“Maaf,” ucap Amaya dengan begitu lirih.
Suaranya bagaikan desir angin dalam ruangan yang sepi dan hampa itu. Syifa menghirup udara dalam-dalam, berupaya mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Deru napasnya yang tak beraturan disebabkan oleh isak kecil tertahan yang ingin dia tahan. Namun dia tak bisa. Tangisan itu lolos dari matanya, hingga membuatnya sedikit sesak.
Syifa memejamkan mata, ingin mengendalikan diri dan tetap tenang. Ucapan Amaya barusan telah didengarnya. Namun dia tetap merasa enggan untuk menatap matanya.
“Hanya maaf ya?” kata Syifa dengan nada sinis.
“Selama kamu terus melawan mereka, maka kamu akan terus memberikan aku masalah baru, May. Dan maafmu itu sama sekali nggak cukup!”
Syifa tahu dirinya kelewatan. Amaya mungkin hanya berusaha untuk melawan tindakan semena-mena Rere dan gengnya, juga berusaha membujuk agar Syifa tak bersikap seperti seorang pecundang yang hanya bisa menurut. Tapi, apa yang bisa dilakukan oleh Amaya akan berdampak makin buruk pada Syifa. Dan Syifa sudah lelah dengan semua itu.
“Kamu benar. Aku nggak akan pernah tahu gimana rasanya berada di posisimu. Itu pasti sulit. Tapi, aku tak mau kamu selalu bersikap begini. Menerima saja kelakuan mereka dan menurut pada mereka akan membuat mereka makin merajalela.”
“Itu lebih baik,” balas Syifa. “Dari pada aku harus melihat ayahku kelimpungan mencari uang demi membayar sekolah. Aku tak akan sanggup. Ayahku seorang invalid, kamu tahu? Dia tak bisa bekerja seperti orang normal pada umumnya. Jadi, masalah uang itu sangat berpengaruh bagi kehidupan kami. Aku tak ingin menambah beban baginya.”
Amaya menelan ludah dengan susah payah. Penjelasan itu membuat dirinya merasakan sentakan rasa bersalah yang dahsyat. Selama ini Syifa belum pernah menyebut-nyebut soal permasalahan keluarganya. Terutama bahwa ayahnya seorang yang memiliki kondisi berbeda. Mendadak saja hatinya pedih seperti disayat-sayat. Bayangan sosok ibundanya muncul di pelupuk mata.
Bukankah dia dan Syifa memiliki banyak kesamaan?
“Aku nggak tahu semua itu ....”
Ucapan itu serupa bisikan pelan, entah terdengar atau tidak. Amaya menunduk menatap sepatunya. Dia nyaris meneriaki Syifa sebagai pecundang ketika amarahnya berkobar-kobar tadi. Amaya sama sekali tak berpikiran bahwa Syifa akan melontarkan kalimat panjang itu dan membuatnya terjebak oleh rasa bersalah.
Syifa menghembuskan napas, berusaha menenangkan dadanya yang naik-turun tidak beraturan. Emosinya masih belum stabil, masih dikuasai oleh rasa marah.
“Kalau begitu, kamu harusnya udah paham apa yang aku maksudkan? Mulai sekarang, nggak usah berlagak jadi sok pahlawan. Sebaiknya kamu diam dan nggak perlu nyari masalah. Itu akan jauh lebih baik bagiku.”
“Tapi, aku ingin menolongmu –“
“Menolongku? Dengan cara itu saja sudah cukup membantu. Terima kasih banyak.”
Ucapan itu terlontar dengan nada sindiran sinis. Syifa sendiri terkejut mendengar suaranya yang ketus. Padahal tidak dimaksudkan demikian.
“Rere akan terus menjadikan kamu kacungnya,” kata Amaya lagi, entah dengan tujuan apa.
Amaya sendiri tak mengerti. Posisi ini sulit. Dia tak ingin Syifa menjadi korban bully lagi, tapi di sisi lain dia tak tahu harus berbuat apa. Membujuknya untuk melawan sekarang terdengar sangat aneh dan tidak meyakinkan.
Syifa tersenyum miring. “Biar saja. Biarkan mereka menjadikan aku kacung, pembantu, keset atau apapun yang mereka mau. Biarkan saja. Kamu nggak perlu ikut campur. Selama bukan kamu yang ditindas, maka tidak perlu kamu melawan. Biarkan aku menjalani hidupku dengan tenang. Jangan kamu tambah dengan akibat dari perbuatanmu. Aku tidak akan sanggup!”
Pernyataan bernada putus asa itu menyentak Amaya begitu keras. Gadis itu terkejut dengan kepasrahan Syifa, seolah dirinya baru saja ditonjok dengan kuat. Wajahnya membeliak, menyiratkan ketidakpercayaan. Mengapa Syifa begitu pasrah dan tak ingin mencoba melawan dengan cara lain?
Hal itu membuatnya kecewa. Padahal dulu dia berpikir bahwa dengan Syifa, maka mereka berdua akan bisa bersatu melawan Rere dan gengnya. Menghapuskan tindakan bully dan penindasan yang tidak seharusnya terjadi di sekolah ini.
“Aku mau melanjutkan tugasku,” ucap Syifa dengan nada lebih tenang.
Sepertinya gadis itu telah berhasil menguasai emosinya sendiri. Ketika dia sudah duduk kembali dan membelakanginya, Amaya tidak tahan untuk tidak berkata-kata.
“Tadi Tania berusaha untuk memotong rambutku,” ucapnya.
Syifa berhenti bergerak, punggungnya tegak dan diam, pertanda bahwa dia mendengarkan. Tapi ia tak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Itulah sebabnya aku melawan dan hampir menampar wajahnya.” Amaya menjelaskan.
Oh, gara-gara hal itu ....
Kini Syifa mengerti kenapa Tania kelihatan marah sekali. Dia pasti kesal karena keinginannya tidak terkabul. Gadis-gadis itu, yang terlahir dari keluarga-keluarga kaya raya dan hidup berkecukupan mana tahu bagaimana rasanya kekurangan. Mereka sudah terbiasa hidup bergelimang harta dan mendapatkan segalanya yang mereka inginkan. Apapun itu.
Lalu Tania menginginkan rambut Amaya dipotong begitu saja, padahal itu bukan haknya untuk memutuskan. Pantas saja Amaya marah. Kalau dia berada di posisinya, mungkin Syifa juga akan marah dan menentang.
“Oh, sori.”
Kata itu diucapkan oleh Syifa nyaris tanpa menoleh. Dia hanya berpaling sedikit untuk memberi kesan pada Amaya bahwa dirinya masih merespon. Tapi harga diri serta egonya masih terlalu tinggi untuk menoleh sepenuhnya dan memberikan tatapan peduli secara langsung. Ia berharap Amaya mengerti.
Tak ada respon balik. Amaya tak bersuara. Entah apa yang dilakukannya. Syifa mulai bekerja kembali, memaksakan tangannya yang letih untuk bekerja keras. Sementara Amaya tidak terdengar.
Entah dia sudah duduk di tempatnya atau masih berdiri di sana dengan tatapan kosong. Syifa tidak tahu. Untuk saat ini dia tidak ingin peduli. Biar saja. Biarkan semua berlalu seperti semestinya. Dia ingin memberikan pelajaran juga untuk Amaya. Gadis itu seharusnya lebih bisa menghargai makna orang lain baginya. Sebab bukan hanya dia yang menjalani kehidupan ini. Dan tingkah-lakunya bisa saja mempengaruhi kehidupan orang lain tanpa ia sadari.
Syifa berharap agar Amaya dapat merenungkan semua ucapannya dan berhenti mencari masalah dengan Rere dan geng. Jika itu berhasil, maka kemungkinan besar dirinya akan aman selama setahun terakhir masa sekolahnya di sini. Hanya itu yang dia perlukan. Sebuah ketenangan.
Siang itu hingga sepulang sekolah, Syifa hanya duduk di dalam ruang kelas. Dia tak pergi ke kantin untuk memakan bekal makan siangnya. Dia mencuri-curi waktu untuk mengisi perut di sela tugas yang menumpuk. Jika dia tidak ssgera menyelesaikan, maka besok pagi Rere pasti akan memarahinya.
Maka sepulang sekolah hari itu, dia berjalan dengan letih ke rumah dengan pikiran setengah melamun. Dia terlalu remuk dan mengantuk hingga tanpa sadar melewati jalanan sepi tempat terjadinya tragedi pembunuhan beberapa waktu yang lalu. Syifa tak fokus, sampai tak menyadari seseorang yang berjalan membuntuti tak jauh darinya.