi. Begitu bel masuk berdering dan pelajaran dimulai, perhatian Syifa pun langsung beralih ke materi. Guru memberikan sebuah tugas untuk mencatat materi di papan tulis. Sementara dirinya keluar sebentar dan meninggalkan kelas. Sontak suasana yang tadinya senyap pun berubah menjadi dipenuhi oleh suara-suara. Ada yang sibuk berbincang dengan temannya, ada yang menyanyi tak jelas, ada yang bercanda tawa tanpa takut. Syifa tetap menjadi seorang penyendiri. Dia tak memiliki teman lain di kelas ini, yang menyebabkan dia selalu diam ketika yang lain ribut bercanda. Gadis itu mencoba untuk mengabaikan semua suara berisik di sekelilingnya itu dan berusaha untuk fokus terhadap materi yang dia catat. Akan tetapi, semakin lama suara tawa itu semakin kencang terdengar. Mau tak mau, dengan rasa penasaran Syifa menoleh ke belakang, ke arah sumber semua suara tawa itu berasal. Syifa menatap sosok Amaya dengan kedua mata membelalak lebar. Gadis berambut hitam menjuntai itu sedang duduk dengan kepala tertunduk. Sebuah tulisan besar di atas kertas HVS ditempel tepat di wajahnya. ‘Hantu Sadako!’ Begitu bunyi tulisan itu. Ditulis dengan spidol merah dan huruf-huruf berukuran besar. Syifa merasa heran, siapa yang telah begitu berani menempelkan tulisan jahat itu ke wajah Amaya? Tawa semakin kencang dan semakin membahana memenuhi seluruh ruangan kelas. Kecuali Syifa, semua orang menertawakan lelucon aneh itu. Amaya sendiri nampak geram. Kedua tangannya terkepal erat, menahan amarah. Gadis itu diam-diam menatap wajah semua orang dari balik tirai rambutnya yang menutupi wajah. Syifa bwrbalik tak mau menatap Amaya. Dia dapat merasakan rasa sakitnya ditertawakan oleh semua orang. Dia juga pernah merasakanannya. Dan sekarang, Amaya mendapatkan perlakuan yang sama seperti dirinya dulu. BRAKK!! Mendadak Amaya menggebrak meja dengan keras. Suara mengejutkan itu membuat semua orang seketika terdiam, menatap Amaya. Gadis itu bangkit berdiri dan mencabut kertas di wajahnya dengan marah. Dia menatap semua orang dengan sorot mata yang dipenuhi dengan kebencian. “Kalian akan mendapatkan balasannya!” ujar Amaya dengan suara lantang dan jelas. Semua orang masih terdiam menatapnya dengan aneh, kemudian suara tawa pelan-pelan terdengar kembali dan mulai membahana kembali. Syifa yang melirik ke arah Amaya merasakan betapa geramnya gadis itu. Dia hanya menjadi bahan tertawaan semua orang, bahkan ketika dia sedang mengucapkan kata-kata yang mengancam. Amaya berjalan keluar kelas dengan langkah menghentak-hentak marah. Gadis itu meremas kertas di tangannya menjadi bola dan melemparkannya ke arah Juni, seorang siswa kelas itu yang tertawa paling keras. Amaya melemparkan tatapan sinis kepadanya sebelum keluar dari kelas dan menghilang sepanjang jam pelajaran berikutnya. Syifa menanti di tempat duduknya dengan harap-harap cemas. Dia ingin sekali tahu apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Amaya. Ke mana dia pergi sepanjang jam pelajaran? Hingga bel pulang sekolah berdering, bangku tempat duduk Amaya terlihat masih sama: kosong. Syifa berkali-kali menoleh ketika seseorang memasuki ruang kelasnya. Dia berharap orang itu adalah Amaya. Namun nihil, sebab gadis itu tak menampakkan ujung hidungnya hingga berjam-jam kemudian. Ketika Syifa sibuk membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas, barulah dia melihat sosok Amaya melangkah memasuki kelas yang sudah setengah sepi. Amaya berjalan melewati tempat duduk Syifa tanpa menoleh. Syifa melirik ke arahnya, ingin tahu apakah dia baik-baik saja. Tapi dia berada di ambang keraguan, haruskah dia mendekati Amaya dan bertanya kepadanya? Tapi keraguan Syifa begitu besar. Dia tak bisa tiba-tiba bicara kepadanya begitu saja. Setelah selama ini saling bungkam dalam pertengkaran, mana mungkin dia bisa mengalah begitu saja? Amaya berderap pergi ketika Syifa bahkan belum berhasil mengucapkan sepatah katapun. Keraguannya membuatnya diam. Meski sebenarnya di dalam hati dia ingin menenangkan Amaya yang pasti sedang dalam kondisi hati yang tidak baik. Mendadak saja, Syifa diliputi oleh perasaan bersalah. Dia tak mampu membela Amaya ketika dia dibully oleh seluruh teman sekelasnya. Dia bahkan tidak berbicara kepadanya sekedar untuk membuatnya merasa memiliki teman. Gadis itu seakan dapat melihat cerminan dirinya sendiri dalam sosok Amaya yang pendiam itu. Seharusnya, dia tahu bagaimana perasaan Amaya menghadapi sikap semua orang. Syifa merasakan sentakan perasaan bersalah pada dirinya. Dia yang selama dua tahun ini menjadi korban bully, tak mampu melindungi Amaya yang juga korban bully selain dirinya. Dia ingin tahu, bagaimana pemikiran Amaya tentang dirinya. Apakah dia akan berpikir bahwa Syifa jahat karena tak mau membelanya? Apakah dia pikir Syifa tak peduli pada perasaan Amaya? Syifa menggelengkan kepalanya dengan sedih. Dia berjalan seorang diri di jalanan yang sepi. Kebetulan dia tak bertemu dengan Reza, sehingga cowok itu tak sempat mengajaknya pulang bareng. Jadi, dia pulang sendirian dan tak dapat menyusul langkah Amaya yang panjang-panjang. Syifa melihat ke sekitar, mencoba mencari sosok Amaya. Dia harusnya belum begitu jauh, tetapi dia sama sekali tidak kelihatan di mana-mana. Seolah gadis itu menghilang begitu saja. Keheranan Syifa belum lagi sirna, ketika dia tiba-tiba melihat sebuah sosok lain berjalan mengikuti dirinya. Gadis itu tahu, pria berusia dewasa yang berjalan di belakangnya itu sedang menguntit dirinya. Sebab, perilaku pria itu nampak tak biasa. Perasaan Syifa tiba-tiba menjadi cemas. Dia takut jika pria itu memiliki maksud buruk terhadap dirinya. Dia berusaha berjalan lebih cepat, menghindari bahaya yang terus mendekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD