Nama Saya…

1974 Words
Ayara menguap berulang-ulang kali, ia benar-benar mengantuk. Namun matanya tidak boleh terpejam karena tengah menjaga minimarket. "Mbak Aya istirahat saja dulu, mumpung nggak ada pembeli." Sejak tadi Anang memperhatikan anak pemilik minimarket ini. "Nggak usah Mas, aku nggak ngantuk-ngantuk banget kok. Oh ya air di bak kosong Mas, bisa tolong hidupkan mesinnya?" “Baik Mbak.” Tidak ngantuk katanya? Bohong! Ayara bohong karena sekarang mata Ayara sampai berair saking seringnya menguap. Bosan? Mungkin saja karena pembeli tidak ada yang datang. Jika ada pembeli maka rasa bosan bisa sedikit berkurang. Hal ini juga yang membuat Ayara tidak berniat meneruskan usaha minimarket orangtuanya. Jika Adam selesai kuliah nanti, maka urusan minimarket akan diserahkan sepenuhnya kepada Adam. Ibunya tidak mungkin menjaga minimarket setiap hari, tapi Ayara juga tidak melarang jika nanti Ibunya tetap ingin datang ke minimarket. Notifikasi pesan baru muncul, Aya langsung membukanya. Uli : Alhamdulillah, perusahaan gue buka lowongan secara besar-besaran. Ini linknya, daftar aja ya. Gue yakin lo bakal masuk kok. Rasa kantuk Ayara berkurang sepersekian persen. Pesan Uli bisa membawa harapan baru bagi pengangguran seperti dirinya. Aya : Makasih banget Uliii Sayang. Ntar gue traktir deh kalau lo nya nggak sibuk. Uli bilang tahun ini salah satu produk yang dikeluarkan perusahaan berhasil masuk ke mancanegara. Oleh karena itu, perusahaan menambah bangunan baru yang tidak jauh dari bangunan utama untuk karyawan-karyawan baru nantinya. Aya tidak membawa laptop, untuk sementara ia akan membuka link tersebut melalui ponsel saja. Ada berbagai macam informasi yang tertera, baik visi misi perusahaan, pencapaian yang diraih serta produk-produk kebanggaan. Aya yakin perusahaan Foodid bukan perusahaan biasa. Semangat Aya makin membara, dia harus bisa lolos untuk bekerja di perusahaan tersebut. Ketika ada pembeli yang masuk, Aya segera menyimpan ponselnya. Rasanya tidak sopan jika bekerja sambil bermain ponsel begini. Aya tidak pernah merasa bahwa minimarket ini miliknya. Dia menempatkan diri sebagai seorang pekerja. "Halo Mbak manis ketemu lagi!" sapa pembeli saat berada di meja kasir. Aya mengerutkan kening, apa dia mengenal sosok laki-laki di depannya ini? Sepertinya tidak karena Ayara tidak tertarik sama sekali bahkan untuk dijadikan sebagai kenalan saja. "Ini saja Mas?" tanya Aya memastikan. Dia harus ramah walaupun terpaksa. "Iya Mbak. Eh boleh minta nomornya nggak?" Aya selalu bertemu pembeli seperti ini, entah iseng atau hanya menggoda dirinya. Tapi Ayara tidak suka, apalagi terkadang laki-laki itu memiliki pasangan. "Totalnya Rp. 34.600." Aya tidak terlalu memperdulikan. "Mbaknya manis banget, tapi sayangnya sombong. Hati-hati lo Mbak ntar nggak dapat jodoh." Enak banget ya mulutnya, kayak nggak ada masalah ngomong seperti itu. Aya tidak bisa melakukan apapun, kecuali hanya diam. Padahal tangannya sudah gatal ingin memberikan pukulan pada mulut laki-laki itu. "Terima kasih, datang kembali." Setiap kali pembeli keluar, Ayara harus mengatakan hal tersebut dengan ramah meskipun terpaksa. "Sabar Aya, nggak usah dengerin." Ternyata Kenzie mendengar apa yang dikatakan oleh pembeli yang baru saja pergi. "Iya Mbak." Aya kembali duduk dengan santai. Ia kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda yaitu membaca informasi pada link yang dikirim oleh Uli. "Alhamdulillah," ujar Aya karena ada lowongan untuk staf akuntan. Sayangnya perusahaan Foodid hanya membutuhkan 2 orang saja. Apa Ayara bisa lolos? Ia yakin banyak orang yang akan melamar untuk posisi staff akuntan ini. "Aya!" "Astagfirullah, Tante ngagetin aja!" Kedatangan Tante Dina membuat kaget. Apalagi dia tengah fokus membaca informasi. Padahal Tante Dina memanggil dirinya seperti biasa bukan seperti orang yang tawuran. "Bisa ngobrol sebentar nggak?" Ayara terdiam beberapa detik, pikirannya mulai kacau. Apa ibunya baik-baik saja? Berbagai pertanyaan muncul. "Ibu gimana Tante?" Ayara langsung bertanya soal Ibunya. "Udah mendingan kok." Jawaban Tante Dina membuat Ayara bernafas lega. "Alhamdulillah, aku kira ada apa-apa sama Ibu sampai Tante datang ke sini. Emang Tante mau ngobrol apa?" tanya Ayara sedikit penasaran. Jika ingin curhat seharusnya jangan di jam kerja begini. Toh setelah dari minimarket Ayara tidak kemana-mana dan tetap stay di rumah. Jadi apakah Tante kesayangannya ini tidak bisa menunggu sampai Ayara selesai bekerja? "Kita bicara di luar saja Aya, nggak enak kalau di sini." Ayara mengerutkan kening. Apa pembahasan kali ini terlalu serius? Sepertinya memang serius buktinya wajah Tante Dina seperti menanggung beban 2 kg. "Sebentar, aku panggil Mbak Kenzie dulu." Ayara berjalan ke lorong belakang, di sana ada Kenzie yang tengah menyusun barang-barang yang baru masuk. "Mbak bisa tolong jaga kasir dulu, aku mau ngobrol sama Tante Dina sebentar." "Oh boleh Aya." Kenzie langsung bangkit, ia menuju ke arah meja kasir. Tante Dina sudah menunggu di luar, sebelum keluar Ayara lebih dulu membeli 2 minuman agar bisa menyegarkan tenggorokan mereka. Meskipun pemilik minimarket ini adalah sang Ibu, Ayara tidak akan mengambil barang dengan semena-mena. Dia tetap membayar dan tidak ada diskon sama sekali. "Tante ada masalah apa sih?" tanya Ayara sambil memberikan satu botol minuman yang ada ditangan kanannya. Tante Dina menyuruh Ayara untuk duduk di depannya. Suasana sekarang cukup berbeda, apalagi awan perlahan-lahan berubah warna menjadi lebih gelap. Tante Dina memijat pangkal hidungnya sejenak. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, tentu saja tubuhnya merasa lelah. Dibanding istirahat di rumah, dia lebih memilih untuk datang ke minimarket. Ada hal serius yang ingin dibicarakan dengan Ayara. "Apa kamu tidak ada niat menikah?" tanya Tante Dina secara tiba-tiba. Aya mengerutkan kening, apa maksud pertanyaan ini? Otaknya berpikir dengan keras. Apa Tante Dina tidak bisa basa basi lebih dulu. Pertanyaan ini membuat kerja otaknya seakan melambat. "Aya, Tante-" "Kenapa Tante selalu bahas tentang ini?" potong Ayara. Tante Dina tidak hanya bertanya sekali, tapi berkali-kali. Ayara bahkan sampai muak mendapat pertanyaan seperti ini. Untuk menetralkan suasana hatinya yang mendadak panas, Ayara membuka tutup botol. Tapi entah bagaimana bisa terjadi, tutup botol itu tidak mau dibuka. Nafsu sekali pabriknya menutup botol minuman ini. Tangan Ayara saja sampai merah. "Kamu tau kenapa Ibu sakit?" Wajah Tante Dina tampak serius. Tangan Ayara yang tadinya sibuk membuka tutup botol kini sudah berhenti. Dia menggeleng sebagai jawaban. Apa sang ibu memiliki penyakit berbahaya? "Ibu kamu banyak pikiran, makanya sampai drop," jelas Tante Dina. Ayara diam mematung, apa yang dipikirkan sang ibu? Apa karena Ayara masih pengangguran sampai sekarang? "Aku sedang usaha cari kerja Tante." Siapapun tahu bagaimana Ayara sibuk mencari kerja selama sebulan ini. Tante Dina tersenyum sinis. "Bukan itu yang ibu kamu pikirkan!" Ternyata bukan tentang Ayara yang belum mendapat pekerjaan, tapi apa? Apa karena adiknya? Ayara rasa bukan karena Adam juga tidak berbuat hal yang aneh-aneh. "Jadi apa yang membuat Ibu banyak pikiran? Apa Ibu ingat tentang Ayah?" "Bukan Aya! Ibu memikirkan tentang kamu. Dia takut kalau kamu tidak mau menikah karena trauma." Ternyata Setelah berbicara empat mata dengan sang kakak, akhirnya Tante Dina tahu apa yang menjadi beban pikirannya. Ibu Ayara curhat mengenai sang anak yang hidupnya cukup berantakan akhir-akhir ini. Apalagi gunjingan tetangga dan saudara yang sejak dulu tidak suka dengan keluarga mereka. Ibu mana yang tidak khawatir dengan trauma sang anak? Ibu Ayara juga seperti itu, dia takut jika Ayara tidak memiliki niat untuk menikah dan memilih hidup sendiri untuk selamanya. Hidup ini sangat berat jika hanya dilalui dengan sendiri, apalagi Ayara termasuk perempuan lemah. Bagaimana jika nanti Ibu Ayara sudah tidak ada, bagaimana dengan kehidupan sang anak tanpa dirinya? Ucapan Tante Dina membuat netra Ayara terbeliak, dia benar-benar kaget dengan fakta ini karena dia tidak pernah memikirkan tentang perkara ini, Ayara bahkan tidak mampu untuk berkata-kata. "Kamu lebih tau tentang Ibu kamu Aya, Ibu kamu tidak bisa banyak pikiran. Jadi tolong, jangan hidup seperti ini lagi. Walaupun Ibu kamu diam, tapi dia selalu memikirkan tentang kamu." Ayara sadar setelah gagal menikah hidupnya cukup berantakan, ia terlalu larut dalam rasa kegalauan padahal pelaku yang membuatnya galau malah asik bersenang-senang. Ayara tidak bisa terus seperti ini, apalagi sampai membuat sang ibu sakit. "Maaf Tante, aku nggak kepikiran sampai sana. Aku kira ibu baik-baik saja, tapi nyatanya tidak. Aku yang buat Ibu sampai sakit begini." Mata Ayara mulai berkaca-kaca. Hanya Ibu dan Adam yang dia miliki. Ayara ingin membuat ibunya bahagia tapi kenapa malah sebaliknya. "Ibu cerita apa saja Tan?" tanya Aya. Ibu Ayara memang sering bercerita kepada Tante Dina. Apalagi saat Ayara berada di Jakarta, hanya Tante Dina yang menemani hari-hari Ibu Ayara. "Ibu takut kalau kamu tidak mau menikah, Ibu takut kalau kamu akan hidup sendiri. Dia juga tidak mau kamu mendapat gunjingan dari orang-orang." Tetangga dan sanak saudara sering menceritakan hal buruk tentang Ayara. Bahkan sampai gosip Ayara pernah hamil juga bermunculan. Ayara tidak peduli dengan gosip-gosip itu, tapi berbeda dengan sang ibu. Ibu mana yang bisa diam jika anaknya jadi bahan gosipan orang lain. Jika dipikir-pikir bagaimana bisa gosip Ayara hamil muncul? Jangannya untuk melakukan dosa seperti itu, berpegangan tangan saja dengan Adno selama mereka berkomitmen Ayara tidak mau. Komitmen yang Ayara lakukan memang tidak benar, seharusnya dari awal dia tidak memulai karena salah. Jika memang mereka serius, dari awal langsung saja menikah tapi Adno tidak mau saat itu. Dia beralasan belum mendapat pekerjaan yang layak, padahal Ayara tidak masalah. "Tante tau kamu masih trauma, tapi hidup terus berjalan Aya," ujar Tante Dina lagi. Ayara tahu bahwa hidup terus berjalan, ia juga tidak mau hidup tanpa tujuan seperti ini. Tapi kenapa bayang-bayang masa lalu seakan menghantui dirinya. "Aku takut Tante," cicit Ayara berusaha menguatkan diri. Tante Dina memejamkan matanya sejenak. Sudah 7 bulan berlalu, rasa takut Ayara terhadap laki-laki masih belum berkurang. Tante Dina tidak ingin Ayara menjadi kacau, dia harus bangkit. Jujur saja jika Adno ada di kota ini, Tante Dina akan langsung mendatangi dan memberikan pelajaran. Enak saja menyakiti keponakannya padahal Ayara sudah berkorban cukup banyak. "Kamu takut apa?" Ayara tidak langsung menjawab, bayang-bayang bagaimana Ando mengkhianatinya muncul seperti kaset rusak. Ayara sudah terlalu percaya dan berharap, tapi ternyata dia tidak mengenal Adno dengan baik. "A-aku takut kalau nanti akan dikhianati lagi. Aku nggak mau patah hati lagi Tante, rasanya sakit dan buat aku hampir gila." Tante Dina dapat melihat raut wajah frustasi dari sang ponaan. "Tidak semua orang sama Ayara, masih banyak laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Jika laki-laki semuanya sama, apa Adam akan seperti itu?" "Tidak! Adik aku nggak akan bertingkah seperti b******k itu." "Itu kamu tau. Apa yang terjadi itulah yang terbaik termasuk pengkhianatan yang kamu terima. Allah masih sayang sama kamu, bagaimana jika kamu jadi menikah dengan Adno? Apa kamu akan sanggup menerima fakta jika dia berhubungan dengan perempuan lain setelah menikah? Tentu tidak. Keburukan Adno terlihat karena doa Ibu yang meminta agar kamu bersanding dengan laki-laki baik." Ayara menutup wajahnya dengan kedua tangan. Benar, jika keburukan Adno tidak terbongkar maka Ayara akan menikah dengan laki-laki yang tidak bisa menghargai perempuan. Bahkan Adno sampai tidur dengan perempuan lain tanpa rasa malu. "Tante nggak bisa lama-lama karena Om Imran akan pulang sebentar lagi." "Iya Tante, makasih sudah berusaha membuat aku sadar." Jika Tante Dina tidak membicarakan hal ini, maka Ayara akan seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. "Bagi Tante kamu sama seperti anak sendiri, jadi tolong jangan larut dalam kesedihan. Tante tau kamu perempuan yang kuat, kamu akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari Adno." Tante Dina kemudian pamit, dia masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan pekarangan minimarket. Ayara masih berada di luar. Jika tadi dia tidak menangis, maka sekarang berbeda. Air matanya keluar begitu saja. "Maaf Mbak, sini botolnya biar saya buka." Suara seseorang muncul dari samping. Ayara langsung membuang wajah ke arah lain, malu sekali jika ada yang melihatnya menangis seperti ini. "Tidak usah Mas, saya bisa buka sendiri." Ayara menolak. Dia masih berusaha membuka tutup botol tersebut. "Mbaknya sampai nangis gitu, saya jadi nggak tega sebagai laki-laki. Sini saya bukain!" Ternyata air mata Ayara terlihat. Ia berdecak kesal dan memberikan botol minuman tersebut. Ternyata tidak butuh tenaga yang kuat, laki-laki itu membuka tutup botol dengan mudah. "Dasar botol jail, sama laki-laki aja bisa eh pas sama perempuan malah ngelunjak." Ayara mengguru sendiri. "Mbak bicara apa?" "Oh enggak Mas. Terima kasih." Ayara menerima botol yang sudah terbuka itu. "Athar!" "Ha?" Ayara mengerutkan kening. Siapa Athar? Apa nama orang, apa merek botol minuman ini. "Nama saya Athar Mbak." Senyum tidak bisa Athar sembunyikan saat berhasil menyebutkan nama dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD