“Ya terus?” Ayara masih dalam situasi bingung.
“Kali aja Mbak mau tau nama saya.” Athar masih menahan senyum. Nanti jika senyumnya keluar, bukan hanya Ayara terpesona. Semut bahkan sampai salah jalan. Oke, Athar mulai kepedean. Padahal wajah Ayara masih saja datar. Kok jadi kebalik ya? Harusnya Athar yang wajahnya datar mirip CEO-CEO di drama. Kok malah Ayara? Oh ya Athar lupa, dia kan sekarang berubah jadi pawang ikan cupang.
“Oh gitu.” Ayara meneguk air sambil tersisa setengah. Wajar, efek kesal karena tutup botolnya penuh drama makanya Ayara tidak mau minum sedikit-sedikit.
Ayara merasa orang mengaku bernama Athar itu curi-curi pandang. Saat tertanggap basah, Ayara langsung memberikan tatapan tajam. “Kenapa?”
Wajah Athar langsung merah. Jika dia punya jurus menghilang maka akan digunakan dalam situasi sekarang. Bisa-bisanya Athar curi pandang tanpa ilmu lebih dulu. Lihat baru 3 kali lihat sudah ketahuan.
“Nggak apa-apa Mbak. Oh ya sudah lama kerja disini?” Athar berusaha mengontrol mulutnya. Jika tidak, bisa-bisa mulutnya malah berkata “Mbak mau menikah dengan saya?”. Wah bisa-bisa Ayara tambah ilfeel.
“Kepo amat Mas.” Lagi-lagi jawaban Ayara di luar dugaan. Athar jadi gemas, mau cubit pipi Ayara boleh nggak ya? Ets tidak boleh dong. Belum halal, jangan pegang-pegang anak perempuan orang Athar!
Athar menunduk. Dia bukan marah atau kesal, tapi menahan diri agar tidak senyum seperti orang yang kehilangan daya waras.
Ayara merasa bersalah. Tidak seharusnya dia merespon seperti itu. Toh jika dilihat-lihat laki-laki di depannya ini bukan tipe laki-laki yang sering menggoda dirinya saat menjadi kasir.
“Perasaan Mas sering beli disini,” ucap Ayara ditengah keheningan beberapa deyik.
“Jangan pakai perasaan Mbak, nanti saya Baper.”
Ayara tidak marah. Dia malah tertawa lepas, bahkan posisinya Ayara tengah meneguk air.
Athar malah syok luar biasa. Ia memukul mulutnya seperti laki-laki penggoda, kenapa didekat Ayara dia tidak bisa mengontrol diri. Namun tawa Ayara membuat jiwa Athar seakan melayang sampai ke pohon toge.
“Mas lucu banget serius. Wajahnya kalem eh mulutnya pengen diajak serius.” Ayara tidak sadar dengan ucapannya sendiri.
Athar cukup sadar diri, ucapan Ayara tidak serius mungkin tengah bercanda. Tapi dia malah baper sampai ke ubun-ubun. Tolong selamatkan jantun Athar yang sudah bekerja di batas maksimum.
“Mbak bisa aja. Senyum gini kan bagus dari pada nangis kayak tadi.”
Athar tidak suka Ayara menangis. Dia lebih suka Ayara tertawa lepas seperti ini.
“Nangis itu perlu lo Mas, biar air mata ada fungsinya. Kalau saya nggak nangis-nangis, kasihan dong dianya nggak dianggap.” Jawaban Ayara malah membuat Athar ingin tertawa.
“Iya juga ya.”
“Mas mau beli apa?” Tentu saja Athar ke sini ingin membeli sesuatu, tidak mungkin dia cuma mampir membantu Ayara membuka tutup botol bukan.
“Tadinya mau beli minuman Mbak, tapi nanti saja. Ternyata duduk di sini sambil liat orang-orang jalan enak juga.”
Ayara setuju, pantas saja banyak orang yang memilih nongkrong di depan minimarket ini. Suasananya dapat mendukung kegalauan.
“Iya sih, oh ya biasanya ke sini naik sepeda.” Ayara pernah beberapa kali melihat Athar naik sepeda.
“Cie Mbak perhatiin saya ya! Kok tau banget saya naik sepeda.” Athar ingin memeluk mamanya sekarang saking senangnya. Kalau peluk Ayara bisa-bisa digebukin massa.
“Ya taulah, Masnya hampir tiap hari mampir.”
Athar nyengir. Dia memang hampir setiap hari datang ke minimarket ini.
“Iya juga sih.”
“Terus sepedanya mana? Saya mau pinjem sebentar.” Ayara merasa nyaman ngobrol dengan Athar. Toh jika dilihat-lihat Athar bukan orang jahat, apalagi penampilannya itu. Oke, Ayara mulai menilai seseorang dari penampilan. Ia tidak boleh mempunyai pola pikir seperti ini.
“Hari ini saya naik gojek Mbak.” Athar tidak sempat mengambil sepedanya di rumah.
“Mas nggak bisa naik motor sendiri?”
Athar menggeleng.
“Lah kok bisa?“ Ayara kaget. Zaman sekarang apa ada orang yang tidak bisa naik motor?
“Emang nggak bisa Mbak.” Athar tidak berbohong soal ini.
“Nama Mbak siapa?” Athar pura-pura tidak tahu nama Ayara.
Ayara mengerutkan keningnya. “Kenapa nanya nama saya?”
“Mbak udah tau nama saya, nah saya juga harus tau nama Mbak biar adil.” Mulut Athar sungguh luar biasa.
Ayara ingin tertawa, tapi tidak bisa. “Saya nggak ada tanya nama Mas kalau lupa.”
“Iya sih, ya udah kalau Mbak nya nggak mau kasih tau. Saya nggak maksa.”
“Kok saya jadi ngerasa jahat?” Ayara bingung sendiri, kenapa dia merasa seperti orang jahat dan Athar korbannya. Padahal ini soal nama lo! Nama doang.
Ayara menghela nafas panjang. “Saya Ayara, panggil saja Aya.”
Athar kembali tersenyum tapi dalam posisi nunduk. Jadi selebar apapun senyumnya, Ayara tidak akan bisa melihat.
“Mbak mau kemana?” tanya Athar ketika tubuh Ayara bangkit dari tempat duduk.
“Saya kerja Mas,” jawab Ayara seadanya. Dia tidak mungkin meninggalkan pekerjaan terlalu lama.
Athar tidak bisa untuk menahan Ayara, dia juga tidak memiliki hak untuk itu. Siapa Athar? Jika dia melewati batas, pasti Ayara akan ilfeel.
Ayara kembali ke meja kasir. “Makasih ya Mbak,” ujar Ayara kepada Kenzie.
Senyum Athar tidak padam, apalagi dari luar ia masih bisa melihat Ayara. Kenalan saja sudah cukup, besok Athar akan kembali lagi dengan menggunakan sepeda.
“Lah katanya mau beli minum,” lirih Ayara ketika melihat Athar yang sudah berlalu pergi.
“Aneh,” lanjutnya lagi.
Tidak jauh dari minimarket, Enver sudah menunggu di dalam mobil. Dia terpaksa menjemput Athar dan menunggu di sini.
“Happy amat,” sindir Enver. Ia sudah menunggu cukup lama tapi yang ditunggu malah membuat dirinya terlihat seperti orang bodoh.
“Buruan pulang!”
“Untung Abang, kalau enggak udah aku buang ke sungai.”
Athar dengar, tapi berhubung suasana hatinya sedang baik maka dia menganggap itu semua angin.
Sesampainya di rumah, Athar sudah disambut oleh Mama Vina. Beberapa hari kebelakang, Mama Vina terus bertanya kapan mau lamar Ayara. Athar juga ingin sesegera mungkin, tapi tidak mungkin. Apalagi Ayara belum mengenal dirinya dengan baik.
“Kamu happy banget, Ayara udah mau jadi mantu
Mama ya?”
“Belum Mama, tapi doain ya. Kalau Mama sama Papa yang doain pasti lebih cepat diijabah.” Athar sudah memeluk Mama Vina dengan manja.
“Mama pasti doain kok. Tapi ingat dekati secara baik-baik dan jangan melewati batas.” Mama Vina selalu berpesan agar sang anak tetap menjaga kehormatan perempuan.
“Iya Mama, terima kasih.” Setelah mencium pipi sang Mama, Athar langsung berjalan menuju kamar. Dia melompat-lompat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru.
“Abang Athar waras kan Ma?” tanya Enver yang baru turun dari mobil sambil membawa barang-barang Athar.
Mama Vina tertawa kecil. “Sini Mama bawain ke dalam.”
“Nggak usah Ma, aku aja.” Enver menolak.
“Malam ini nginap lagi nggak?” Beberapa hari ini, Enver menginap di rumah Mama Vina ataupun Mami Vena. Katanya mau habisin waktu bersama Halil sebelum balik ke Korea. Tinggal beberapa hari lagi, Halil akan melangsungkan pernikahan.
“Nginap Ma, tapi aku tidur rumah Mami.”
“Iya nggak apa-apa, nanti suruh Halil sama Key ke sini ya. Kita makan sama-sama soalnya Mami nggak masak, katanya sibuk ngurus ini itu.”
“Oke siap Ma.”
***
“Ibu gimana Dam?” tanya Ayara.
“Alhamdulillah sudah baik. Kakak pulang gih!”
“Iya, ini mau pulang.” Ayara langsung bersiap-siap untuk pulang. Di perjalanan, ia berhenti untuk membeli sate.
Padahal masih sore, lampu depan sudah hidup. Pasti Adam yang punya kerjaan. Ayara masuk ke dalam, ia mencuci tangan dan wajah terlebih dahulu.
“Ibu,” cicit Ayara dengan suara pelan. Ia mengintip dari pintu yang terbuka sedikit.
“Masuk Nak.”
“Gimana keadaan Ibu?” tanya Ayara langsung. Khawatir? Tentu saja.
“Alhamdulillah sudah mendingan.”
Ayara bernafas lega. Dia mendekat ke arah sang ibu yang tengah berbaring di atas ranjang. “Ibu, jangan banyak pikiran ya!”
Ibu merespon dengan senyum. Ayara sebenarnya ingin menangis, tapi jika dia terlihat sedih pasti ibunya juga akan sedih.
“Ibu nggak usah khawatir. Aku bakal nikah kok, tapi sebelum itu aku harus nyari yang benar-benar bisa menghargai perempuan. Aku juga akan minta pendapat Ibu nantinya kalau sudah bertemu dengan laki-laki yang menurut aku tepat. Kalau ibu suka, aku akan lanjutkan tapi kalau ibu nggak suka maka aku akan berhenti.”
Lagi lagi ibu tersenyum. “Cari agamanya, jika agamanya baik insha Allah akan menghargai kamu sebagai istri nantinya.”
“Baik Bu, aku akan ingat pesan ibu. Jadi Ibu nggak perlu khawatir ya. Aku udah ikhlas sama yang lalu, aku nggak akan marah sama keadaan lagi. Patah hati yang aku rasakan adalah cara Allah untuk menegur. Aku salah jalan, walaupun aku tidak melakukan sesuatu diluar batas tapi aku berada dalam hubungan yang tidak semestirnya. Maafkan Aya bu.” Entah kenapa Ayara merasa bersalah sudah meninggalkan Ibu dan adiknya 3 tahun ke belakang hanya karena ingin mendapatkan uang yang lebih.
“Jadikan pelajaran Nak. Orang tua tidak memerlukan duit anaknya. Orang tua hanya ingin anaknya baik secara agama dan hidup dengan baik.”
“Iya Bu, doakan aku dan Adam agar menjadi anak baik menurut agama.” Ayara memeluk sang ibu.
“Aamiin ya Allah.”