14. Gagal Pulang

1039 Words
Via datang dari kantin sambil membawa keresek jajanan yang berisi batagor miliknya dan pesanan Ify. Tadinya Via sudah mengajak Ify untuk ke kantin, namun gadis itu menggelengkan kepala dan bilang kalau dia ingin tidur. Via kadang heran kepada Ify yang sangat suka tidur, ketimbang melakukan hal-hal lainnya. "Nih, lengkap sesuai pesanan lo," kata Via seraya meletakkan keresek tadi ke atas meja depan Ify. Via lanjut duduk di kursinya lalu mengambil batagor miliknya. Ify masih diam, dia seperti mendengarkan seseorang bicara padanya, tapi entahlah. Sekarang Ify sibuk memakai headset, mungkin saja Ify asik mendengarkan musik jadi tidak merespons Via sama sekali. "Papa 'kan udah janji," kata Ify membuat Via berhenti mengunyah. Via memerhatikan Ify yang seperti orang sedih. Setelah beberapa menit Via terus melihat ke arah Ify, akhirnya Via tahu kalau Ify sekarang sedang menelepon Mr. Stuart, alias papanya. Lagi pula, tadi Ify juga sudah memperjelas dengan menyebut orang yang meneleponnya itu papanya. Via tindak akan mengganggu, dia bakal fokus pada batagornya sambil membaca materi yang mungkin saja akan keluar di ulangan nanti. Via memberi kebebasan kepada Ify untuk bertelepon dengan tenang bersama Mr. Stuart. "Papa nggak bisa batalin gitu aja dong!" Ify menyentak Mr. Stuart dengan nada marahnya. Via yang sedari tadi hanya diam, dia jadi memerhatikan Ify lagi. Setelah dilihat-lihat, sepertinya Ify memang terlihat sedang kesal, marah, sedih, dan yang paling terlihat itu adalah kekecewaan di wajahnya. "Papa nggak bisa bohongin aku kayak gini! Papa udah bilang bakal pulang dari Colmar bulan ini! Terus sekarang Papa tiba-tiba bilang kalau Papa nggak bisa pulang cuma gara-gara masalah bisnis?" tanya Ify panjang lebar dengan nada marahnya. "Memang dari dulu Papa lebih mentingin bisnis ketimbang aku!" Ify langsung memutus sambungan teleponnya dengan Mr. Stuart karena saking kesal, marah dan kecewanya Ify kepada Mr. Stuart. Suasana jadi sedikit tegang, Via jadi bingung harus bereaksi bagaimana. Lagi pula, Via juga tidak tahu bagaimana yang dirasakan Ify saat ini karena Via bukanlah Ify. "Papa lo nggak jadi pulang, Fy?" tanya Via pelan, karena dia takut membuat Ify semakin hancur. Kepala Ify menggeleng sebagai jawaban. Ify memukul meja berulang-ulang guna melampiaskan rasa marah dan kecewanya tentang papanya. Via yang merasa cemas, tentu saja dia langsung menghentikan apa yang Ify lakukan. Via hanya tidak ingin Ify terluka. "Kenapa lo nggak ke Colmar aja nyusul Papa lo?" Via mencoba memberi usul kepada Ify, siapa tahu akan didengar oleh gadis itu. Ify lagi-lagi menggelengkan kepalanya, dia mengambil tas dan meninggalkan Via sendirian di kelas bersama keresek batagor yang tadi dia beli. Via baru sadar, kalau sejak dia datang dari kantin tadi memang kelas sudah tidak ada siapa-siapa. Alias hanya Ify seorang yang ada di kelas. Bukan hal aneh, pasti Ify tadi sudah meminta semua teman satu kelasnya untuk keluar karena Ify tidak ingin percakapannya dengan Mr. Stuart terdengar oleh mereka. Via segera menyusul Ify, tak lupa keresek hitam berisi batagor tadi juga dia masukkan ke dalam tas. Via berlari sekencang mungkin menyusul Ify yang sudah lebih jauh dari dirinya. "Fy! Tunggu!" panggil Via berteriak sambil berlari. Ify tidak menggubris panggilan Via. Gadis itu tetap berlari ke arah gerbang sekolah dan memberhentikan taksi yang sedang lewat. Via mempercepat larinya, dan untung saja Via berhasil menyusul Ify. Dia ikut masuk ke dalam taksi meski harus bertaruh napas. "Hah, hampir kehabisan napas gue, Fy," keluh Via seraya menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Taksi melaju meninggalkan area sekolah. Ify sudah menyebutkan ke mana dia harus diantar. Sementara Via, dia masih berusaha mengatur deru napasnya yang tidak beraturan. Via diam-diam mengirim pesan kepada Alvin, dia memberi tahu Alvin mengenai kemarahan Ify kali ini. Barangkali Alvin akan langsung pulang kalau mendengar adiknya marah perkara Mr. Stuart yang gagal pulang. Gerbang kediaman Schmitz telah terlihat, taksi pun berhenti dan Ify turun tanpa membayar argo terlebih dulu sehingga mau tak mau akhirnya Via yang membayarnya. Sementara Ify, dia sudah berlari ke dalam rumah meninggalkan Via sendirian. "Untung gue punya stok sabar yang banyak, Fy," desah Via seraya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ify. Via mengikuti Ify masuk ke rumah, dan seperti yang diduga Via kalau di rumah memang kosong tidak ada siapa-siapa. Namun dari yang Via tahu, Alvin sebentar lagi pasti akan sampai di rumah. Lelaki bermata sipit itu tadi sudah membalas pesannya kalau dia akan segera pulang. Emosi Ify sedang tidak stabil karena gagalnya Mr. Schmitz pulang ke Indonesia. Padahal Ify sudah menunggu kepulangan papanya dari Colmar sejak dua bulan lalu. Namun karena masalah perusahaan Mr. Stuart harus menunda kepulangannya selama satu bulan lagi. Via yang sedari awal memang menemani Ify dari sekolah sampai rumah, hanya bisa meringis sembari sesekali menggigit bibirnya. Bahkan Via juga tak jarang mengusap dadanya yang dibuat syok dadakan oleh teriakan-teriakan Ify barusan. Satu vas bunga terbuat dari kaca yang ada atas meja dapur sudah berada di tangan Ify. Via harap-harap cemas, dia takut kalau Ify akan memecahkan vas bunga itu dan melukai dirinya sendiri. Suara pecahan vas menggema di seluruh ruangan. Ify benar-benar melemparkan vas tadi ke sembarang arah hingga semuanya hancur lebur. Bunga lily putih yang sedari tadi berdiam diri di vas bunga itu pun berhamburan ke sana kemari. Via sampai menutup telinganya karena saking kagetnya. "Daripada lo emosi, mending lo nyusul Papa lo ke Colmar, Fy," usul Via lagi. "Gue tuh enggak bisa terima, Vi! Papa tuh udah janji kalau dia bakal pulang bulan ini!" Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Ify berteriak histeris begini. Via mengerti, pasti Ify merindukan papanya yang jauh di Colmar. Namun Ify juga harusnya bisa lebih memahami lagi mengenai posisi Mr. Stuart yang sebagai pemimpin perusahaan besar. Ify berjalan menaiki tangga dan lagi-lagi diikuti oleh Via. Namun malah, Ify menutup pintu kamarnya dengan sekali hentakan yang menimbulkan suara teramat kencang. Tubuh Via berjingkat kaget ketika mendengar Ify menutup pintu kamarnya sekencang mungkin. Bibir Via sudah monyong-monyong, gatal ingin meneriaki Ify balik. Tapi rasanya tak lega kalau mengumpat tidak di depan orangnya langsung. "Untung hati gue kuat ngadepin lo, Fy. Coba kalau gue nggak punya hati kayak begini, pasti udah gue tendang lo sampai Suriname!" teriak Via di depan pintu kamar Ify, berharap sahabat iblisnya itu akan bisa mendengar dengan jelas. Tidak ada sahutan dari Ify hingga akhirnya Via memutuskan untuk turun ke lantai bawah menunggu Alvin. Dia juga ingin memberi waktu agar Ify bisa menenangkan pikirannya akibat diberi harapan palsu oleh papanya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD