Bibir Ify rasanya kaku karena jawaban yang Rio berikan. Sebenarnya, tadi Ify belum benar-benar siap untuk mendengarkan jawaban Rio. Tetapi dia sudah terlanjur menanyakannya, sehingga Ify tidak bisa lagi menghindar.
"Di mana kita pernah ketemu sebelum ini?" Ify sengaja lebih memperjelas pertanyaan tentang pertemuan mereka, karena dia tidak mau ada jawaban atau pemikiran yang ambigu.
Lipatan di kening Rio membuat Ify sedikit heran, karena dari raut wajahnya saja sudah bisa Ify tebak kalau lelaki di depannya itu sedikit kebingungan. Tak berselang lama, Rio tertawa terbahak-bahak karena pertanyaan Ify kali ini. Jelas saja, Ify semakin bingung dibuatnya.
"Kenapa lo ketawa?" tanya Ify, khas dengan nada dinginnya.
Aura di sekitar mereka berdua berubah sudah, karena Ify tidak terima ditertawakan oleh Rio seperti sekarang ini. Hanya saja, Ify masih mencoba sabar demi mendapatkan jawaban yang dia inginkan.
"Kamu aneh. Masa kamu lupa sih? Kalau kemarin kita sudah ketemu di depan gerbang sana." kata Rio sembari menunjuk ke arah luar menggunakan dagunya.
Sepandai-pandainya Ify dalam akademik, ternyata dia juga punya kebodohan. Sekarang ini, gadis itu sedang menunjukkan wajah cengonya pada Rio karena belum paham tentang apa yang dimaksudkan oleh lelaki di depannya itu.
"Kemarin, waktu kita baru pertama kenalan." Rio sengaja lebih memperjelas lagi tentang apa yang dia maksudkan.
Kedua kelopak mata Ify terkatup saat itu juga usai mendengar jawaban Rio. Dia menghela napas panjang dan berusaha meredakan emosinya agar tidak mendadak memukul kepala Rio, walau sebenarnya Ify ingin sekali melakukannya.
Aish! Gara-gara mimpi sialan itu, gue jadi harus nahan emosi buat orang satu ini! Pekik Ify dalam hati.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, Ify berhasil menahan emosinya buat orang lain. Hal yang lebih membuat takjub, orang itu baru dua kali bertemu dengannya dan belum kenal lebih jauh dari sekadar diberi segelas minum dan dibantu berjalan sampai ke rumah Rio.
Awas aja kalau gue udah ngedapetin jawaban yang gue cari, bakal langsung gue bunuh dia. Jerit hatinya lagi.
Rio heran, dia melihat tatapan Ify sangat tidak ramah padanya. Sorot mata tajamnya seperti memancarkan aura-aura yang mematikan. Rio jadi merinding sendiri saat melihat bola mata Ify yang cukup menakutkan.
"Kamu kenapa? Apa kamu butuh air minum lagi?" Rio mencoba berbaik hati dengan cara menawarkan air minum, tapi sepertinya tidak mempan.
"Gue nggak haus!" tolaknya mentah-mentah sebelum akhirnya Ify membalikkan badan dan mencari di mana keberadaan Via juga Raga.
Gejolak panas di dalam d**a Ify, masih belum bisa padam. Bibir gadis berbadan mungil itu terus saja menggumpal tanpa henti. Di otaknya kini, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Ify tidak tahu, harus seberapa jauh dirinya mendekati Rio agar dia mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya.
"Fy! Sini!"
Sebuah suara cempreng terdengar dari teras belakang. Ify melihat ada Via dan Raga di sana.
"Ish, gue lagi ketakutan di luar, dia malah asik-asik di dalam makan mangga." gerutu Ify saat melihat Via sedang menikmati potongan mangga yang disiapkan oleh pemilik rumah.
Ify lanjut melangkahkan kakinya buat menghampiri Via, tetapi sayangnya malah dia bertabrakan dengan lelaki tua yang entah datang dari mana. Akibat tabrakan itu, tubuh mungil Ify jadi terpental dan hampir saja terjatuh. Untung saja, lelaki tua yang ternyata adalah Axel itu sigap dan segera menahan badan Ify sehingga Ify tidak jadi jatuh.
Napas Ify tercekat, dia hampir tidak bisa bernapas ketika tahu siapa yang menolongnya. Karena yang dia lihat adalah lelaki tua, jadi Ify berpikir kalau lelaki itu papanya Rio dan Raga.
"Bisa berdiri?" tanya Axel ramah.
"Bisa."
Tanpa berlama-lama, Ify segera bangun dan merapikan penampilannya. Lagi-lagi, Ify tidak bisa marah-marah seenaknya. Dia harus bersikap baik di sini, kalau ingin mendekati Rio.
"Maaf, saya tidak sengaja menabrak kamu." kata Axel sopan sambil tersenyum pada Ify.
Ify yang notabenenya memang bukan orang yang tahu apa itu kata maaf, tolong dan terima kasih, dia hanya mengiyakan saja tanpa meminta maaf balik. Axel hanya tersenyum melihat ini, dia langsung berbalik badan dan meninggalkan Ify sendiri di sana.
Via berlari mendekat, dia melihat Ify lalu mengeceknya. Dari suaranya, Via terkesan melebih-lebihkan meski Ify tahu kalau itu hanya sekadar rasa cemas dalam diri Via saja.
"Lo beneran nggak kenapa-napa, 'kan?" tanyanya untuk memastikan.
"Gue mau pulang." kata Ify tanpa menatap wajah Via yang tampak kebingungan.
"Kenapa, Fy? Kita baru sampai loh, belum ngerjain tugas juga."
Mendengar Ify meminta pulang seperti rengekan anak kecil, hal itu membuat Via heran. Kendati begitu, Via yakin kalau ada hal yang membuat Ify tidak nyaman di sini. Selain karena di sekeliling rumah ini adalah pohon mawar, pasti ada hal lain yang membuat Ify kesal.
"Pulang, atau lo pindah kelas?"
Ancaman Ify membuat Via tidak bisa berkutik lagi. Gadis berwajah bulat itu mendelik dan langsung mengiyakan permintaan Ify. Daripada dia harus pindah kelas, lebih baik pulang.
"Gue pamit ke Raga dulu." Via berbalik dan pamit pada Raga, Via juga minta maaf karena sudah merepotkan.
"Fy, lo nggak mau makan mangga dulu? Ini mangganya enak loh!" seru Via dari tempatnya duduk bersama Raga tadi seraya menyuapkan potongan mangga ke dalam mulutnya.
"Gue hitung sampai tiga!" bukannya menjawab, Ify sudah langsung menggertak Via.
Tanpa basa-basi, Via segera berlari sambil membawa tas ranselnya ke arah Ify. Gadis itu berlari tunggang langgang bak orang yang sedang dikejar singa hutan. Padahal, orang yang membuat Via seperti itu adalah Ify, bunga singa hutan atau hewan sebagainya.
Sebenarnya, Via ingin mereka pamit dulu dengan Rio. Tapi Ify menolak dan bersikeras ingin segera sampai rumah. Raga juga berniat mengantar kedua gadis itu sampai depan gerbang. Tapi sebelum sampai gerbang, Via harus menuntun Ify berjalan di jalan searah agar bisa sampai luar. Ify melakukan hal yang persis dia lakukan seperti tadi. Kedua matanya terpejam dan tangannya menggenggam lengan Via lalu mengikuti ke mana Via melangkah.
"Udah sampai, Fy." kata Via ketika mereka sudah tiba di depan gerbang.
Ify lega, dia langsung menghela napas panjang dan menyelamati dirinya sendiri karena sudah berhasil melewati jalan ketakutan.
Benar, Ify menamai jalan menuju rumah Rio itu adalah jalan ketakutan karena hanya di jalan itu Ify tidak bisa lewat sendiri. Dia harus dituntun, ditambah lagi Ify harus memejamkan kedua matanya agar traumanya tidak kambuh. Sungguh suram, itu yang Ify rasakan ketika melewati jalan menuju rumah Rio.
Taksi pesanan Via tiba juga akhirnya. Ify langsung masuk terlebih dulu sambil menunggu Via pamitan. Tak sampai satu menit, Via sudah menyusul Ify ke dalam taksi. Mereka akan pulang ke rumah masing-masing dan Ify meminta agar sopir taksi tadi mengantarnya terlebih dulu.
"Lo kenapa sih, Fy? Tadi lo bilang kalau pengen ke rumah Rio, terus pas udah di dalam malah minta balik." heran Via pada pemikiran Ify sekarang.
"Jangan bilang malau lo terlalu gerogi karena kita ngerjain tugas di rumahnya Rio?" Via masih mencoba menebak.
Ify tidak memedulikan Via, dia lebih memilih memasang earphone ke telinganya dan memejamkan mata. Ify ingin begini sampai tiba di rumah. Sedangkan Via, dia hanya mengomel karena diabaikan oleh Ify.
Jarak antara rumah Rio dan Ify lumayan jauh, jadi Ify punya waktu menenangkan pikirannya sejenak. Walau Ify juga tidak yakin apakah pikirannya benar-benar bisa tenang atau tidak.
Empat puluh lima menit berlalu sudah, tibalah Ify di kediaman Mr. Stuart. Dia langsung keluar begitu saja tanpa mengucapkan salam perpisahan pada Via.
"Ish, bener-bener gadis jahat dia." gerutu Via seraya menutup pintu taksi karena Ify tidak mau menutupnya.
Ify berjalan menuju kamarnya sembari bersiul-siul ria. Sepi dan sunyi, itulah yang Ify rasakan ketika memasuki rumah yang sudah delapan belas tahun dia tinggali. Suara siulan dari bibir Ify pun sampai menggema di seluruh penjuru rumah.
"Kamar adalah tempat ternyaman." gumamnya ketika baru membuka pintu kamarnya.
Ify langsung melempar tasnya ke sembarang arah dan melepas sepatu juga kaos kakinya. Gadis itu berjalan ke arah laci sembari membuka kancing kemeja seragam sekolahnya. Ify membuka salah satu laci dan mengambil satu pembalut. Bibirnya bersenandung kecil untuk mengiringi langkahnya menuju kamar mandi. Tetapi, langkah kaki Ify terhenti seketika saat dia teringat tadi Rio membuka tasnya.
"Enggak mungkin dia lihat 'kan?" tanyanya entah pada siapa.
Segera Ify berlari ke arah tas yang tadi dia lempar. Ify melihat isinya dan mengecek satu persatu. Matanya mendelik dan emosi sudah memuncak di ubun-ubunnya.
"Ifyyy! Lo b**o banget sih! Kenapa lo biarin dia buka tas lo?!" teriak Ify sekencang mungkin saat dia melihat tatanan isi tasnya berbeda.
Ify yakin kalau Rio melihat stok pembalut yang dia bawa di dalam tas untuk mengatasi kalau di luar sana ada kejadian tak diinginkan. Mengetahui hal ini, Ify tidak berhenti merutuki kebodohannya sendiri. Sungguh, dari atas sampai bawah, Ify malu sepenuhnya pada Rio. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana kalau nanti ketemu Rio. Haruskah dia berpura-pura tidak tahu saja, atau bagaimana? Ify tidak tahu!
"Ify b**o banget sumpah! Ify b**o!"
Bibir manis Ify masih belum berhenti mengutuk dirinya sendiri. Bahkan sekarang, penampilan Ify sudah tidak karuan. Rambut panjangnya acak-acakan dan pakaian seragamnya sedikit kotor karena dipakai mengepel lantai secara sukarela.