Kejadian di Kantin

1133 Words
“Aku nggak mau kamu terjebak oleh wajah polos Syifa,” ucap Rere dengan nada halus dan lembut. Angga yang berdiri di sampingnya menatap gadis itu dengan pandangan yang tak bisa diterka. Dia mengangguk pelan tetapi tidak jelas. “Oke, aku paham. Trims karena sudah repot-repot mau melakukan hal ini,” balas Angga. Kini perhatiannya sudah teralih ke dalam lapangan basket, di mana beberapa temannya masih asyik bermain. “Ehm, Angga, boleh nggak kalau aku minta nomor ponsel kamu?” tanya Rere dengan jantung berdebar keras. Angga tidak terlalu memperhatikan ucapannya karena saat itu seorang temannya melemparkan bola basket ke arahnya. “Eh, apa kamu bilang tadi?” tanya Angga ketika dia menoleh menatap Rere. Gadis itu sudah cemberut, kesal melihat respon Angga. Dia menggeleng, enggan untuk mengulangi permintaannya. “Nggak ada. Nggak jadi,” kata Rere dengan sebal. “Ya udah, aku kembali ke sana ya!” pamit Angga segera berlari menjauh. Dia meninggalkan Rere berdiri seorang diri di tepi lapangan dengan wajah ditekuk, mirip cucian yang kusut tak disetrika. “Gimana hasilnya?” tanya Clara dengan ingin tahu. “Si Angga cuekin gue,” jawab Rere sembari menghentakkan kakinya marah ke lantai. Clara mendekati sahabatnya iru dan mengelus pelan bahu Rere. Dia mencoba menenangkan Rere agar tidak terlalu kesal. Sebab, suasana hati Rere kerap kali akan mempengaruhi dirinya juga. Jika Rere sudah badmood, itu artinya hari itu akan menjadi sangat tidak menyenangkan. “Clara, apa bener si cewek cupu itu pasang pelet buat deketin Angga? Kenapa dia bersikap biasa aja waktu ngobrol sama gue tadi? Kemaren kita lihat dia begitu perhatian sama Syifa. Padahal, apalah lebihnya dia ketimbang gue?” Pertanyaan itu membuat Clara menghela napas panjang. “Perhatikan saja anak cupu itu, apa dia nggak aneh akhir-akhir ini menurutmu, Re?” Clara balik bertanya. Rere mengerjap, mencoba memahami maksud ucapan Clara. Dia menoleh ke arah koridor sekolah, di mana Syifa nampak sedang berjalan dan berbincang dengan Amaya. Rere menyipitkan matanya, meneliti kedua anak aneh itu. “Benar juga,” ucapnya kemudian. “Mereka malah semakin kelihatan aneh kalau lagi berdua. Ada aura gimana gitu ....” Clara mengangguk setuju. “Gue juga ngerasain hal itu, Re. Menurut gue, sepertinya Syifa dan anak aneh itu punya sesuatu yang mereka sembunyikan sendiri.” “Apa itu?” Clara mengedikkan bahunya yang kurus. “Mana gue tahu? Tapi kita harus mencari tahu hal ini, Re. Siapa tahu kita bisa memanfaatkannya nanti.” Rere mengangguk setuju. Kedua gadis itu terdiam ketika Syifa dan Amaya lewat. Pandangan mata keempatnya saling bertabrakan. Namun tak ada ucapan atau kata-kata yang keluar dari mulut siapapun. Syifa dan Amaya hanya lewat begitu saja, tidak ingin mencari masalah baru dengan Rere. Sementara Rere dan Clara masih sibuk dengan pemikiran mereka. “Aku ingin tahu, gimana kondisi Tania sekarang,” gumam Syifa ketika dia melintasi ruang demi ruang kelas. Dia dan Amaya terus berjalan menuju kantin, untuk mengisi perut mereka yang keroncongan. “Kenapa kamu peduli?” tanya Amaya. Syifa menoleh menatapnya dengan heran. “Tentu saja aku peduli. Biar bagaimanapun, kejadian itu cukup mengerikan. Tania ketimpa batang pohon besar. Rasanya merinding sewaktu aku menyaksikannya sendiri. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku bila aku yang berada di posisi dia.” Syifa bergidik ngeri membayangkan hal itu terjadi. “Tapi bukan kamu yang terluka. Kenapa kamu harus peduli?” Lagi-lagi ucapan Amaya membuat Syifa tersentak kaget. Dia nampak heran dengan pertanyaan Amaya yang tidak biasa itu. “Ya, aku peduli karena aku peduli aja. Memangnya harus ada alasan?” sahut Syifa. “Ada. Manusia itu selalu butuh alasan untuk melakukan sesuatu,” ungkap Amaya dengan nada bicara yang aneh. Syifa mengerutkan keningnya dengan heran. Dia sama sekali tak dapat memahami maksud ucapan Amaya. Otaknya yang kelaparan tak sanggup diajak untuk berpikir. Dia memilih untuk menyerah dan diam. Lagipula langkah keduanya sudah sampai di depan kantin. Syifa dan Amaya menghampiri penjaga kantin yang galak dan melihat-lihat daftar menu yang ditempel di banner besar belakang sana. Syifa tidak melihat pada daftar nama makanan yang dipajang, melainkan meneliti harganya satu per satu. Rata-rata harga makanan di sini jauh dari jangkauannya. Dia yang hanya anak seorang penjahit mana bisa jajan dengan harga makanan yang selangit? Syifa mendesah pasrah. Tak ada menu yang harganya wajar. Semua menu makanan yang ada cukup menguras kantong. Gadis itu merasa sayang, jika harus mengeluarkan Rp50.000 hanya untuk semangkuk nasi soto. Atau Rp35.000 untuk semangkuk bakso. Baginya, harga segitu tidaklah normal. Sebab dia sudah terbiasa dengan harga penjual keliling yang berkali lipat lebih murah. “Aku nggak jadi makan deh,” ucap Syifa berbalil akan pergi. Ibu penjaga kantin nampak memelototi anak itu dari kejauhan. Amaya memegang lengan Syifa dengan pandangan bertanya. Meski Syifa tak dapat melihat kedua matanya dengan jelas, tetapi sikap Amaya sudah cukup melontarkan pertanyaan tanpa suara. “Kamu aja yang makan, May. Aku tiba-tiba jadi kenyang,” kilah Syifa. “Kita makan bareng, atau lapar bareng,” ucap Amaya tegas. Syifa merasa tersentuh mendengar kata-kata itu. Baru kali ini Amaya nampak begitu bersahabat dengan dirinya. Syifa tersenyum memaksa. “Aku tungguin aja ya, kamu yang makan.” Amaya menggeleng. “Plis, May. Aku nggak ada uang untuk makan di sini. Nanti aja aku beli ke penjual cilok di belakang pagar sekolah,” bisik Syifa pelan agar tidak terdengar anak-anak lain. Amaya menunjuk kantong seragam Syifa. Pandangan Syifa juga terarah ke tempat itu. Ia tahu, ayahnya memang memberikannya uang saku lebih hari ini karena tak sempat memasak. Tetapi, dia yakin sekali jumlahnya hanya dua puluh ribu. Mana cukup untuk membayar harga makanan di sini? Amaya menunjuk saku Syifa sekali lagi. Gadis itu menghela napas seraya menunjukkan uang yang dimilikinya. “Nih, lihat, May! Uangku hanya –“ Syifa terbelalak kaget, sebab uang yang sedang dipegangnya itu berwarna biru, dengan gambar tokoh Djuanda Kartawidjaja yang dikenal sebagai pencetus konsep negara kepulauan yang dikenal dengan “Deklarasi Djuanda”. Syifa melebarkan matanya tak percaya. Dia membolak-balik uang kertas itu dengan mulut terbuka lebar. “Ini, kok bisa?” gumamnya heran. Amaya mengangguk. Dia berbalik menghadap penjaga kantin dan mengucapkan pesanan mereka. Syifa tertegun heran saat Amaya memilihkan bakso untuknya juga, seakan dapat membaca pikiran Syifa saja! Pada akhirnya mereka berdua duduk, menunggu pesanan mereka datang. Si ibu penjaga kantin melirik Syifa dengan tatapan mata tajam, setajam silet. “Tumben kamu makan di sini. Nggak bawa bekal kayak biasanya?” Baru saja Syifa membuka mulut hendak menjawab. Si ibu nyerocos lagi. “Nanti bayarnya cash aja ya! Nggak pakai alasan macam-macam. Kami nggak menerima jasa pencuci piring.” Jleb! Ucapan itu melukai harga diri Syifa. Gadis itu merasa sakit hati karena dikatai seperti itu. Seolah dia tak akan mampu bayar, sehingga harus mencuci piring sebagai balasannya. Amaya berdiri secara mendadak, kemudian mengambil uang dari tangan Syifa dan melemparnya ke wajah si ibu. Baik si ibu maupun Syifa, keduanya terlonjak tak menyangka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD