Rumah Sakit

1952 Words
"Ibu nggak usah ke minimarket dulu," ujar Ayara sambil menyiapkan sarapan pagi. Akhir-akhir ini kondisi sang ibu tidak baik. Mungkin faktor usia juga sehingga lebih muda untuk sakit. Apalagi kemarin mereka pulang hujan-hujanan. Sepanjang malam Ayara galau, tapi kali ini bukan karena laki-laki. Ayara galau karena belum bisa membuat ibunya bahagia. Dulu mereka memiliki mobil, tapi terpaksa dijual karena untuk membayar biaya pengobatan Ayara yang terlibat kecelakaan. "Ibu nggak apa-apa Nak, cuma batuk saja." "Tapi Ibu butuh istirahat." Ayara menatap sang Ibu dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. Ibu tersenyum, "Di minimarket Ibu cuma duduk-duduk aja Nak. Ibu bosan kalau dirumah sendiri." "Nanti setelah selesai tes aku langsung ke minimarket. Pokoknya Ibu nggak boleh capek-capek ya." Ayara memeluk sang ibu dari belakang. Ibu mengangguk, ia juga mengelus pucuk kepala Ayara. "Tesnya jam berapa?" "Jam sembilan Bu." Ayara memang memiliki jadwal tes dari perusahaan Foodid. Setelah melakukan pendaftaran dan mengupload semua persyaratan yang dibutuhkan, Ayara dinyatakan lulus seleksi administrasi dan tahap selanjutnya ada tes. "Semoga lancar ya Nak." "Aamiin ya Allah, makasih doanya Bu." Pukul delapan lewat, Ibu dan Adam sudah meninggalkan rumah. Sebelum pergi ke kampus, Adam mengantarkan sang ibu ke minimarket terlebih dahulu. Ya Adam sudah masuk perkuliahan dan ini minggu pertamanya sebagai Maba. Sebenarnya Ayara tidak keberatan jika Adam melanjutkan pendidikan ke luar kota, luar provinsi atau di luar negeri sekalipun. Dia akan menjaga sang ibu jadi Adam bisa kemanapun. Namun Adam menolak, meskipun dia mendapat beasiswa dari kampus ternama. Dia ingin dekat dengan sang ibu dan juga ingin menjaga Ayara dengan baik. Adam tidak ingin sang kakak memilih orang yang salah lagi, sudah cukup sekali saja kakaknya merasakan patah hati dan kedepannya Adam tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia laki-laki, setelah ayahnya sudah tidak ada maka Adam lah yang bertanggung jawab menjaga Ibu dan kakaknya. "Tesnya apa ya?" Ayara berkata sendiri. Dia cukup deg degan karena perusahaan Foodid bukan perusahaan biasa. Padahal ini bukan pertama kalinya Ayara mengikuti tes tertulis. Tapi tetap saja jantungnya berdebar cukup hebat. Sebelum pergi, Ayara memutuskan untuk menunaikan shalat dhuha terlebih dahulu. Setelah itu, ia baru pergi ke perusahaan. Penampilannya sederhana yaitu menggunakan kemeja putih dan rok hitam serta hijab berwarna hitam yang terjulur menutupi d**a. "Banyak ternyata," komen Ayara ketika sampai di perusahaan. Suasana cukup ramai karena dipenuhi orang-orang yang memakai pakaian hitam putih. "Aya!!!" Teriakan terdengar cukup kuat. Ayara jadi malu sendiri, siapa lagi orang yang berani melakukan itu kecuali Uli. "Jangan teriak! Banyak yang lihat kesini jadinya." Uli nyengir polos. Sifat bar-barnya sangat sulit untuk dibuang, tapi tenang saja dia hanya akan barbar pada waktu dan tempat yang cocok. Seperti sekarang contohnya. "Lo udah belajar kan?" tanya Uli. Berhubung Uli pernah diposisi Ayara sekarang, jadi ia memberikan beberapa bocoran tes yang mungkin saja keluar. "Udah kok." Ayara sangat serius jadi sejak email masuk dia sudah belajar agar bisa lulus dan bekerja disini. "Astagfirullah!!!" Uli kembali histeris. "Kenapa?" Ayara jadi ikutan heboh dan kepo. "Adno Ay." "Adno siapa?" tanya Ayara bingung. "Mantan calon suami lo." Ayara mengepalkan tangan, dia langsung mencubit pipi Uli. "Gue udah ingetin jangan bilang mantan calon suami." Ayara sudah memaafkan, tapi untuk melupakan dia cukup sulit. Jadi wajar jika Ayara tidak mau mengakui Adno sebagai orang yang hampir menjadi suaminya itu. "Maaf Ay, tapi tunggu-" Otak Uli seakan mulai error sendiri. "Tu buaya kenapa ada disini?" Uli kembali bertanya dengan heboh. Ayara juga bingung, tapi maaf saja dia tidak akan kepo soal Adno. "Kalau dia melamar pekerjaan disini nggak mungkin sih, buktinya pakaian nya nggak hitam putih." Uli masih sibuk menganalisa. Berbeda dengan Ayara yang malah melangkah meninggalkan Uli tanpa suara. "Kok gue ditinggal?" ucap Uli ketika sadar tidak ada Ayara lagi. Ayara masuk ke dalam gedung yang sangat besar. Satu kata tidak akan bisa menjabarkan tentang perusahaan ini. Ayara tambah semangat untuk bisa lulus dan bekerja, ia yakin gajinya cukup besar. Berhubung pelamar lumayan banyak, maka tes tertulis dibagi menjadi 3 sesi. Ayara mendapat sesi kedua sehingga ia menunggu di luar ruangan. Fasilitas di perusahaan Foodid cukup lengkap, bahkan Ayara bisa menikmati kopi secara gratis. Sembari menunggu, otak Ayara malah mengingat tentang Adno. Kenapa dia bisa ada disini? Bukannya pekerjaan Adno di Jakarta sudah sangat bagus. Ayara langsung geleng-geleng kepala, dia tidak boleh memikirkan Adno. Buang jauh-jauh sampai tenggelam dilaut merah. Ayara menunggu sampai pukul sepuluh, setiap sesi hanya diberi waktu satu jam saja. Akhirnya sekarang masuk sesi kedua. Ayara berjalan masuk ke dalam ruangan, tapi ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ayara lupa mengaktifkan mode silent. "Kenapa Ibu Nelpon?" ujar Ayara berbicara sendiri. Dia langsung mengangkat panggilan tersebut. Ayara mengucap salam, namun suara yang menjawab salam malah bukan suara sang ibu. "Ini siapa? Ibu mana?" Ayara langsung mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan dengan tidak sabar. "Maaf Mbak Aya, ini Athar." Athar siapa? Benak Ayara bertanya-tanya. Dia tidak memiliki saudara yang bernama Athar. Apa teman Adam? Entahlah, Ayara bingung sendiri. "Athar siapa?" tanya Ayara. Ia bahkan melihat layar ponsel untuk memastikan apa benar panggilan ini berasal dari nomor sang ibu atau bukan. Ternyata memang benar, ini nomor ibunya. "Itu tidak penting untuk sekarang, Mbak jangan kaget atau syok." "Kenapa?" Jantung Ayara makin menggila. Pikirannya sudah berkelana kemana-mana. "Ibu Mbak ada di rumah sakit." Deg, kaki Ayara langsung kehilangan pijakan. "Nggak usah bercanda gitu!" "Saya tidak bercanda. Ibu Mbak memang ada di rumah sakit-" "Rumah sakit mana?" Potong Ayara langsung. "Rumah sakit As-syifa." Ayara mematikan panggilan secara sepihak. Dia tidak peduli dengan apapun kecuali sang ibu. Ayara berlari menuju parkiran motor agar bisa ke rumah sakit secepat mungkin. "Jangan tinggalin aku Bu," lirih Ayara di tengah perjalanan. Air mata tidak bisa ditahan lagi. Butuh waktu dua puluh menit, akhirnya Ayara sampai di rumah sakit dengan selamat. Dia mencari ruang UGD. "Dimana Ibu saya?" tanya Ayara langsung ketika melihat Athar. Dia sudah ingat siapa Athar, ternyata orang yang sering datang ke minimarket. "Tenang dulu," ujar Athar khawatir. "Gimana saya bisa tenang, ibu saya dimana?" Ayara hampir meledak. "Ibu Mbak sudah baik-baik saja. Dia sedang istirahat." Perkataan Athar tidak memberikan rasa lega, Ayara ingin melihat ibunya secara langsung. "Ibu saya dimana?" Athar langsung membawa Ayara masuk ke dalam ruang UGD. "Tolong Bu, jangan tinggalin aku sama Adam," lirih Ayara pelan sambil memegang tangan sang ibu. Athar tidak banyak berbicara. Namun hatinya tidak tega melihat Ayara kacau seperti sekarang. "Ibu baru istirahat," bisik Athar. Ayara mengangguk. Dia memilih keluar dari UGD karena tidak ingin mengganggu sang ibu untuk beristirahat. "Mbak mau kemana?" tanya Athar. Ayara diam. "Duduk dulu supaya lebih tenang," ujar Athar lembut. Entah angin darimana, tiba-tiba saja Ayara menuruti perkataan Athar. Mereka duduk dengan dipisahkan jarak. Jika sudah halal mungkin Athar bisa memeluk tubuh rapuh Ayara dan mengatakan semua baik-baik saja. Tapi sekarang Athar hanya bisa melihat. Siapa yang tidak kalut ketika mengetahui orang tua tiba-tiba saja masuk ke rumah sakit. Athar Pun akan seperti Ayara jika orangtuanya masuk rumah sakit. "Kenapa Ibu saya bisa masuk rumah sakit?" tanya Ayara. "Tadi saat saya membeli minuman, tiba-tiba saja Ibu Mbak tidak sadarkan diri. Saya langsung membawanya ke rumah sakit terdekat." Athar menyerahkan ponsel milik ibu Ayara. Sebelum masuk ke dalam mobil, salah satu karyawan menyerahkan tas yang berisi ponsel agar Athar lebih mudah menghubungi keluarga dan mengurus segalanya. Kenzie tidak bisa pergi karena dia harus menjaga minimarket. "Dokter bilang apa?" tanya Ayara sambil menerima ponsel tersebut. "Tekanan darah tinggi, Ibu Mbak butuh diopname." Ayara menghela nafas panjang. Dia tahu jika sang ibu mempunyai riwayat tekanan darah tinggi, tapi penyakit ini sudah lama tidak kambuh lagi. Lantas kenapa sekarang kambuh lagi? Apa ibunya kelelahan? "Mbak mau kemana?" tanya Athar lagi ketika Ayara bangkit dari kursi. "Saya harus mengurus administrasi rawat inap." "Tidak perlu, saya sudah mengurus semuanya." Ayara kaget, bahkan pupil matanya membulat secara sempurna. Kenapa Athar mau mengurus segalanya? Padahal mereka kenal hanya sebatas pembeli dan penjual saja. "Mas serius?" tanya Ayara memastikan. "Iya, maaf karena saya lancang membuka tas ibu Mbak untuk mencari kartu identitasnya." Ayara tidak tahu harus merespon seperti apa. Dia benar-benar bingung, kenapa ada orang sebaik ini? "Tidak apa-apa, saya sangat berterima kasih. Terima kasih karena sudah menolong ibu saya. Jika tidak ada Mas saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi." Ayara menutup wajahnya dengan kedua tangan. Keheningan tiba-tiba saja tercipta. "Ibu nggak akan ninggalin saya kan Mas?" tanya Ayara tiba-tiba. Hati Athar bergetar, dia tidak bisa melihat Ayara seperti ini. "Tidak Mbak, Ibu akan baik-baik saja. Kita akan menjaga ibu bersama-sama." Athar tidak sadar mengatakan kalimat terakhir, tapi kalimat itu berasal dari hati. "Tidak perlu ditahan, jika mau menangis maka menangislah. Saya akan pura-pura tidak melihat," lanjut Athar lagi. Bahu Ayara naik turun, dia menangis tanpa suara. Rasa takut kehilangan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Dulu sang ayah meninggal setelah tidak sadarkan diri karena demam dan Ayara tidak ingin hal itu terjadi kepada ibunya. Ayara sadar bahwa kematian itu pasti, tidak bisa dipercepat dan diperlambat walaupun sedetik saja. Entah berapa lama Ayara menangis, Athar tidak mengatakan apapun. Dia memilih diam sampai Ayara puas menangis. Menangis bukan berarti cengeng, tapi jika memang menangis bisa membuat perasaan jauh lebih baik maka menangislah tanpa menahannya. "Mbak sudah makan?" tanya Athar. "Saya sudah sarapan Mas," jawab Ayara dengan suara serak. "Masnya gimana?" Ayara bertanya kembali. Athar melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangan. Ternyata sudah pukul sebelas siang. "Sekarang sudah siang Mbak bukan pagi lagi." "Mbak tunggu disini, saya beli makanan dulu di kantin rumah sakit." "Tidak perlu Mas, saya tidak lapar." Ayara menolak. Dia sudah cukup merepotkan Athar. Athar tersenyum. "Biasanya setelah menangis orang akan merasa lapar Mbak." "Jangan dibahas lagi, saya malu." Ayara membuang wajahnya ke samping. Dia sudah dua kali menangis di depan Athar. "Kenapa malu?" Ayara tidak menjawab. "Mbak disini saja, saya hanya pergi sebentar." Athar langsung pergi meninggalkan Ayara. Dia membeli makanan dan minuman. Oh ya, Athar tidak melupakan es krim dan coklat. Orang bilang es krim dan coklat bisa membuat mood lebih baik. Apa Athar seperti laki-laki penggoda jika memberikan Ayara es krim dan coklat? Jujur saja Athar takut jika tindakannya membuat Ayara ilfeel. Semoga saja tidak, Athar mengambil 5 buah coklat ukuran besar dan es krim ukuran sedang. Sesampainya di UGD, Athar tidak menemukan Ayara. Dia bertanya kepada petugas medis kali saja tahu. Ternyata Ibu Ayara sudah dibawa ke ruang rawat inap. Athar langsung berjalan ke sana. Dia melihat Ayara seperti sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggam. "Eh Mas, maaf saya tidak menunggu dulu." "Tidak apa-apa, Ibu sudah pindah?" Ayara mengangguk. Athar memberikan dua plastik yang sudah berisi makanan dan minuman kepada Ayara. "Ini apa?" tanya Ayara kebingungan. "Makanan sama cemilan, semoga mood Mbak bisa lebih baik." Ayara kembali di buat kaget. Kenapa ada coklat dan es krim? Ini untuk dirinya? Ayara seakan tidak percaya. "Ini untuk saya?" tanya Ayara memastikan. Kali saja es krim dan coklat ini salah sasaran. "Iya Mbak, maaf ya saya nggak tau makanan apa yang Mbak suka jadi saya beliin coklat sama es krim." Athar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ayara benar-benar bingung. Tapi otaknya tidak mampu mencerna untuk sekarang. "Ini kebanyakan Mas, harusnya- eh terima kasih banyak Mas." Ayara buru-buru meralat omongannya sendiri. Sudah bagus dibeliin begini eh malah seperti orang yang tidak tahu terima kasih. "Iya sama-sama Mbak Aya." Jangan tanya bagaimana detak jantung Athar sekarang. "Maaf kalau saya lancang nanya, cuma saya agak risih kalau dipanggil Mbak. Umur Mas berapa?" tanya Ayara penasaran. "Nggak apa-apa Mbak, saya malah suka ditanyain begini." Athar sudah senyum-senyum sendiri, jika adik sepupunya melihat maka wajah Athar pasti dijadikan stiker pesan. "Umur saya 29 tahun Mbak," lanjut Athar. "Serius? Saya kira umur Mas 26 atau 27 gitu." "Saya kelihatan muda ya Mbak? Ayara mengangguk. "Kalau rambut Mas dirapiin dikit mungkin perempuan pada jatuh hati." "Mbaknya sendiri bakal jatuh hati nggak sama saya?" Mampus! Athar keceplosan. Parah parah mulutnya Athar minta ditimpuk dolar biar bisa terkontrol. Bagaimana jika Ayara menganggap dia sebagai laki-laki buaya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD