Hasutan

1103 Words
“Syifa!” Gadis berambut hitam itu menoleh, menatap sosok cowok tinggi yang sedang memegang bola basket di tangannya. Angga berjalan mendekatinya, membuat jantung Syifa berdegup dua kali lebih kencang. “Hei, baru datang?” sapa Angga dengan nada biasa saja. Tetapi bagi Syifa, dia terdengar jauh lebih merdu dari penyanyi manapun juga. Suaranya melembutkan hati dan menggetarkan jiwa yang dahaga. “Iya, kamu juga baru datang?” balas Syifa dengan berusaha bersikap wajar. Bagi seorang gadis yang sedang jatuh cinta, terasa bagai dunianya sedang dilanda gempa. Bahkan untuk tetap berdiri tegar saja Syifa merasa tak mampu. Kehadiran Angga seolah membuat dirinya selalu oleng dan tak bisa fokus. “Aku habis dari ruang OSIS sih. Ke mana tuh teman kamu?” balas Angga. Cowok itu mengedikkan kepala ke arah Amaya yang berjalan cepat menjauhi keduanya. Syifa menatap temannya itu dengan pandangan aneh. “Engg, kayaknya dia buru-buru,” ucap Syifa dengan nada tak mengerti. Dia heran mengapa Syifa langsung pergi begitu saja karena adanya Angga. Apakah dia tidak suka? “Gimana kaki kamu? Udah baikan kah?” tanya Angga seraya melirik kaki Syifa yang kemarin terkilir. Sontak gadis itu memperlihatkan kaki kirinya. “Aku udah sembuh kok. Bahkan aku sudah bisa berjalan dengan normal.” Angga menatapnya dengan takjub. “Wah, cepat juga ya sembuhnya. Hebat juga si petugas UKS yang ngurut kaki kamu itu.” Syifa tersenyum dan mengangguk setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, dia sembuh setelah Amaya datang menjenguk dirinya. Entah apakah hal itu berpengaruh atau hanya perasaannya saja. Angga nampak ramah dan senang mengobrol, tetapi sayangnya seorang temannya melambaikan tangan dan memanggilnya. Anggapun terpaksa harus pergi. Dia pamit meninggalkan Syifa yang merasakan debar jantungnya tak terkendali. Gadis itu tersenyum sendiri, sambil mengikuti langkah Angga dengan ekor matanya. Di kejauhan, Clara yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa berdiri kaku. Dia terus mengawasi pergerakan Syifa hingga gadis itu melangkah masuk ke dalam kelas. Barulah Clara menginformasikan hal ini kepada Rere. Reaksinya seperti yang sudah dapat ditebak. Dia marah dan tidak terima. “Bagaimana bisa, itik buruk rupa seperti Syifa ngobrol-ngobrol santai sama Angga?” gumam Rere dengan menahan marah. “Dia kayak udah akrab banget aja sama Syifa. Padahal, elo kan jauh lebih segalanya dari cewek cupu itu!” timpal Clara mengompori. Rere mengepalkan tinjunya ke atas meja kantin. “Gue nggak terima! Bisa-bisanya dia ngalahin gue untuk deketin Angga! Ini nggak bisa dibiarkan!” Clara mengangguk setuju. “Ini pasti ada apa-apanya, Re. Nggak mungkin si cupu itu berhasil memikat Angga dengan wajar. Dia itu kan nggak cantik, nggak tajir dan nggak populer kayak elo. Mana bisa dia tiba-tiba menarik perhatian seorang cowok seterkenal Angga!” Rere menatap sahabatnya itu dengan tatapan tajam. “Maksud elo?” “Jangan-jangan dia pakai oeket atau susuk kali, Re. Biar bisa dapatin Angga. Kalau nggak, kan nggak masuk akal kalau dia ngalahin elo yang jauh lebih cantik dari dia.” Rere termenung, memikirkan ucapan Clara. “Kedengarannya kok masuk akal. Tapi, apa mungkin cewek cupu kayak dia bisa pasang susuk atau pelet?” “Kenapa enggak?” sahut Clara dengan keras kepala. “Hari gini dia bisa aja ngelakuin apa aja demi mendapatkan cowok yang dia inginkan.” Rere manggut-manggut, seolah menerima ucapan itu. “Memangnya masih ada ya, praktik perdukunan di jaman yang serba modern gini?” Clara berdecih sebal. “Ya ada dong, Re. Hanya saja praktiknya sudah jarang diketahui orang. Tapi, lo nggak tahu kan, kalau hal-hal mistis kayak gitu sebenarnya masih ada sampai sekarang?” Rere nampak sedikit skeptis. Tetapi dia sedang tak ingin mendebat sahabatnya. Lagipula, tak peduli dengan cara apa Syifa telah berusaha, dia telah selangkah lebih maju ketimbang dirinya sendiri. Rasa iri dan cemburu membakar hatinya. “Ngomong-ngomong, lo perhatikan kakinya Syifa kan? Dia udah bisa jalan dengan normal. Sama sekali nggak kelihatan pincang kayak kemarin. Gue yakin banget kalau kemarin dia hanya akting aja demi bis digendong sama Angga ke ruang UKS!” Rere memutar bola matanya jengah. “Kalau itu sih gue udah tahu. Jelas banget dia hanya ingin diperhatikan sama Angga.” “Kalau gitu, tunggu apa lagi? Kenapa lo nggak deketin Angga dan mengatakan yang sebenarnya?” Rere mengerjap sesaat. Sebetulnya dia tidak kepikiran ide ini sebelumnya. “Oke, gue akan temui Angga sekarang dan mengungkap topeng tak berdaya yang dipakai sama Syifa. Biar dia tahu, selicik apa Syifa sebenarnya!” “Good luck, sist!” seru Clara dengan bersemangat. Rere mencari sosok Angga dengan susah payah mengelilingi sekolah, sampai akhirnya dia mememukan cowok itu di lapangan basket. Tentu saja, dia selalu dikelilingi oleh teman-temannya. Banyak juga fans perempuan yang bersorak sorai untuknya di tepi lapangan. Rere melotot pada mereka dan membuat semua gadis itu meliriknya diam. Dengan penuh percaya diri, Rere berjalan ke tengah lapangan. Dia tak peduli jika seandainya kepalanya terkena bola basket. Itu akan memberinya kesempatan untuk diperhatikan oleh Angga. Sayang sekali harapannya tidak terkabulkan. “Angga, bisa bicara sebentar nggak?” ucapnya ketika dia sudah berada di dekat cowok itu. Raut wajah Angga nampak terkejut, namun dia akhirnya mengangguk. Keduanya melangkah minggir dan mencari tempat yang enak untuk mengobrol. Sontak saja hal ini membuat tatapan para gadis menjadi diselimuti rasa iri. Rere mengulurkan sebuah handuk kecil dan sebotol air mineral yang sempat dibelinya dari kantin sebelum dia pergi kemari. Angga yang penuh keringat itu mengambil keduanya sekaligus dengan ucapan terima kasih yang tulus. Rere tersenyum senang melihat Angga minum dari botol pemberiannya. “Lo mau ngomongin apa, Re?” tanya Angga to the point. Rere bahkan senang karena cowok itu tahu namanya. Wajar sih, sebab seluruh sekolah ini sudah tahu siapa Rere. “Emmm, ini tentang Syifa.” Kening Angga berkerut dalam, seolah berpikir. “Syifa? Oh, cewek yang kemarin jatuh itu?” Rere mengangguk. Dia pura-pura memperlihatkan ekspresi yang heran di wajahnya. “Kemarin, aku melihat dia jatuh lalu mengerang kesakitan karena kakinya terkilir. Tapi hari ini, dia sudah bisa berlari-lari lagi, seperti biasanya. Bukankah itu aneh?” ucap Rere menanti reaksi Angga. Cowok itu nampak balas menatapnya dengan serius. Dia mengangguk heran. “Memang aneh sih,” gumamnya. “Ya kan? Mana mungkin kaki yang terkilir bisa sembuh secepat itu?” Angga mengangguk lagi, menyetujui. “Itu benar. Lalu?” “Yah, aku sebenarnya tidak ingin ikut campur soal urusan orang lain. Tetapi, karena aku perhatikan kamu kayaknya cukup dekat dengannya, maka aku ingin memberitahu kamu sesuatu. Syifa itu bukan gadis baik-baik. Dia terkadang punya rencana tersendiri. Aku sendiri nggak tahu kenapa, tapi dia sering sekali melakukan hal ini. Jadi, aku nggak mau kamu menjadi korban berikutnya.” Angga menatap sosok Rere dengan tak percaya. “Maksud kamu, kamu mencoba untuk memperingatkan aku?” Rere mengangguk dengan mantap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD