Pasar desa itu sudah cukup sepi pada jam segini, sebab jam-jam ramainya adalah pada pagi hari, saat ibu-ibu banyak pergi berbelanja ke pasar. Sedangkan siang hari sudah banyak pedagang yang pulang.
Syifa dan ayahnya menyusuri jalanan lengang itu dengan santai, sembari melihat-lihat ke sekitar kanan-kirinya. Warung-warung yang menetap di sekitar pasar masih buka hingga sore bahkan kadang malam hari. Ke sanalah tujuan mereka sebenarnya. Ayahnya ingin mengajak Syifa makan sesuatu yang enak, yang bisa membuatnya senang.
“Sekarang kamu tinggal pilih, mau makan apa hari ini?” tanya sang ayah.
Syifa hanya tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan perasaannya yang tidak karuan.
“Ada ayam bakar, sate, nasi goreng, soto atau nasi padang. Mau yang mana, Nak?” tawar sang ayah mendaftar semua warung yang ada.
“Ehm, Syifa bingung, Yah,” jawab gadis itu.
Sebenarnya dia tak ingin membuat ayahnya mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk makan siang ini.
“Pilih aja Nak, mana yang kamu pengen. Mumpung hari ini hari ulang tahun kamu.”
Syifa menatap ke deretan warung yang berjajar di tepi jalan itu. Kesibukan nampak di mana-mana. Semua warung itu nampak masih melayani pembeli masing-masing meski tidak terlalu ramai. Masing-masing menawarkan makanan yang menggoda selera dan membuat perut Syifa keroncongan. Aroma makanan menyergap hidungnya dan membuat air liurnya terbit.
“Apa saja yang Ayah inginkan, akan Syifa makan,” ucap gadis itu.
“Ah, nggak bisa begitu dong. Nggak fair namanya. Kan yang ulang tahun kamu, masa’ ayah yang harus pilihkan makanannya?” sahut sang ayah.
Syifa tersenyum, berusaha menghargai usaha ayahnya untuk menyenangkan hatinya.
“Apa mau ayam goreng di sana itu?” tunjuk sang ayah pada stan ayam goreng yang terkenal.
Syifa menelan ludah dengan susah payah. Dia ingin menolak, tetapi rupanya pajangan ayam-ayam goreng itu membuatnya tidak dapat mengalihkan pandangan.
Sang ayah yang memperhatikan lantas tertawa ringan.
“Baiklah, kita ke sana saja ya? Sepertinya kamu suka.”
Syifa menurut. Dia mendorong kursi roda ayahnya ke stan itu dan keduanya duduk di salah satu kursi yang kosong.
Setelah memesan dua porsi ayam goreng besar, mereka duduk mengobrol sembari menunggu pesanan datang.
“Bagaimana sekolah kamu? Semuanya baik-baik saja?” tanya sang ayah.
Syifa menampakkan seulas senyum di wajahnya.
“Tentu, semuanya baik-baik saja.”
“Tidak ada masalah?”
Syifa menggeleng menegaskan.
Bagaimana bisa dia mengatakan ada masalah dengan teman-temannya? Itu pasti akan membuat ayahnya merasa cemas kepadanya.
“Ayah rasa ayah agak kurang memperhatikan kamu. Ayah terlalu sibuk bekerja sampai lupa dengan hari ulang tahun putri ayah.”
“Ah, Ayah berlebihan. Aku nggak apa-apa kok. Ini kan hanya hari ulang tahun,” hibur putrinya dengan nada lembut.
“Yah, seandainya ibumu ada ... Dia pasti akan mengingatnya. Malah, mungkin kita sudah merayakannya bersama-sama,” ucap ayahnya dengan nada sedih.
Mendadak perasaan Syifa dihinggapi rasa kecewa. Selama bertahun-tahun ini, tak pernah sekalipun sang ayah menyebut-nyebut soal ibunya. Bagi mereka, wanita itu seakan tak pernah eksis dalam hidup mereka.
Tapi bagaimana pun juga, dia tak bisa menyalahkan ayahnya karena mengingat sosok wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Wanita yang telah melahirkan Syifa ke dunia ini.
“Sudahlah, Ayah. Sebaiknya jangan ungkit-ungkit lagi soal itu,” sergah Syifa.
“Kamu marah dengan ibumu, Nak?”
Pertanyaan itu menyulut rasa perih yang dalam di hati Syifa. Dia tahu, dari cerita ayahnya dan dari para tetangga bahwa ibunya pergi meninggalkan dia saat dirinya berusia enam tahun.
Ketika itu ayahnya masih bekerja dan mengalami kecelakaan fatal yang membuatnya harus kehilangan kemampuan berjalannya. Kejadian menyedihkan itu membuat penghasilan ayahnya merosot drastis. Dia bahkan sempat dirawat di rumah sakit dan di rumah selama beberapa bulan, tanpa penghasilan sekalipun. Sejak itu, wanita itu pergi dari rumah dan tak pernah kembali lagi. Sang ayah ditinggalkan sendirian bersama anak mereka yang masih begitu kecil.
Syifa menggigit bibir, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Bagaimana bisa seorang wanita berbuat sedemikian hingga menyakiti kedua orang yang pernah disayanginya?
Mungkin memang selama itu ibunya tak pernah menyayangi dirinya dan sang ayah. Jika tidak, maka dia tak mungkin pergi meninggalkan mereka hanya karena persoalan keuangan belaka.
“Syifa tak ingin membahasnya, Ayah,” tukas Syifa dengan tegas.
Sang ayah mengangguk lembut, menatap putrinya dengan sorot kedua matanya yang nampak letih.
“Maaf, seharusnya ayah tidak mengungkit hal itu hari ini, di hari ulang tahun kamu,” ucap sang ayah.
Syifa diam tak menjawab. Dia memalingkan wajah ke arah lain, agar sang ayah tak perlu melihat air mata yang mengalir di sudut matanya.
“Syifa?” ucap seseorang memanggil namanya.
Gadis itu lantas menoleh ke arah sumber suara. Dia membuka mulutnya dan hendak membalas, tetapi dia bingung harus membalas apa.
Sosok seorang cowok yang berdiri di depannya itu adalah sosok yang tak asing lagi. Dia adalah salah seorang teman Rere di kelas. Syifa sama sekali tak menyangka akan bisa berjumpa dengan anak itu di sini.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Syifa refleks, sebab ia heran dengan keberadaan anak orang kaya di daerah kumuh begini.
“Gue lagi mampir. Lo sendiri? Lo makan ayam di sini?” tanya anak itu.
Syifa mengangguk. “Kamu juga makan di sini?”
Pertanyaan konyol. Tak mungkin anak yang bersekolah di SMAN 1 GARUDA mau makan di tempat seperti ini. Kalau bukan restoran mewah dan tempat-tempat mahal lainnya, lantas untuk apa dia datang kemari?
Cowok itu berdecak geli.
“Ya nggak lah, gue cuma mampir ke salah satu cabang usaha bokap gue,” sesumbarnya bangga.
“Ini teman kamu, Fa?” tanya sang ayah dengan nada menyapa.
“I-iya, Ayah,” jawab Syifa cepat.
Sebenarnya dia malu untuk mengakui anak itu sebagai temannya. Nampak sekali di wajahnya bahwa anak itu juga heran mendengar jawaban Syifa. Sejak kapan sih dia berteman dengan Syifa?
“Oh, halo, saya ayahnya Syifa. Nama kamu siapa?”
“Arthur,” jawab cowok itu.
“Mau makan bareng? Biar Ayah pesankan satu buat kamu. Kebetulan hari ini adalah hari ulang tahunnya Syifa,” tawar sang ayah dengan ramah.
Syifa menunduk, menahan diri.
“Oh, iya. Gue tahu kok kalau Syifa hari ini ulang tahun. Bukannya tadi kita ngerayain bareng-bareng ya, Fa?” ucapnya dengan maksud menyindir.
Syifa tak berani mengangkat wajahnya. Dia yakin bahwa Arthur sedang meledek dirinya dengan cengiran lebar. Dia salah satu anak di kelasnya yang turut melemparkan telur mentah ke arah Syifa di kelas tadi.
“Wah, pasti menyenangkan bukan? Kalian memang teman-teman yang sangat baik dan perhatian. Kalian bisa tahu hari ulang tahun Syifa, sedangkan ayahnya sendiri saja lupa!” gurau sang ayah.
Arthur tersenyum makin lebar, tetapi bukan karena merasa senang. Dia hanya puas melihat betapa rendah dan jauhnya jarak antar mereka berdua.
“Ngomong-ngomong, nanti bayarnya pakai uang kan, Om?” tanya Arthur dengan nada sindiran yang cukup keras.
“Oh, iya dong. Masa’ pakai daun?” sahut ayah Syifa dengan maksud bercanda.
Arthur tersenyum miring, khas ketika dia sedang meledek seseorang.
“Kirain pakai jasa cuci piring,” gumamnya.
“Apa?” sahut sang ayah tak mengerti.
“Nggak apa-apa Om, lupakan saja. Biasanya orang-orang datang pakai kartu kredit atau debit. Makanya gue nanya.”
“Oh,” ucap ayah Syifa mengangguk.
Arthur pamit untuk pergi dengan singkat. Syifa merasa wajahnya sudah merona merah. Dia tahu bahwa dirinya telah dipermalukan begitu rupa. Dia tahu bahwa dirinya memang pantas untuk diledek seperti itu. Tapi diperlakukan begitu di depan sang ayah, membuatnya merasa tak berkutik. Gadis itu merasakan getaran rasa marah dan malu pada saat yang bersamaan. Dia dan ayahnya telah dihina di depan umum. Betapa menyakitkan!