“Aku nggak melakukan apa-apa padanya. Mungkin itu hanya karma,” jawab Amaya dengan sebuah senyuman halus tersungging di bibirnya.
Rere menatapnya dengan tajam, sepertinya tak puas dengan jawaban itu. Dia memicingkan matanya mengancam.
“Lo jangan main-main sama gue!”
Amaya hanya menggelengkan kepalanya sambil berdecak kecil. Sikap tidak pedulinya membuat Rere merasa terganggu. Dia yang sudah terbiasa dianggap penting dan dipatuhi oleh nyaris semua temannya merasa seperti diremehkan. Terutama oleh seorang gadis aneh seperti Amaya.
“Heh, dengar ya, lo akan mendapatkan hadiah akibat sikap lo yang nggak hormat sama gue. Gue akan pastikan bahwa sekolah lo nggak akan lama di sini,” ancam Rere dengan gaya soknya.
Secara tiba-tiba, dia menoleh ke arah Syifa. Entah ada angin apa, gadis itu menatap tajam juga kepada Syifa.
“Lo, cewek cupu, liat apa lo!”
Syifa mengerjap. Dia menggelengkan kepalanya.
“Lo juga bersekongkol ya sama dia?” Rere mengedikkan dagunya ke arah Amaya.
Syifa menjawab dengan buru-buru. “Enggak, Re.”
“Yakin lo? Biasanya lo selalu bantuin dia. Jangan-jangan lo berdua udah sengaja merencanakan semua ini? Ngaku lo berdua!”
Bentakan itu tak lantas membuat Amaya terhimpit. Tetapi bagi Syifa, itu artinya beasiswanya sedang terancam jika dia tak dapat membuat Rere melunak.
“Aku sama sekali nggak tau apa-apa, Re,” sangkal Syifa.
“Jangan bohong sama gue!” sergah Rere dengan kasar. Dia menatap kedua gadis itu bergantian dengan tatapan yang mengintimidasi.
“Lo berdua harus tanggung jawab sama Clara!”
“Tapi aku nggak terlibat, Re. Sumpah!” bantah Syifa dengan nada memohon.
“Gimana gue bisa percaya sama elo? Kemarin aja lo masih ngebelain anak aneh ini kan?”
“I-itu –“
“Dia nggak ada sangkut pautnya,” ucap Amaya dengan misterius.
Suaranya yang lantang mengejutkan Rere. Gadis itu kini sepenuhnya menatap ke arah Amaya, meminta penjelasan lebih lanjut.
“Itu semua memang karmanya Clara. Itu nggak ada kaitannya dengan Syifa,” ujar Amaya tegas.
Syifa tak merasa dirinya beruntung atas penjelasan singkat itu. Dia sendiri masih tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Amaya. Bagaimana mungkin itu memuaskan amarah Rere?
“Terus gimana ceritanya rambut alami Clara bisa tiba-tiba terbang begitu? Apa yang lo udah lakuin sampai hal itu terjadi?” desaknya.
Amaya mengangkat bahu tak acuh. “Mana aku tau.”
“Heh, lo benar-benar bikin gue emosi!” ucap Rere dengan marah. “Lo sengaja mau nyari masalah baru sama gue?”
“Nggak begitu, Re,” sahut Syifa.
Rere menoleh kembali kepadanya. “Lo jangan ijut campur, cewek cupu!”
Syifa tersentak kaget. Dia diam dan mengunci mulutnya agar tidak lagi menyahut.
“Kalian berdua bener-bener nyari masalah!” ucap Rere seraya berdiri dengan tatapan tak terima.
“Lihat aja nanti, apa yang bakal gue lakuin ke kalian berdua. Gue nggak akan biarin kalian tenang di sini.”
“Lo paham?” ucap Rere sembari melayangkan tangannya ke depan wajah Amaya.
Dengan tangkas, Amaya menangkis tangan itu dan mencengkeramnya.
“Kamu mau masuk rumah sakit lagi, Re?” ucap Amaya lirih.
Meski nada bicaranya pelan, tetapi semua orang di sana dapat mendengarnya dengan jelas. Termasuk Syifa. Nada bicara Amaya penuh tekanan, mengancam. Ditambah dengan sorot matanya itu.
Rere segera menarik kembali tangannya, mungkin merasa takut pada Amaya. Dia pasti masih teringat jelas bayangan kejadian waktu itu, saat dirinya melawan Amaya. Gadis aneh itu bisa melukai dirinya begitu parah, sehingga dia masuk ke rumah sakit. Jelas wajah pucat Rere tak menginginkan hal itu terulang kembali.
“Lihat aja nanti, lo berdua!” ucapnya lagi untuk terakhir kali, sebelum melangkah keluar kelas.
Syifa menatap Amaya dengan bingung. Dia mencoba mencari jawaban persoalan itu dari mimik muka Amaya yang datar. Tetapi, sayangnya gadis itu tak menanggapi tatapan bertanya Syifa. Dia justru duduk dengan tenang di bangkunya, seolah tak tahu bahwa Syifa terus memperhatikan dirinya.
Ketika istirahat siang itu, Syifa membuka kotak bekalnya dengan setengah melamun. Dia makan sendirian di sudut kantin, meja yang paling dihindari oleh semua orang. Meja yang sudah dua tahun ini menjadi tempat setianya untuk menghabiskan waktu.
Meski raga Syifa ada di ruangan itu, tetapi pikirannya beralih ke tempat-tempat lain. Dia makan dengan setengah hati, mengabaikan rasa lapar di perutnya.
Berbagai macam persoalan merasuk ke dalam benaknya. Dia begitu dipenuhi oleh banyaknya kejadian yang telah terjadi akhir-akhir ini.
Soal sosok misterius yang menolongnya hari itu, yang sampai sekarang masih belum dia ketahui identitasnya. Sekarang ditambah lagi dengan soal permasalahannya dengan Rere. Gadis itu merasa benar-benar terkuras, baik energi maupun tenaganya. Pikirannya bekerja siang malam memikirkan semua itu.
Syifa sama sekali tak dapat tenang menjalani kehidupannya. Terutama dengan ancaman Rere kepadanya. Dia merasa setiap saat dia bisa saja ditendang keluar dari sekolah ini.
Seandainya saja dia bisa meminta jawaban dari Amaya, setidaknya salah satu rasa penasarannya akan hilang terobati.
Tapi apa yang dia inginkan tak terjadi. Yang ada, malah Rere dan kelompoknya muncul di kantin itu, merusak mood makan Syifa. Rere berbicara sedikit dengan temannya, kemudian tatapannya terarah pada Syifa yang duduk sendirian.
Secara intuitif, Syifa dapat merasakan adanya tekanan. Tatapan tajam Rere seakan ingin menusuknya. Apa yang terjadi? Apakah dia sudah berbicara dengan ayahnya dan meminta kepala sekolah mengeluarkan Syifa dari sana?
Jantung gadis itu berdentam-dentam tak karuan di dadanya. Dia takut kecemasannya itu akan terjadi. Namun ternyata Rere tidak menghampiri dirinya. Dia hanya melirik Syifa sesekali dari tempatnya duduk.
Syifa lekas menutup kembali kotak bekalnya dan membereskan barangnya sebelum beranjak pergi. Rasa laparnya sudah hilang sejak melihat wajah ketus Rere.
Biarlah, apa yang akan terjadi, maka terjadilah. Syifa melangkah dengan lunglai kembali ke kelasnya. Dengan pikiran yang tertuju ke rumah, ke tempat sang ayah sedang bekerja keras demi mewujudkan impian mereka. Apa yang akan dia katakan kepada ayahnya jika seandainya Rere benar-benar menendang dirinya?
Syifa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berharap hal buruk itu tak terjadi.
“Ssssshhhhsssshhh!”
Syifa tersentak kaget. Langkahnya terhenti seketika. Dia baru saja mendengar sesuatu. Suara aneh yang samar tetapi jelas. Gadis itu mencoba untuk menajamkan pendengarannya. Tak lama kemudiam suara aneh itu kembali terdengar.
“Sssshhhhsshh.”
Suara desisan itu membuat Syifa waspada. Dia mendekap kotak bekalnya dengan erat di d**a, seolah benda itu berharga. Syifa melangkah pelan, hati-hati.
Dia ingin tahu dari mana asal suara tersebut. Dan ingin tahu apa yang menyebabkan suara mendesis aneh begitu. Apakah itu suara ular?
Mendadak rasa cemas Syifa hidup. Gadis itu menatap awas, berjalan dengan mengendap-endap karena tak ingin diserang secara tiba-tiba. Dia mengikuti ke mana suara itu terdengar semakin keras dan jelas. Syifa terus berjalan tanpa sadar, mengikutinya. Hingga ia sadar di mana dirinya berada kemudian.