“Heh, anak aneh, sini!” panggil Rere ketika Amaya sedang lewat.
Gadis itu tak menggubris panggilan Rere dan memilih untuk melanjutkan langkahnya. Rere dan Clara saling pandang, merasa tak senang dengan sikap gadis itu.
“Heh, Amaya! Lo denger nggak sih? Ke sini buruan!” ulang Clara dengan nada memerintah.
Rere memperhatikan bahwa Amaya sama sekali tak merespon. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun. Rere berkacak pinggang kesal.
“Beraninya dia cuekin kita!”
Rere bergegas menghampiri Amaya dan menghentikannya. Dia berdiri di depan Amaya dengan sikap berkuasa.
“Lo punya telinga masih berfungsi nggak sih? Dari tadi dipanggil-panggil kok nggak nyahut?”
Amaya diam saja. Tak satu katapun keluar dari bibirnya.
“Heh, anak cupu! Lo berani ya bersikap kurang ajar sama gue? Emangnya lo nggak tahu siapa gue?”
Ucapan Rere tak mendapat tanggapan sama sekali, hingga Rere merasa geram sekali. Gadis itu mencak-mencak kesal.
“Nih, kenalin, gue anak kepala Yayasan dan donatur tetap sekolah ini. Jadi, lo seharusnya bersikap hormat sama gue. Atau lo mau dapat masalah karena nggak mau nurutin ucapan gue?”
Amaya diam tak bergeming. Gadis itu benar-benar seperti patung yang tak berbicara. Rere dan Clara memperhatikan dia dengan rasa kesal yang semakin memuncak.
“Lo denger nggak sih apa yang gue ucapin?!” bentak Rere seraya mengangkat tangannya untuk menarik telinga Amaya.
Tetapi, dengan cepat Amaya mampu menangkisnya. Dia memegang tangan Rere dan mencengkeramnya kuat-kuat. Dia mendongak, menatap mata Rere dengan tatapan tajam serta intens. Pandangannya nampak seram di balik tirai rambut hitamnya.
“Aw, sakit! Lepasin!” pekik Rere sembari menarik kembali tangannya.
Mendadak dia merasa ngeri teringat kejadian sebelumnya ketika Rere menancapkan kukunya di lengan Rere, hingga menyebabkan dia terluka dan berdarah-darah. Clara yang terkejut sontak membantu Rere menarik tangannya, takut akan terjadi apa-apa.
“Lepasin dia, Amaya!” bentak Clara cemas.
Amaya melepaskan Rere, membuatnya menjauh mundur beberapa langkah. Rere memegangi tangannya dan menatap Amaya dengan sinis. Clara mengecek tangan sahabatnya, takut ada luka di sana.
“Kalau nggak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain!” ucap Amaya dengan nada tegas yang aneh.
Gadis itu berderap pergi meninggalkan Rere dan Clara terbengong menatapnya.
“Dasar anak aneh!” gumam Rere dengan kekesalan yang tak terlampiaskan.
“Apa jangan-jangan dia ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Tania, Re?” tanya Clara dengan nada curiga.
Rere menatap sahabatnya dengan pandangan heran. “Mana bisa?”
Clara mengangkat bahunya dengan ringan. “Bisa aja kan, kita nggak pernah bisa menduga apa yang bisa dilakukan oleh cewek aneh itu.”
Rere diam. Benaknya berpikir tentang kemungkinan itu. Mungkin saja Amaya memang bisa mencelakai Tania sama seperti dia melukai Rere. Tapi, bagaimana gadis itu ada hubungannya dengan pohon tumbang?
“Ah, itu nggak mungkin,” kata Rere kemudian. “Nggak masuk akal. Mana mungkin dia bikin pohon tumbang dan menimpa Tania? Coba pikirkan!”
Clara menghela napas, mengalah. “Iya sih, gue akui itu memang agak aneh dan mustahil. Tapi, entah kenapa gue kok merasa bahwa Amaya itu menyimpan sesuatu.”
“Mungkin itu hanya perasaan lo saja. Atau, memang dia itu anak aneh. Jadi wajar aja kalau lo ngerasa nggak nyaman deket dia.”
“Tapi—“
“Udahlah, Clara. Gue udah muak bahas anak itu. Mending kita ke kantin aja sekarang, mumpung bel masuk kelas belum berdering.”
Clara tak bisa menolak ajakan itu. Dia pun mengangguk mengiyakan. Untuk sejenak, topik tentang Amaya terlupakan oleh mereka.
Syifa yang diam-diam menyaksikan kejadian itu dari balik pilar, lekas keluar dan berlari menyusul Amaya ke arah yang berbeda dengan Rere dan Clara.
Gadis itu mengikuti Amaya ke dalam ruang kelas mereka. Dia duduk di sebelah Amaya. Syifa menatap gadis itu dengan banyak pertanyaan terlintas di benaknya.
“May, kamu tadi dicegat sama Rere dan Clara ya?”
Amaya menghentikan kegiatannya sejenak. Dia menoleh ke arah Syifa dan mengangguk.
“Apa yang mereka inginkan dari kamu?” tanya Syifa dengan rasa ingin tahu yang besar.
Syifa tak dapat mendengar pembicaraan mereka dengan jelas dari tempatnya bersembunyi tadi. Jadi, dia hanya dapat mengira-ngira saja apa yang sebenarnya terjadi.
“Nggak ada,” jawab Amaya dengan singkat.
Syifa menatap temannya itu dengan rasa heran yang nyata.
“Apa mereka gangguin kamu lagi?” Syifa bertanya lagi.
Amaya mengangguk.
“Tapi kamu nggak apa-apa kan? Apa mereka melukai kamu?”
Amaya menggeleng sembari terus melanjutkan kegiatan menggambarnya.
Syifa mengangguk lega. “Syukur deh kalau kamu nggak di apa-apain.”
Sebuah pertanyaan lain merasuk ke dalam pikiran Syifa, membuatnya ingin menanyakan hal itu langsung kepada Amaya. Tetapi dia merasa sedikit ragu untuk mengungkapkannya.
“Apa?” ucap Amaya tiba-tiba, seolah dia mampu membaca pikiran Syifa.
Syifa menggeleng pelan. Dia segera menyingkirkan pemikiran itu dari benaknya.
Sepulang sekolah hari itu, Rere dan Clara kembali ke rumah sakit tempat Tania dirawat. Kali ini, mereka hanya berdua saja tanpa mengajak teman-temannya yang lain.
Perawat menunggui mereka di sana, duduk di atas sofa tamu. Sementara Rere dan Clara duduk di sebelah ranjang Tania.
Tania masih tertidur lelap, nampak damai dan tenang. Gadis itu masih pucat seperti sebelum-sebelumnya, tetapi dia sudah nampak lebih bugar dan sehat.
“Tania ...,” ucap Rere lirih.
Dia ingin berbicara dengan temannya itu, tapi dia juga tak bisa membangunkan Tania dari istirahatnya.
Clara duduk menunggu dengan sabar. Dia membiarkan Rere mencoba memanggil nama Tania sekali lagi, dengan gumaman lirih di dekat telinganya.
“Tania ....”
Kelopak mata Tania perlahan bergetar, kemudian terbuka pelan-pelan. Tania mulai bangun, menatap sekelilingnya dengan nanar.
Butuh waktu beberapa detik sebelum dia dapat mengenali siapa kedua tamu yang menjenguknya. Setelah kedadarannya pulih, barulah dia tersenyum merespon ketika sadar bahwa dua orang sahabatnya yang datang.
Perawat membantu melepaskan alat bantu pernapasan, untuk memudahkan Tania dalam berkomunikasi. Gadis itu tersenyum lemah, nampak tak berdaya.
“Rere ... Clara,” gumamnya lirih.
“Iya, Tan. Ini kami. Gimana keadaan lo sekarang?” tanya Rere.
Tania mengerjapkan kedua matanya, nampak terlalu letih untuk sekedar mengangkat tangan atau menggerakkan anggota badan. Rere melihatnya dengan prihatin, tak tega melihat Tania begitu lemah seperti ini.
“Udah baikan,” kata Tania dengan susah payah.
“Syukur deh kalau gitu. Kita berdua kangen, pengen segera bareng lo lagi di sekolah. Lo cepet sembuh ya Tan,” timpal Clara.
Tania mengangguk singkat, tak mampu menjawab dengan ucapan yang panjang.
“Ngomong-ngomong, gue penasaran Tan. Kenapa lo kemarin nyebut-nyebut nama Amaya?” tanya Rere menyelidik.
Tatapan mata Tania tertuju pada sosok Rere. Selama sesaat, Tania tak merespon apa-apa. Dia nampak berpikir atau mungkin berusaha untuk mengingat-ingat.
“Amaya?” gumamnya lirih.
“Gue lihat dia waktu itu,” tambah Tania.
Rere dan Clara saling pandang, merasa bahwa rasa curiga mereka mulai menunjukkan adanya titik terang.