Another feeling

1087 Words
Author POV                 Dean memandangi tubuh sahabatnya yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya, ada yang aneh dari diri Dean setelah membaca pesan singkat dari orang tua Aliya. Aliya terlihat melambaikan tangannya namun tak di balas apa-apa oleh Dean, Dean menarik napasnya dalam-dalam kemudian menginjak pedal gas mobilnya. Dean masuk ke dalam kamarnya yang tiba-tiba terasa hampa untuknya, padahal tiga jam yang lalu, ia masih di sana dengan perasaan senang setelah bertukar pesan dengan calon istrinya, Lulu.                 Kamu udah pulang? . Begitu kira-kira pesan singkat dari Lulu yang baru saja Dean baca, tidak ada rasa bagi Dean hanya untuk sekedar membalas pesan singkat dari calon istrinya itu. Dean menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, menyembunyikan wajah nya pada bantal, sementara ia tidak sadar bahwa saat ini ponselnya sedang berdering, menampilkan sebuah nama yang di belakangnya di lengkapi dengan emot hati, siapa lagi kalau bukan Lulu.                 Dean terbangun di pagi hari dan menyadari bahwa dirinya tidur dalam keadaan yang gelisah, keringat dingin membasahi pelipisnya bercampur dengan perasaan yang tidak enak padahal pendingin ruangan di kamarnya itu tidak pernah di matikan. Dean membuka hoodie yang ia kenakan sejak semalam, menyisahkan kaos hitam polos kesayangannya. Dean melirik ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas lantai. Lima belas panggilan tak terjawab beserta dua puluh pesan singkat yang datang dari Lulu. Detik setelahnya Dean merasa bersalah, namun ketika melihat nama Aliya tertera di bagian paling atas roomchat nya, perasaan Dean kembali berubah, ia merasa kehilangan.                 Gua berangkat duluan ya. Hari ini gua ada obeservasi di cabang baru soalnya. Bye.             Ya kenapa lo gak nungguin gue?                 Dean kembali meletakan ponselnya, tanpa membalas pesan dari Lulu, ia begitu malas untuk berangkat bekerja hari ini, entah apa alasannya. Namun pekerjaan tetaplah pekerjaan, mau tidak mau Dean harus tetap bekerja. Hari itu Dean tampil biasa saja dan tak seperti biasanya, ia datang ke kantor dengan wajah tertekuk sembari menyalakan komputer di hadapannya.                 “Lo kenapa?” Tanya Farid sembari menyesap kopi yang baru saja ia beli di kafetaria.                 “Mau kerja.” Jawab Dean dengan ogah-ogahan, Farid paham betul bagaimana Dean ketika sedang dalam mood yang bagus dan bagaimana jika sebaliknya, Farid duduk di atas meja sahabatnya itu kemudian menepuk pundak Dean dengan sedikit keras.                 “Lo cerita aja kalau mau, lo pasti lagi di fase ujian pernikahan , setahun yang lalu gua juga ngerasain itu kok dan emang berat banget. di saat-saat gini tuh perasaan bisa di bolak balikan, gua aja waktu itu hampir gak jadi nikah sama Safa kalau nurutin mood gua yang ancur-ancuran.” Ucap Farid. Dean menatap Farid dengan tatapan kosong di sertai hembusan napas kasar.                 “Bukan kayaknya.” Ucap Dean, Farid menarik kursi lalu duduk di hadapan Dean, bersiap mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu.                 “Apa?”                 “Gak deh, skip aja. Awas lo, gua mau kerja.” Ucap Dean yang berusaha menstabilkan mood nya sendiri, Farid menoyor kepala Dean kemudian berdiri dari tempatnya.                 “Anjing lo.”                 “Hahahaha.” *****                 Aliya menjatuhkan bokongnya di jok mobil dinas milik ibu Widya, hari ini ia mendampingi boss nya itu untuk mengunjungi cabang kantor baru yang akan di resmikan minggu depan. Sebenarnya itu bukan urusan Aliya, namun sebagai karyawan kesayangan ibu Widya, akan sulit sekali bagi dirinya untuk menolak permintaan wanita itu, apalagi saat ini Aliya sedang tidak sibuk apa-apa sehingga bukan hal yang besar jika ia hanya menemani ibu Widya.                 “Di kantor nanti kamu ada kerjaan apa Aliya?” Tanya Ibu Widya sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi melesat dari tempat yang mereka kunjungi tadi.                 “Cuma pelaporan sama sedikit minta revisi data dari divisi sebelah bu. Mungkin agak lama soalnya yang urus datanya cuti hari ini.” Jawab Aliya, boss nya itu hanya mengangguk kemudian suasana kembali hening di sepanjang perjalanan. Aliya mengecek ponselnya, sebuah pesan yang di kirimkan oleh Dean pagi tadi sebagai balasan dari pesannya sendiri ia belum balas. Aliya kembali menyimpan ponselnya di tas kemudian menatap kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya. *****                 Aliya berjalan masuk ke dalam kantornya dengan tas yang ia jinjing di tangannya, terlihat orang-orang sudah berlalu lalang di kafetaria, pertanda waktu sudah memasuki jam istirahat. Di sudut mata Aliya, ada Dean yang sedang berjalan sendirian dari arah kafetaria menuju lift. Aliya ingin menyapanya, namun entah kenapa seakan ada sesuatu dari dalam dirinya yang melarangnya untuk bersikap seperti itu kepada sahabatnya sendiri. Aliya menghindar, namun ia terlambat, Dean sudah menihatnya duluan, Dean berhenti, menunggu Aliya di depan lift.                 “Lo nyetir sendiri tadi pagi?” Tanya Dean sembari mengambil tas di tangan Alya, sebuah kebiasaan yang sangat sulit Dean hilangkan. Ia tidak akan pernah mau membiarkan tangan Alya keberatan akan sesuatu, sekalipun dari barang yang ringan seperti tas gadis itu sendiri.                 “Nggak, gue naik taxi tadi. Btw siniin tas gue, gue mau langsug naik ke ruangan.” Ucap Aliya, ia meraih tas nya untuk ia bawa sendiri, kemudian melangkah masuk ke dalam lift, Dean mengikut di belakangnya menatap punggung Aliya yang kini semakin hari semakin terasa aneh di matanya. Dalam hitungan jam, Aliya terasa aneh di matanya. Setiap kali melihat Aliya akhir-akhir ini Dean merasa mereka semakin jauh, entah apa penyebabnya.                 “Lo kapan ketemu sama calon lo itu?” Tanya Dean, Aliya mengangkat bahu kemudian, berpikir sejenak.                 “Minggu ini sih pastinya.” Jawab Aliya.                 “Terus cowk yang lo taksir itu gimana?” Tanya Dean, lagi.                 “Ya udah, gak usah. Gak tau deh gue, lagian juga gua udah hopeless, mau gimana lagi? Dia udah punya orang dan gua gak bisa stuck sama dia mulu. gapapa, lo gak usah mikirin itu.” Jawab Aliya. Keadaan lift kembali hening hingga pintu lift terbuka, harusnya Dean turun di lantai itu, namun ia masih berdiri di tempatnya menunggu pintu lift kembali tertutup.                 “Lo kenapa gak keluar?” Tanya Aliya.                 “Gak apa-apa, gua mau nganter lo naik aja.” Jawab Dean. Aliya hanya mengguk, pura-pura biasa saja padahal dalam hati sudah mau berteriak setengah mati, karena terbawa perasaan oleh sikap Dean hari ini.                 “Harusnya gak usah kali.”                 “Ya gak apa-apa.” Jawab Dean, ia tetap mengantar Aliya hingga gadis itu masuk ke dalam ruangannya, Aliya berdiri di ambang pintu sembari menepuk pundak Dean.                 “Balik gih, gua mau kerja.” Ucap Aliya, Dean mengangguk sembari memasukan tangannya ke dalam saku celana.                 “Nanti sore balik bareng ya?” Ucap Dean, Aliya lama terdiam di tempatnya kemudian menggeleng.                 “Kenapa?”                 “Gak apa-apa, lo balik duluan aja.” Jawab Aliya yang justru terdengar aneh di telinga Dean, sekali lagi, hanya dengan sebuah kalimat, Dean merasa Aliya sudah terlalu jauh untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD