“Lo denger berita tentang Clara?” ucap seseorang di koridor sekolah.
Kebetulan saat itu Syifa sedang lewat dan secara tak sengaja mendengar ucapan itu. Dia tak perlu menoleh untuk melihat siapa yang berbicara. Nyaris semua orang saat ini membicarakan topik yang sama, yakni soal kebotakan Clara yang terpampang di lapangan basket kemarin.
Topik ini membuat semua orang berbisik-bisik heboh dengan senyuman samar di wajah mereka. Tak perlu ditebak-tebak, sebab kejadian itu memang membuat heboh seluruh sekolah. Seorang gadis cantik selevel Clara tampak memalukan diri sendiri di hadapan banyak cowok pemain basket. Sungguh sebuah pemandangan yang langka.
Syifa berjalan melewati anak-anak yang bergosip itu dengan ekspresi wajah datar. Kemarin dia masih bisa menertawakan soal itu. Tetapi, sekarang dia tak bisa menggerakkan otot wajahnya untuk tersenyum mendengar topik itu dibahas. Sebab, dia merasa bahwa dengan cara yang aneh Amaya ada hubungannya dengan kejadian ini. Seolah gadis itu secara ajaib mengutuk Clara dan kutukannya terjadi dengan tepat.
Memikirkan hal itu saja sudah membuat bulu kuduk Syifa meremang. Dia berjengit ketika seseorang menyentuh pundaknya dengan sentuhan pelan. Syifa menoleh dan mendapati wajah bersalah Reza di belakangnya.
“Ada apa, Za?” ucap Syifa dengan nada suara cuek.
Cowok itu berusaha menjajari langkah Syifa, ingin mengajaknya bicara sambil berjalan.
“Soal yang kemarin itu ... Aku minta maaf ya, Fa?” ucapnya dengan tulus.
“Soal apa?” sahut Syifa seakan melupakan segala hal selain Amaya.
“Soal surat dariku kemarin dulu.”
“Oh,” balas Syifa yang baru teringat.
Rasa kesalnya pada Reza sebenarnya masih belum mencair, tetapi persoalan lain merasuki benaknya sehingga dia tak sempat lagi memikirkan surat itu.
“Aku baru tahu kalau kamu dibully oleh Rere pada hari itu,” ucap Reza lagi, dengan nada bersalah yang kian kentara.
“Hmm, tau dari mana?” tanya Syifa penasaran.
Meski berbeda kelas, tetapi Reza kerap mengetahui berbagai macam hal yang terjadi di kelas lain, termasuk di kelas Syifa dari teman-temannya.
“Ada yang bilang ke aku. Mereka bilang kamu dilumuri tepung dan telur oleh kelompok Rere. Jadi, itulah alasannya kamu pulang dengan mengenakan seragam yang berbeda. Kamu pasti pakai seragam bekas di gudang sekolah bukan?”
Syifa mengangguk, tak ada gunanya mengelak lagi.
“Aku nggak ngerti, Fa. Kenapa kamu malah diam saja?”
Syifa menatap cowok itu seakan dia telah mengucapkan sesuatu yang menyinggungnya.
“Memangnya aku bisa apa, Za?” balas Syifa dengan nada pasrah.
“Kamu bisa melawan dia, Syifa. Jangan mau diperlakukan seperti ini terus,” ucap Reza berapi-api.
Syifa merasa heran padanya. Padahal yang dibully adalah Syifa, tetapi mengapa Reza begitu ngotot dan tak terima?
“Kamu bisa berkata begitu dengan mudahnya. Tapi kamu nggak tahu gimana dalam posisiku, Za,” sergah Syifa.
“Kenapa Syifa?”
“Posisiku sulit. Aku tak mungkin bisa membantah Rere dan gengnya. Kamu tahu kan, aku bisa sekolah di sini karena beasiswa. Dan siapa yang memberikan beasiswa itu padaku?”
Reza mengerjap menatap Syifa tak mengerti. “Bukan Rere kan?”
“Bukan, tapi ayahnya,” sahut Syifa jengkel.
Sikap Reza masih tak berubah. Dia masih nampak sama marahnya seperti tadi.
“Tapi itu tidak memberikan dia hak untuk memperlakukan kamu seperti ini, Syifa ....”
Syifa menghentikan langkah secara tiba-tiba, sehingga mengejutkan Reza yang tak siap.
“Kamu tahu apa sih? Kamu bahkan bersekolah di sini sama seperti yang lainnya. Kamu tidak merasa ditindas karena kamu nggak seperti aku. Aku harus berjuang mati-matian demi masuk ke sini. Dan sekarang, aku tidak bisa berbuat seenaknya dan membiarkan beasiswaku dicabut begitu saja. Hanya karena aku membantah Rere.”
“Tapi, Syifa—“
“Ssstt, cukup Za!” sela Syifa dengan cepat. Gadis itu merasakan entakan kemarahan yang nyata. “Aku nggak mau dengar kamu mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Selagi kamu nggak mampu membantuku, sebaiknya kamu diam saja. Itu lebih baik.”
Ucapan tajam gadis itu membuat Reza menatapnya dengan melongo. Cowok itu tak mungkin mengerti apa yang dirasakan oleh Syifa, sebab dia berasal dari kalangan orang kaya juga, sama seperti yang lain. Tidak seperti dirinya yang harus hidup di bawah kaki Rere dan memohon belas kasihan darinya untuk tetap bertahan di sini.
“Syifa, tunggu!” panggil Reza buru-buru. Cowok itu berlari mengejar langkah Syifa yang cepat menuju kelas.
Syifa mengepalkan kedua tangannya dengan geram. Mau apa lagi dia? Seolah perdebatan mereka masih belum cukup juga.
“Syifa!” panggil Reza dengan sia-sia.
Langkah gadis itu sama sekali tak melambat. Dia bahkan tak mau berhenti untuk menoleh.
“Sepertinya dia masih marah padaku,” gumam Reza sendiri.
Dia menunduk menyesal dengan perasaan bersalah.
“Hadiah ulang tahunmu, Syifa ...,” ucapnya dengan sedih.
Ketika memasuki ruang kelas, Syifa langsung berjalan menuju ke mejanya. Dia meletakkan tasnya yang penuh buku ke atas meja dengan keras. Rasa marahnya masih memenuhi rongga d**a, membuat gadis itu tak memedulikan hal lain.
“Dia emang ngomong gitu kemarin. Pasti ini gara-gara dia!” ucap seseorang dengan nada marah memasuki kelas.
Tatapan Syifa terangkat. Dia mendongak menatap sosok Rere yang nampak marah bersama gerombolan teman-temannya. Mereka berjalan dengan tatapan tajam terarah ke meja Syifa.
“Ada apa lagi ini?” batin Syifa dalam hati.
Dia sama sekali tak mengerti apa yang terjadi sehingga Rere menatapnya begitu rupa. Tapi dia salah. Ternyata mereka tak menatap dirinya. Mereka menatap Amaya, yang duduk di belakangnya.
“Hei, cewek aneh!” gebrak Rere di meja Amaya.
Syifa menoleh untuk melihat apa yang sedang terjadi.
“Apa yang udah lo lakuin ke Clara?” desak Rere dengan nada curiga.
“Apa?” balas Amaya dengan cuek.
“Jangan pura-pura bodoh!” ucap Rere dengan nada suara melengking tajam. “Gue tau kalau lo yang udah berbuat sesuatu sehingga Clara mengalami kejadian aneh kemarin. Iya kan?!” tudingnya.
Amaya bergeming di tempatnya. Dia tampak tidak takut sama sekali.
“Aku nggak tau,” gumam Amaya lirih.
Rere menatapnya dengan amarah yang semakin menjadi. “Jangan bohong!”
Rere berusaha membuat perhatian Amaya tertuju kepada dirinya.
“Kemarin di koridor, lo bilang sendiri bahwa Clara akan menjadi botak. Iya kan? Gue denger perkataan lo itu.”
Syifa tersentak kaget. Dia sama sekali tak menyangka jika Rere dapat mendengar obrolan mereka dalam jarak sejauh itu. Tidak, pasti bukan Rere sendiri. Mungkin salah seorang temannya yang tak sengaja mendengar ucapan Amaya kemarin. Buktinya, Rere nampak tak yakin saat mengucapkan tuduhannya.
“Jawab gue!” bentak Rere kembali menggebrak meja.
“Aku nggak tau kamu ngomong apa,” balas Amaya masih dengan gaya tidak pedulinya.
“Lo jangan menyangkal, cewek aneh! Apa yang udah lo lakuin ke rambut Clara sampai dia jadi botak begitu? Jawab gue dengan jujur!”
Syifa memperhatikan adegan itu dengan perasaan berdebar-debar. Sejujurnya, dia sendiri juga merasa penasaran. Dia ingin sekali mendengar jawaban Amaya soal itu. Apa yang akan dia katakan?