1. Gadis
Derap langkah kaki terdengar dari seorang gadis berusia delapan belas tahun yang menuruni tangga di kediaman megah bergaya neoklasik. Pastinya rumah itu dominan dengan warna putih seperti pada bangunan umumnya yang ada di Prancis.
Seragam putih abu-abu membungkus badan mungilnya. Sepatu kets dilengkapi kaos kaki panjang sampai bawah lutut membalut kaki cantik dari gadis berambut panjang berwarna kulit jahe yang tampak menjuntai indah menutupi bagian dadanya. Tak lupa tas ransel ala perempuan menggantung di bahu sebelah kiri. Sedang tangan kanannya menatap serius ke arah layar ponsel berukuran lima inci.
"Jatuh baru tahu rasa lo, Fy. Gue bakalan seneng banget lihatnya." seru sebuah suara cempreng dari arah meja makan.
Gadis yang menuruni tangga tadi pun melirik ke arah meja makan yang ada di sebelah kiri. Untuk sejenak, Ify tidak menghiraukan apa kata Via. Namun tak berselang lama, ponselnya dia masukkan ke saku baju seragam setelah menyudahi acara bermain game. Wajahnya tetap saja datar saat mendapati ada dua onggok manusia duduk menikmati sarapan pagi di meja makan. Tidak ada niatan bagi Ify untuk mempercepat langkahnya.
"Morning." Sapa Via diiringi suara bahagianya.
Tanpa merespons sapaan Viandra, Ify langsung duduk di salah satu bangku kosong dan memakan roti tawar yang sudah disediakan oleh asisten rumah tangga. Bibir Via mencibir karena dirinya seolah dianggap patung oleh Ify.
"Rasanya gue kayak lagi uji nyali di rumah hantu terus makan ditemenin sama dua mayat hidup sekarang." Gerutu Via sebelum akhirnya dia memasukkan potongan roti terakhirnya ke dalam mulut.
Pergerakan Alvin tidak ada perubahan, dia tetap saja sibuk dengan roti tawar selai coklatnya. Apa pedulinya dengan perkataan Via. Karena tetap tak diacuhkan oleh Ify dan Alvin, Via semakin saja merasa kesal. Sedetik kemudian, bibirnya yang tak berhenti menggerutu terkatup begitu saja saat tangan Ify menengadah di depan matanya.
"Apaan?" Bingung Via yang tak dapat menebak arti tangan Ify.
"Masuk rumah hantu harus bayar." Ujar Ify enteng tanpa dosa.
"k*****t lo, gue udah nungguin lo dari tadi. Terus sekarang lo minta gue bayar? Gak sudi gue!" Via menepis tangan Ify secara kasar.
Ting!
Suara gelas yang bersentuhan dengan piring menjadi pelerai keributan antara Ify vs Via di pagi hari. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Alvin yang usai meminum s**u lalu menumpuk gelasnya di atas piring begitu saja. Tatapan dinginnya tidak mampu mengintimidasi Ify sedikit pun, meski bagi Via sorot mata Alvin sangat mengerikan.
"Cis..." Desis Ify dan Via bersamaan ketika Alvin mengalihkan pandangan.
"Ayo." Ajak Ify setelah menghabiskan segelas s**u coklatnya.
Mau tak mau, karena Ify sudah keluar menyusul Alvin, akhirnya Via juga mengekor di belakang. Tidak ada hal baru di rumah ini, sehingga tidak membuat Via menoleh ke kanan dan kiri. Dia sudah biasa menjelajah di kediaman Schmitz, jadi Via tidak lagi merasa penasaran apa yang ada di sudut ruangan.
Rumah bertingkat tiga itu sangat sepi, karena hanya didiami oleh beberapa orang saja. Di antaranya ada Alvin, Ify, dua asisten rumah tangga dan dua satpam yang bergantian jaga siang dan malam. Kadang-kadang Via menginap di rumah ini untuk menemani Ify. Dua asisten rumah tangga dan dua satpam tidak membuat Ify serta Alvin merasa ada teman. Semuanya tetap sama, sepi bak istana tak bernyawa.
Mr. Stuart sendiri akan pulang setiap beberapa bulan sekali dari Colmar, Prancis. Sopir hanya ada saat Ify membutuhkannya saja, itu pun jarang. Sedangkan tukang kebun akan datang setiap hari saat pagi dan sore untuk menyapu halaman dan memotong rumput yang sudah panjang.
Mr. Stuart Schmitz adalah lelaki keturunan Jerman-Prancis. Ibunya asli Prancis dan ayahnya asli Jerman. Sejak lahir Mr. Stuart sudah hidup di Colmar bersama keluarga dari pihak ibunya. Sedang saat usianya sepuluh tahun, dia harus ikut pindah bersama kedua orang tuanya ke Indonesia karena kakek Mr. Stuart mendirikan kantor cabang baru di Indonesia dan dikelola oleh orang tua Mr. Stuart.
Kedua orang tua Mr. Stuart pun dimakamkan di kota Palembang karena memang mereka berdomisili di sana. Sedangkan Mr. Stuart memiliki istri asli orang Surabaya dan memutuskan menetap di Kota Pahlawan setelah menikah. Akan tetapi sang istri tercinta meninggal dunia di saat Ify berusia lima tahun.
Karena mengalami kesedihan mendalam, Mr. Stuart memilih bergabung di perusahaan keluarga milik sang kakek dari ibunya di Prancis dan membuat Mr. Stuart menetap di Colmar meninggalkan kedua buah hatinya di Surabaya.
Alvin dan Ify sama-sama tidak mau diajak pindah ke Colmar, alasan mereka karena mereka asing dengan keluarga sang ayah di sana. Dan mereka lebih nyaman hidup di Indonesia meski kadang sepi karena hanya berdua.
"Lo di depan deh Vi, capek gue deket-deket sama Alvin." Ujar Ify ketika mereka sampai di mana mobil berlogo kuda jingkrak sudah terparkir siap meninggalkan kediamannya.
Alvin tidak ada niatan menyahuti apa kata adiknya. Walaupun mereka terpaut jarak tujuh tahun, Ify tidak pernah mau memanggil Alvin dengan awalan kak, Abang atau Mas dan lain sebagainya. Begitu pula Alvin, dia nyaman-nyaman saja ketika sang adik langsung memanggil namanya. Dia merasa kalau itu akan membuatnya malah terlihat lebih muda.
"Selalu aja begitu." Gerutu Via sambil membuka pintu dan duduk di bangku kemudi samping Alvin.
Ferrari berwarna merah maroon milik Alvin sudah keluar dari rumah, kini tinggal melewati beberapa rumah maka mereka akan menemukan jalan raya. Lelaki itu, meski dingin dan seolah cuek, tapi dia sangat menyayangi dan melindungi Ify. Itulah sebabnya, Alvin tidak pernah mau menjalin hubungan dengan makhluk bernama wanita. Dia selalu berkata dalam hati, kalau dia tidak ingin membagi rasa sayangnya kepada wanita selain pada Ify dan mendiang mama mereka.
Di dalam mobil sangat hening, tidak ada percakapan sama sekali. Alvin fokus menyetir dan Via terlihat asik bermesraan dengan ponsel barunya. Sedangkan Ify, dia terus melihat ke arah luar jendela. Bangunan di kompleks tempatnya tinggal semuanya megah, wajar saja karena Mr. Stuart memiliki rumah di kawasan elit di Surabaya bagian Utara. Orang-orang sering menyebutnya The Singapore Of Surabaya karena dari segi infrastruktur dan penataan lanskapnya diadaptasi dari kota Singapore.
"Hah..." Ify menghela nafas pelan tanpa mengalihkan pandangan.
Dia melirik Via dan Alvin sekilas lalu kembali fokus ke arah jendela lagi. Bayangannya kini menerawang masa depan, apa yang akan dia lakukan usai lulus sekolah. Via bilang kalau dia akan melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan desain, gadis berpipi chubby itu sangat ingin menjadi seorang desainer. Sedangkan Alvin, lelaki tampan berkulit putih itu sudah menjadi seorang Presdir dari sebuah hotel bintang lima.
"Ah... Taulah, pusing gue mikirin itu." Desahnya sambil memukul pelan kaca jendela mobil.
"Mikirin apa lo?" Seketika Via menoleh ke belakang, memandang Ify dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Ify balas menatap Via, kesal sendiri dia ditatap seperti itu oleh temannya. Bibirnya sudah terbuka, siap mengeluarkan kata-kata pedasnya untuk Via.
Ciitttt...!
Dugh!
"Aww... Kepala gue benjol b**o!" Teriak Ify dan Via bersamaan saat mobil berhenti mendadak akibat ulah Alvin yang menginjak rem tanpa aba-aba.
Sebagai ucapan maafnya, Alvin hanya mengangkat tangannya dan membentuk kedua jarinya seperti huruf V, tanpa ada niat bertanya apakah kedua gadis yang di dalam mobil bersamanya benar-benar tidak kenapa-kenapa. Seperti itulah cara Alvin mengatakan isi hatinya.
"Cis... Lo kalau mabuk jangan nyetir dong!" Sembur Ify sambil mengusap-usap keningnya yang terkena jok mobil.
"Iya gue maafin." Kali ini ganti Via yang menyahut dengan nada terpaksa.
Jam sudah semakin siang, Ify memutuskan keluar mobil. Tak beda jauh dengan Via. Sebelum masuk, Ify mengetuk kaca jendela bagian kemudi terlebih dahulu.
"Nanti lo enggak usah jemput, gue mau pulang sendiri." Ucapnya pada sang kakak yang kembali mendapat anggukan sebagai jawaban isyarat atas apa yang Ify katakan.
Mobil kembali melaju, meninggalkan area sekolah. Kedua gadis tadi pun langsung berjalan menuju gerbang.
"Cis... Sebegitu iritnya dia sama kata-kata? Cuma jawab iya doang tuh mulut gak mau kebuka. Gue kayak punya kakak bisu tahu gak!" Teriak Ify bak orang frustrasi yang menghadapi sifat dan sikap Alvin.
"Bang Alvin lupa isi stok kata kali, dia belum isi ulang. Makanya gak bilang apa-apa." Via hanya mencoba menghibur temannya yang kadang lelah menghadapi Alvin.
"Taulah, kalau gak inget dia kakak gue, udah gue kasih racun tikus makanannya."
Bulu kuduk Via merinding disko mendengar Ify bicara tentang racun. Dia lebih memilih diam ketimbang terkena semprot lebih banyak lagi.
Langkah kaki Ify dan Via berhasil melewati gerbang sekolah bertuliskan SMA Golden's yang ada di atas gerbang. Ini hari pertama mereka masuk usai libur panjang kenaikan kelas.
Bruk!
"Aish... Siapa sih yang berani bikin mood gue hancur di pagi hari!" Lengkingan suara Ify menggema di sepanjang jalan menuju lapangan upacara sebelum ke kelas masing-masing.
Via membekap mulutnya ketika tahu rambut Ify basah oleh air minum yang tumpah dari botol siswa baru barusan. Cepat-cepat Via mengambil tissue dari dalam tasnya dan mengelap rambut Ify, berharap tisue itu akan menyerap air dalam sekali tempel tapi mustahil hal itu terjadi.
Ify tahu lelaki itu kelas sepuluh karena terlihat dari pin tingkat yang dipakai oleh siswa tadi. Rambut Ify bisa basah karena ditabrak dari belakang.
"Sorry, gue enggak sengaja." Ujarnya santai sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana.
Raut wajah Ify sudah memerah menahan marah, dadanya bergemuruh ingin mengumpati anak kelas sepuluh di depannya.
"Udah ya Fy, udah... Mending kita ke kelas sekarang." Via berusaha menghentikan Ify yang pasti akan memarahi anak baru tersebut.
"Jangan macem-macem lo sama gue! Sekali lagi gue lihat wajah lo di depan mata gue, bakal gue siram pakai air raksa tuh wajah sok lo." Ancam Ify tidak ada takut-takutnya.
Usaha Via membuahkan hasil, Ify mau menurutinya dan mereka memilih lanjut jalan menuju kelas sebelum bel masuk berbunyi.
"Enggak usah sok garang lo jadi orang! Lo itu cuma cewek lemah yang sok kuat, sok tegar dan sok berani!" Balas lelaki tadi dengan suara lantang.
Kedua tangan Ify terkepal kuat-kuat, emosinya membeludak seketika mendengar apa yang dikatakan anak baru tersebut. Badannya berbalik dan siap melayangkan tinju ke wajah murid kelas sepuluh tadi.
"Ify berhenti!" Namun teriakan Via barusan berhasil menghentikan Ify.
"Jangan macem-macem lo sama senior, terutama sama Ify. Kalau lo nyari masalah sama Ify, berarti lo berurusan sama gue."
Bukan! Yang barusan bukanlah suara Via. Melainkan suara lelaki lain yang datang entah dari mana, namun dia membela Ify. Sedangkan Via masih berusaha meredakan emosi Ify.
"Cis... Oke, ini menyenangkan. Cowok yang melindunginya adalah ketos."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, lelaki tadi langsung pergi dari sana dengan gaya angkuhnya.
"Fy, lo gak kenapa-napa?" Tanya lelaki yang dibilang ketos.
"Lo jangan sok pahlawan deh, sampai kapan pun juga gue tetap enggak akan berubah jadi suka sama lo." Ify langsung saja pergi dari sana meninggalkan Via dan ketua OSIS tadi.
"Rey, gue duluan ya. Mau nyusul Ify, bye..." Pamit Via sambil melambaikan tangannya ke arah Rey.
Melihat serta mendengar perkataan Ify barusan, membuat Rey tersenyum kecut. Sejauh ini, perasaannya belum pernah berbalas. Dia menyukai Ify, tapi sayangnya gadis itu tidak sekalipun meliriknya.
Teettttt...! Teettttt...! Teettttt...!
Bel masuk kelas sudah berbunyi, Rey segera berjalan menuju kelas sebelum guru sampai terlebih dahulu. Kegiatan masa orientasi siswa sudah dilakukan seminggu kemarin, dengan alasan agar anggota OSIS tidak terganggu waktu belajar di kelasnya. Memang berbeda dengan sekolah lain, tapi tetap saja banyak yang ingin masuk ke SMA Golden's. Karena selain sekolah elit dan favorit, lulusan SMA Golden's dipastikan bisa masuk ke Universitas manapun tanpa pertimbangan. Hal itulah yang membuat lulusan SMP berbondong-bondong mendaftar ke SMA Golden's. Tapi tetap saja, kuota murid terbatas dan sekolah tidak mungkin menerima semua pendaftar kalau nilai tesnya kurang dari angka yang ditentukan.
***
Satu Jam Sebelum Bel Masuk Kelas...
"Apa kamu harus bertindak sejauh ini?" Seorang lelaki berkulit hitam manis dan bertubuh tinggi terus saja mengikuti langkah teman dekatnya.
Raga, dia adalah satu-satunya teman dekat Rio. Keduanya sudah sangat lama berteman, sampai-sampai Rio lupa sudah berapa ratus tahun mereka saling mengenal.
"Gue enggak akan menyerah hanya karena lo ngelarang gue ngelakuin ini. Bagaimanapun juga, gue harus cari tahu kebenarannya biar lo bisa kembali ke surga." Tekad Raga yang bersikap bagai orang tuli tak ingin mendengar apa pun perkataan Rio.
Pandangan Raga kini beralih ke arah perkebunan mawar samping rumah tempat tinggal Rio, banyak bunga bermekaran di luar sana. Raga mendesah ketika tahu, tak lama lagi Rio akan kesakitan kalau tangkai mawar itu dipetik oleh pekerja.
"Lo lihat 'kan? Bunga-bunga itu sudah bermekaran lagi."
"Kenapa? Aku suka melihatnya." Sahut Rio santai sambil berjalan menuju jendela.
Emosi Raga memuncak, wajah putihnya memerah bak cabai setan siap panen. Kekesalannya pada Rio tak bisa dia tutupi.
"Ah... Terserah, mending gue ke sekolah sekarang nyari itu cewek." Putus Raga karena tak ingin tambah kesal melihat Rio yang seolah baik-baik saja.
Suara frustrasi Raga tadi menyita perhatian Rio, dia membalikkan badan dan mendapati Raga belum benar-benar pergi.
"Ga, jangan menyakiti manusia. Itu dosa besar. Terutama gadis itu, dia tidak tahu apa-apa." Hanya ini yang bisa Rio katakan, takutnya kalau dia bicara terlalu banyak malah Raga tidak akan mendengarnya.
Tubuh Raga sudah menghilang dari pandangan Rio. Lelaki berusia 998 tahun itu kembali menikmati pemandangan sekitar rumahnya yang tampak cantik dipenuhi mawar bermekaran. Ingatannya tiba-tiba saja berputar ke kejadian tiga belas tahun lalu yang membuatnya harus berakhir di kebun mawar ini.
"Dua tahun lagi..." Desahnya pelan.
***
Next...