Sewaktu bel istirahat kedua berdering, Syifa sedang membereskan buku-bukunya ketika tiba-tiba sebuah gebrakan keras menyentaknya hingga nyaris terlompat.
“Nah, Cupu! Mau apa lagi lo sekarang?” tanya Rere dengan kedua mata melotot tajam.
Syifa mengerjap dan balas menatapnya dengan bingung.
“Apa maksudmu?” sahut Syifa kebingungan.
Gadis itu sedang mengerjakan tugas-tugasnya ditambah tugas milik Rere, Tania dan Clara ketika ketiga gadis itu mendadak muncul.
“Pura-pura nggak tahu ya?” sindir Clara dengan tajam.
Syifa menatap mereka dengan dahi berkerut dalam, tak mengerti maksud ucapan itu.
“Aku lagi ngerjain tugas kalian. Jadi, sebaiknya jangan ganggu aku kalau kalian ingin ini selesai besok,” kata Syifa.
Rere mendekat dengan kedua tangan bersedekap di d**a. “Beraninya lo ngomong kurang ajar sama kita!”
“Hajar aja, Re!” sahut Clara mengompori.
“Apa sih yang kalian inginkan?” ucap Syifa berang.
“Lo tahu kan, apa yang terjadi. Kemarin-kemarin gue udah bilang, kalau sampai temen lo itu bertingkah, lo yang akan dapat akibatnya.”
Syifa masih menatap mereka tanpa berkedip, menunggu kata-kata selanjutnya.
“Barusan, Amaya hampir aja nampar wajah Tania di koridor. Dia bener-bener kurang ajar banget tahu nggak?” ujar Clara dengan kedua mata melotot tajam.
“Apa?”
Syifa melongo mendengarnya. Amaya bisa bertindak sejauh itu, memangnya apa yang terjadi?
“Berhubung dia temen lo, maka lo yang harus mendapatkan balasannya!”
Secara tersirat Syifa dapat memperkirakan alasan sesungguhnya, karena Amaya mampu membalas perbuatan mereka dan gadis itu cukup kuat untuk melakukan tindakan kasar, sedangkan Syifa tak akan berani untuk melawan. Yang artinya, mereka memilih untuk melampiaskan kemarahan mereka pada Syifa, meski sudah jelas Amaya-lah penyebabnya.
“Tapi kenapa? Aku nggak ada sangkut-pautnya dengan Amaya,” protes Syifa tak terima.
“Ini bukan keputusan lo. Kita kan lagi nggak minta pendapat atau persetujuan,” sergah Clara dengan tegas.
“Tapi ini nggak adil. Yang nyari masalah kan Amaya. Harusnya dia juga yang menanggung akibatnya.”
“Diam lu, Cupu!” bentak Rere dengan geram.
Syifa menahan dirinya. Dia tak sempat bertanya apa yang sudah dilakukan oleh Amaya sehingga membuat mereka bertiga begitu marah.
“Sekarang, karena perbuatan Amaya ke Rere, lo harus mendapatkan hukuman. Lo harus ngerjain semua tugas kami selama seterusnya. Mulai dari sekarang, besok dan seterusnya. Ngerti?!” perintah Rere dengan nada memerintah.
Syifa membuka mulutnya hendak memprotes. Mana mungkin dia sanggup mengerjakan semua tugas itu? Tugas-tugasnya sendiri saja sudah cukup menyulitkan. Belum lagi ditambah tugas-tugas Rere, Tania dan Clara. Itu benar-benar akan menguras semua energinya hingga habis tak tersisa.
“Tapi, aku—“
“Lo akan ngerjain apa yang gue suruh atau lo akan ditendang keluar dari sekolah ini?” gertak Rere.
Syifa menelan kembali protesnya. Dia merasakan impitan besar di dadanya. Suatu perasaan berat dan tidak rela yang menekan, membuatnya merasa sakit hati.
Raut wajah Syifa tersiksa ketika Rere akhirnya membalikkan badan dan mengajak kedua temannya pergi.
“Ayo, kita nggak boleh ketinggalan ke ruang OSIS. Angga pasti udah di sana,” ajaknya dengan cepat.
Kedua temannya mengangguk mengiyakan. Tania nampak diam saja sejak dia datang tadi. Entah mengapa, seolah dia sedang memendam rasa marah padanya.
Ketiga gadis itu keluar meninggalkan ruang kelas yang kosong. Syifa sedang berdiri dengan kedua tangan terkepal marah. Dia menggigit bibirnya agar menahan air mata yang ingin sekali tumpah.
Mengapa harus aku? Mengapa bukan Amaya saja?
Berulang kali pikiran itu mengusik dirinya hingga membuat dadanya sesak. Ketidakadilan ini benar-benar memuakkan!
Hanya karena dia jauh lebih lemah dari Amaya, maka dirinyalah yang menjadi target pembullyan. Padahal sebelumnya, dia rela membela Amaya mati-matian agar tidak sampai dibully seperti dirinya. Ternyata sikap itu tidak dibalas dengan baik.
Syifa mengusap sudut matanya dengan tangan, lalu menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia harus tenang. Dia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah hal ini. Dia hanya bisa pasrah menjalaninya. Mau bagaimana lagi?
Syifa kembali duduk, melanjutkan mengerjakan tugas. Namun, pikirannya begitu sulit untuk terfokus dan berkonsentrasi. Ucapan Rere kembali terngiang di telinganya.
Mereka pergi ke ruang OSIS. Angga ada di sana. Mereka pasti akan menemui cowok itu.
Perasaan Syifa menjadi tak karuan. Bayangan wajah tampan Angga mendadak muncul, mengganggunya. Sesuatu dalam diri Syifa terasa perih. Apakah Rere akan mendekati Angga?
“Ah, itu bukan urusanku,” gumamnya seraya mendesah kecil.
Meski harus menipu diri sendiri, namun Syifa berusaha keras agar menjaga pikirannya teralihkan dari bayangan Angga.
“Masih menjadi kacung mereka?” ucap Amaya dengan nada angkuh melewati meja Syifa.
Syifa mengangkat wajah, balas menatap sosok Amaya yang berdiri dengan ekspresi tak terbaca.
“Bukan urusanmu!” balas Syifa ketus.
“Hmm, baiklah,” ucap Amaya dengan cuek.
Gadis itu sudah hendak beranjak ke tempatnya ketika Syifa tiba-tiba berdiri dan menghadapinya dengan marah.
“Semua ini gara-gara kamu kan!” semburnya dengan wajah merah.
Amaya berhenti, membalik badannya setengah berhadapan dengan Syifa.
“Apa maksudmu?” ucapnya dengan nada datar.
“Semua ini gara-gara kamu! Entah apa yang udah kamu lakuin ke Tania. Sekarang, aku harus ngerjain semua tugas-tugas mereka selamanya! Ini gara-gara kamu, tahu!” sembur Syifa tak tahan lagi.
Amaya menatapnya dengan kerut di dahi.
“Itu kan ulah mereka, bukan aku,” kilah Amaya membela diri.
“Tapi mereka melakukan ini gara-gara kamu. Kamu sadar nggak sih?” sergah Syifa dengan geram.
“Harusnya kamu melawan. Kamu kan bisa menolaknya saja ketimbang menerimanya begitu saja. Mereka tidak akan bisa merendahkan kamu kalau kamu melawan. Tapi nyatanya kamu menerima perlakuan mereka sehingga sikap mereka terus menerus begitu. Kamu sendirilah yang membuat mereka semakin berkuasa atas dirimu!”
“Hah, kamu pikir dengan melawan maka mereka akan berhenti mengerjaiku?”
“Tentu saja.”
Syifa menggeleng tegas.
“Kamu benar-benar egois, May! Rere jelas tidak akan pernah berhenti membully diriku. Karena ayahnya memegang beasiswaku, bisa-bisa aku ditendang keluar dari sekolah ini kalau aku melawan. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
“Nggak bakalan,” ucap Amaya memulai. Tapi ucapannya langsung disela oleh Syifa.
“Kamu tidak mungkin paham rasanya seperti aku. Aku yakin kamu pasti mampu membayar sekolah di sini tanpa bantuan beasiswa apapun. Tapi aku tidak, May! Dan aku ingin agar kamu mengerti itu!”
Untuk sejenak keduanya terdiam. Amaya nampak tak jadi mengungkapkan kata-katanya. Syifa memandngi gadis itu dengan mata yang basah, teringat perjuangan ayahnya selama ini. Dia tak ingin membuat sang ayah kecewa dengan kehilangan beasiswa itu. Tidak untuk Rere, tidak juga untuk Amaya.
Keheningan menggantung di udara, seperti sebuah awan yang rapuh di antara gemuruh guntur. Dan tak ada kata-kata yang terucap dari mereka hingga keduanya saling mencerna perasaan masing-masing.