Kecelakaan Kecil

1078 Words
“Teman kamu lucu ya,” kata sang ayah ketika Syifa mendorong kursi rodanya kembali mengusuri jalan. Mereka berdua sedang berjalan pulang, usai makan di stan ayam goreng yang terkenal di daerah itu. Syifa diam saja tak menyahuti. Dia masih merasa sakit hari terhadap ucapan Arthur, teman sekelasnya yang tak sengaja berjumpa di sana. Untung saja dia tidak mengatakan lebih banyak ledekan lagi. Kalau tidak, Syifa pasti akan meledak marah padanya. “Kamu nggak pengen beli hadiah lain untuk kamu?” tanya sang ayah membuat konsentrasi Syifa kembali. “Hadiah?” ulangnya heran. “Iya, hadiah ulang tahun kamu.” “Kan tadi sudah,” sahut Syifa. “Itu hanya makan-makan saja. Bukan hadiah. Coba sebutkan, benda apa yang kamu inginkan untuk hadiahnya? Nanti ayah belikan.” Syifa merasa terharu atas perhatian sang ayah yang masih berusaha untuk membuatnya senang. Tetapi, dia mengkhawatirkan keuangan mereka jika dia terus-terusan meminta hadiah. “Nggak perlu hadiah apa-apa, Ayah. Bisa bersama Ayah saja sudah membuat aku senang. Itu hadiah yang tak bisa dibeli di manapun,” ujarnya dengan bijak. Sang ayah tersenyum melihat kedewasaan putrinya. “Tak terasa ya, kamu sudah memasuki usia tujuh belas. Rasanya seolah baru kemarin kamu lahir ke dunia ini. Tahu-tahu saja kamu sudah sebesar ini sekarang.” Ucapan itu membuat Burhan, sang ayah terkenang pada masa lalu. Dia ingat betapa manisnya Syifa sewaktu masih bayi. Dia adalah bayi yang lucu dan imut, menggemaskan sampai-sampai membuatnya tak bisa meninggalkan bayi itu sedetikpun. “Tinggal setahun lagi ...,” gumam Syifa tanpa sadar. Entah mengapa tiba-tiba pikirannya kembali teringat bahwa waktunya di sekolah hanya tinggal setahun lagi. Setelah itu dia akan bebas. “Apanya, Nak?” tanya sang ayah yang ingin tahu. “Ehhh, itu Yah, sekolahku tinggal setahun lagi,” jawabnya pelan. “Iya, setahun lagi kamu sudah lulus dari sana. Setelah itu, bagaimana? Apa kamu ingin melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi?” Pertanyaan itu menohok Syifa. Gadis itu sebenarnya sudah memikirkan kemungkinan itu, tetapi dia merasa ragu. Sebab, dia berada di antara dua pilihan. Pertama, melanjutkan kuliahnya dan meraih gelar sarjana yang dia impikan atau bekerja untuk membantu ayahnya mencukupi kebutuhan hidup. Jika dia memilih yang pertama, maka dia harus memikirkan besarnya uang yang harus ayahnya bayarkan untuk biaya pendidikan. Tentu saja hal itu mengusik pikiran Syifa hingga dia merasa bahwa pilihan kedua-lah yang lebih baik. “Syifa belum tahu, Yah. Sebaiknya itu dipikirkan nanti saja,” kilah Syifa mengelak. Dia tak ingin membahas persoalan itu sekarang, di saat masih banyak persoalan lain yang lebih mendesak untuk diselesaikan. “Kita harus mulai nemikirkannya mulai dari sekarang, Nak.” “Ah, gampanglah itu. Lagipula waktunya masih lama kok, Yah. Masih setahun lagi.” Sang ayah menghembuskan napas panjang menyerah. Dia tak bisa mendebat jika Syifa sendiri masih belum ingin memikirkan hal itu. “Baiklah, kita pikirkan itu nanti saja. Kamu yakin, tidak mau hadiah apa-apa untuk ulang tahun kamu hari ini?” Pak Burhan bertanya sekali lagi untuk memastikan. Langkah keduanya masih berada di sekitar pasar, yang artinya masih ada kesempatan untuk berbelok ke toko jika Syifa menginginkan sebuah hadiah. “Lihat, boneka itu sangat manis!” tunjuk sang ayah pada salah satu toko. Syifa sempat melirik ke arah deretan toko di sebelah kirinya. Salah satu toko itu memajang beragam jenis boneka yang lucu-lucu. Tetapi Syifa tak menginginkan hal-hal semacam itu. Dia tak membutuhkannya. “Syifa tak suka boneka, Yah. Lagipula sekarang usiaku sudah tujuh belas,” sergah anak itu. Sang ayah terkekeh geli. “Betul juga. Anakku sudah dewasa.” “Menuju dewasa,” ralat Syifa. “Baiklah, bagaimana dengan baju baru?” Syifa melirik sebuah toko baju yang memajang beragam jenis pakaian yang cantik. Baju baru. Itulah yang dia inginkan. Tapi, itu akan menguras dompet ayahnya. Jadi, dia kembali menggeleng. “Syifa masih punya banyak baju. Satu lemari penuh!” ujarnya menolak. “Hmm, jadi apa hadiah yang harus ayah berikan untuk kamu, Syifa?” tanya sang ayah penuh harap. “Begini saja, Ayah bisa jahitkan Syifa sebuah baju sendiri. Tidak perlu membelinya. Bagaimana?” Sang ayah mengangguk setuju. Membeli bahan kain jauh lebih murah dari pada membeli pakaian jadi. Lagipula kemampuan menjahit ayahnya juga sangat mahir. “Baiklah, nanti Ayah buatkan ssbuah baju untuk kamu ya. Mau yang model bagaimana?” Syifa lantas menggambarkan model baju yang dia inginkan. Sang ayah mendengarkan sembari ikut membayangkan. Sesekali pria itu menyela untuk menanyakan detil-detil yang dia butuhkan. Syifa dan sang ayah terus mengobrol seru, hingga tak menyadari situasi di sekitarnya. Saat itu, keduanya berjalan dengan santai di tepi jalan yang ramai. Dari arah yang berlawanan, sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi bergerak meliuk-liuk tak terkendali. Kendaraan itu berdecit di jalan raya dengan suara berisik dan nyaris menabrak sosok Pak Burhan. Syifa menoleh terkejut dan dengan sigap segera melindungi sang ayah dengan cara mendorong kursi rodanya menjauh ke trotoar. Tetapi, Syifa sendiri malah jatuh tersungkur di aspal. “Awas!” teriak seseorang dengan keras. Syifa memejamkan matanya, dengan jantung berdentum keras merasakan ketakutan yang mendalam. Tepat beberapa detik sebelum mobil itu menghantam sisi lain trotoar dengan bunyi berdebum kencang, Syifa dapat merasakan seseorang mengangkat tubuhnya. Dia sendiri masih belum berani membuka mata akibat shock. “Syifa!” pekik suara ayahnya. Gadis itu akhirnya membuka kelopak mata perlahan-lahan. Dia menatap sekelilingnya, di mana semua orang berkerumun di sana. Mobil pick-up hitam itu menabrak lampu tiang jalan dan kondisinya rusak parah di bagian depan. Tapi sang sopir selamat, dengan keadaan luka ringan dan shock. Nyaris saja, sedikit lagi pasti mengenai tubuh Syifa dan menabrak gadis itu. “Kamu nggak apa-apa?” tanya seseorang yang bernada akrab. Barulah saat itu perhatian Syifa teralihkan. Di menatap sosok seorang cowok jangkung yang masih menggendong tubuh Syifa. Begitu melihat wajah tampan cowok itu, napas Syifa seolah tersekat. Dia adalah Angga! “Ups!” pekiknya ringan ketika melompat turun dari gendongan Angga. “Syifa, kamu baik-baik saja?” tanya sang ayah yang duduk kembali di atas kursi roda. Lelaki itu tadi sempat terjatuh ke atas trotoar dan kursi rodanya terjungkal. Untung saja orang-orang di sana segera membantu. Syifa hanya mengangguk, merasa seolah sekujur tubuhnya masih membeku tak berdaya. Jantungnya berdegup semakin kencang, seolah dia sedang berlari melintasi lapangan. “Syukur deh kalau kamu nggak apa-apa,” ucap ayahnya dengan nada cemas yang masih melekat. “Om nggak apa-apa?” Angga bertanya. Entah mengapa, Syifa dapat merasakan rasa deg-degan yang tak karuan ketika Angga menanyakan hal itu. Apakah ini efek kecelakaan barusan atau adakah sesuatu dalam diri Angga yang membangkitkan perasaan itu pada Syifa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD