Chintya: bab 5

2076 Words
Aku mengabaikan chat Arshaka dari tadi yang memintaku agar pulang cepat dan menginap di rumah mamanya, karena memang hari ini sampai hari Minggu kedua orang tuaku pergi ke luar kota. Aku akan sendirian di rumah. Ini untuk pertama kalinya mereka akan menginap selama 2 tanpa aku ikut. Dulu, waktu papa dirawat di luar negeri, aku dan mama ikut ke sana. Papa dirawat sekitar sebulan dan aku pulang lebih awal tinggal di rumah orang tua Arshaka karena akan sidang. Setelah itu, papa sembuh dan aku langsung bertunangan dengan Arshaka. Saat sedang bersiap-siap pulang, aku mengernyit ketika layar ponselku menyala dan tertera nama Arshaka di sana. Aku hanya meliriknya, hingga ketiga kalinya panggilan masuk dari lelaki itu. Aku mengangkatnya dan terkejut ketika lelaki itu mengatakan bahwa telah berada di depan Tower tempatku bekerja. Katanya menjemputku agar ke rumah mamanya—memintaku untuk menaruh mobil di rumah terlebih dahulu. "Udah siap-siap mau pulang? Batalin pergi sama temen lo." Khas Arshaka sekali, yang kadang suka seenaknya. Tak mau dibantah. "Tapi, Kak... " "Gue tunggu. Gue ngikutin mobil lo entar dari belakang. Ambil baju dulu ke rumah lo." "Ya udah, iya, Kak." Aku bisa apa? Apa aku punya power untuk membantah lelaki itu? Apa lagi ketika turun dari mobil di rumahku, dia berkata bahwa dirinya disuruh oleh orang tuanya. "Aku sebenarnya enggak apa-apa kalau sendirian di rumah." "Dibilang ini disuruh orang tua gue. Mereka khawatir sama lo, tolong hargai lah." Menyangkut kedua orang tuanya, aku tak bisa untuk menghindar. "Oke. Aku ambil baju dulu sebentar." "Jangan lama-lama." "Iya." Di dalam mobil Arshaka, aku diam saja. Tak seperti biasanya yang selalu mencari bahan obrolan agar tidak sunyi. Arshaka yang sepertinya heran padaku pun bertanya kenapa aku diam saja. Aku jawab karena mengantuk dan pura-pura menguap, lalu memejamkan. Padahal, aku sedang malas bicara saja. Aku sungguh lelah hari ini. Satu hal yang membuat dadaku sesak tadi. Aku iseng mengunjungi akun teman perempuan Arshaka yang bernama Nindya itu tak lama setelah panggilan Arshaka berakhir setelah jam makan siang. Akun perempuan itu cukup banyak pengikut layaknya selebgram. Ternyata, hari ini Arshaka makan siang dengan perempuan itu terlihat pada story. Apa tak yakin jika tadi dirinya benar-benar lupa. Dia tak datang, bahkan mematikan ponselnya karena pergi bersama temannya itu. Apa dia pura-pura lupa dengan janjinya padaku karena pergi dengan perempuan itu? Kemarin ini dia tak bisa makan malam dengan keluargaku karena ingin menjemput temannya itu di bandara. Dan tadi? Dia mematikan ponselnya dan pergi bersama temannya itu padahal sudah janji dari hari sebelumnya padaku. Tiba di rumah orang tuanya, teman perempuannya yang aku intip story-nya itu ada di sana. Dia ternyata sahabat Arshaka dari kecil dan dekat juga dengan keluarga lelaki itu. Dia tampak begitu akrab juga dengan Talitha, adiknya Arshaka yang entah kenapa hingga saat ini terlihat kurang menyukaiku. Perempuan itu terlihat cantik dan tampak elegant. Sapuan make up di wajahnya membuat perempuan itu tampak semakin berkelas. Tidak sepertiku yang biasa saja. Sekalinya menggunakan make up hari ini, aku hanya memakainya sebisaku. Aku juga tak terlalu mengerti tentang make up. Ke kantor sehari-harinya, aku hanya menggunakan cushion dan lipstick saja. Tante Tina, mamanya Arshaka memperkenalkanku kepadanya sebagai tunangannya Arshaka. Perempuan itu tampak terkejut. Dia baru tahu karena katanya Arshaka tak bercerita. Aku tertawa miris. Memangnya aku sepenting itu untuk diceritakan atau Arshaka punya alasan lain untuk tidak bercerita? Perempuan bernama Nindya itu lebih banyak berbicara, sementara aku hanya sesekali. Saat di meja makan, aku tetap tersenyum melihat Nindya yang lebih paham tentang makanan kesukaan Arshaka. Mereka telah mengenal sejak lama, wajar saja jika Nindya memahami lelaki itu. Beda denganku yang saat ini telah berstatus sebagai tunangan lelaki itu, namun tak tahu apa-apa tentangnya. Arshaka yang tidak suka udang, namun aku malah menawarkan lauk itu padanya. Tak mau terlihat konyol di depan Nindya hanya karena tak mengetahui jenis makanan yang tidak disukai Arshaka, aku pun berkata jika lupa bahwa Arshaka pernah tak makan udang juga di rumahku. Tidak menginap di rumah orang tuanya walau besok libur, setelah makan Arshaka pamit balik ke apartemennya. Katanya juga sekalian mengantarkan Nindya pulang. Dari tadi awal datang dia sudah berniat mengantatkan Nindya pulang. Apa dia memang sudah tahu perempuan itu berada di rumahnya? Entahlah, aku pun juga tak berani untuk bertanya. Aku mendengar Nindya berbicara dengan Thalita yang menginginkan perempuan itu menginap. Nindya bilang tidak bisa karena mamanya sedang sendirian di rumah. Thalita memintanya untuk datang kembali besok dan Nindya berkata jika besok akan berkeliling Jakarta dengan Arshaka karena sudah lama tak pulang ke Indonesia. Aku tertawa sumbang di dalam hatiku. Arshaka mau mengantarnya hanya untuk berkeliling Jakarta? Sedangkan biasanya ketika aku mengajaknya jalan di waktu weekend, dia tidak pernah mau. Kecuali jika makam malam dengan orang tua kami juga. Arshaka beralasan lelah bekerja pada weekdays, ingin tidur saja istirahat. Atau malas keluar rumah serta banyak alasan lainnya. Selama sekian tahu bersama, bahkan kami tak pernah jalan keluar malam mingguan. "Besok jalan-jalan berdua aja sama Kak Nindya?" tanyaku sebelum lelaki itu beranjak pergi dari hadapanku. "Iya, kenapa?" "Enggak kenapa-napa. Cuma pengen tahu aja. Umm... apa aku boleh ikut? Pengen keluar aja besok." Aku ingin mengetes saja, penasaran apakah Arshaka akan mengizinkanmu untuk ikut atau dia hanya ingin pergi dengan sahabatnya saja. "Keluar ya keluar aja, entar balik sini lagi. Kan nggak harus sama gue." Arshaka memintaku untuk pergi ditemani oleh adiknya, Thalita. Namun, adiknya itu langsung menyahut seolah tak sudi pergi denganku. Ponselku berbunyi ada notifikasi pesan masuk. Mataku menyipit ketika membaca pesan itu. Kak Shaka Jangan pikir aneh-aneh Nindya cuma sahabat gue Aku mendongak—menatap ke arah mobilnya Arshaka yang masih berada di depan pintu utama, belum keluar dari pagar. Lelaki itu menatapku lurus dari dalam sana. Arshaka seolah bisa membaca pikiranku. Salah satunya yang membuatku bertahan hingga saat ini selain karena balas budi atas kebaikan keluarganya pada keluargaku, yaitu karena masih berharap ada secercah harapan. Aku mencintainya… dan aku tak bisa menampik hal itu. Aku masih berdiri di depan pintu dan tersentak ketika ada yang menepuk pelan bahuku. Aku menoleh dan mendapati Tante Tina yang tersenyum padaku. Tak ada lagi Thalita, sepertinya sudah menuju kamarnya. Mobil Arshaka pun telah berlalu pergi. “Shaka dan Nindya itu sahabatan dari kecil, udah kayak saudara.” Aku tersenyum. “Iya, Tan. Aku ngerti.” “Kamu yang sabar sama Shaka ya, Nak. Tante yakin, kalau cuma kamu perempuan yang tepat untuk dampingin anak Tante.” Aku mengangguk. Kami masuk ke dalam dan mengobrol di sofa depan TV. Lalu, ada Om Ferdy juga yang ikut bergabung. Dia bertanya tentang pekerjaanku. “Apa kamu nggak mau coba gabung di perusahaan papa kamu? Nanti kamu bisa diajarin sama Shaka.” “Aku merasa belum sanggup, Om.” “Makanya, belajar dulu.” Salah satu alasanku tak mau gabung di perusahaan papa yang kecil itu, tak lain karena merasa perusahaan itu telah menjadi miliknya Om Ferdy secara tak langsung. Papa hanya sebagai CEO dengan presentase saham yang tak seberapa. Arshaka lah yang pantas mengelola perusahaan—memegang kendali atas 2 perusahaan. Waktu jatuh sakit, papa sempat hendak menyerah juga dengan perusahaan yang merupakan warisan dari almarhum kakekku. Namun, Om Ferdy kembali datang menyelamatkan. Om Ferdy membantu papa berkali-kali. Pada saat aku masih kuliah tingkat awal, dia pertama kali membantu papa. Setelah itu, tak terhitung banyaknya, tepatnya setelah aku dijodohkan dengan Arshaka. “Aku harus melakukan apa supaya bisa balas kebaikan Om dan Tante?” tanyaku sembari menyeka sudut mataku yang berair. Aku kembali ke Indonesia dari Singapura setelah papa menjalani perawatan intensif di sana. Kondisi kesehatan papa semakin membaik, hanya saja belum diperbolehkan pulang sampai benar-benar sembuh total. Aku pulang lebih dulu karena ada jadwal sidang skripsi. Tante Tina memintaku untuk tinggal di rumahnya hingga papa dan mama kembali. “Jadi menantu Om dan Tante aja, itu udah cukup bagi kami.” Aku terkekeh kecil. “Aku serius, Om. Masa itu aja syaratnya? Om dan Tante udah baik banget sama keluargaku. A-aku… “ “Papa kamu dulu juga baik banget sama Om. Nggak ada salahnya jika Om berbuat yang sama, bukan?” “Papaku cuma nolong Om waktu dibully,” cicitku. “Justru itu, hal yang enggak bisa Om lupain sampai kapan pun, Chintya. Papa kamu bagaikan malaikat waktu itu.” Tetap saja, yang Om Ferdy berikan kepada keluargaku jauh lebih banyak. Aku juga harus balas budi, bukan? Aku percaya takdir Tuhan. Tapi Tuhan mengirimkan Om Ferdy sebagai perantara setiap masalah pelik yang dihadapi keluargaku. Jika tidak ada Om Ferdy, aku tidak tahu akan bagaimana nasibnya papa yang nyaris meregangkan nyawa. “Itu perusahaan papa kamu, Chintya. Om cuma investasi di sana, jika kamu memikirkan itu.” “Tapi, Om… “ “Nanti pada akhirnya kamu juga akan menikah dengan Shaka, ‘kan? Oke kalau kamu berpikiran itu miliknya kami, tapi ketika menikah tentunya apa yang Shaka punya akan menjadi milik kamu juga. Ngerti maksud Om, ‘kan?” *** “Mau ikut Tante arisan nggak?” tanya Tante Tina pada saat sarapan. “Takutnya kamu bete di rumah. Si Om pergi main golf dan Thalita bakalan drakoran di kamar jarang keluar.” “Aku ada rencana mau keluar juga hari ini, Tan.” “Mau ke mana? Bentar, Tante hubungin Shaka biar ajak kamu jalan-jalan.” Aku menggeleng. Apa Tante Tina semalam tidak mendengar Nindya yang berkata akan jalan-jalan hari ini bersama Arshaka? “Kenapa emangnya?” “Kak Shaka kan pergi nemenin Kak Nindya hari ini.” Thalita baru saja tiba di ruang makan dan duduk di kursi sebelah mamanya. “Ke mana emangnya?” “Keliling Jakarta katanya. Kak Nindya kan udah lama banget nggak balik sini, udah banyak beda katanya pengen lihat-lihat.” “Ooh. Paling juga enggak lama itu.” Thalita mengedikkan bahunya. “Nanti coba Tante hubungin dia ya, Chin.” “Mau ke mana emangnya, Chin?” “Belum tahu, Ta. Lihat entar aja.” “Kenapa semalam nggak bawa mobil ke sini? Kan lo jadi repot sekarang mesti keluar. Mobil gue belom di service soalnya.” Aku tak mungkin juga mengatakan jika kakaknya yang menyuruhku untuk meninggalkan mobilku untuk ikut dengannya. Bukan tipeku sekali yang suka mengadu hal spele seperti itu. Arshaka bisa-bisa marah padaku dan menuduhku mengadu karena semalam aku sempat meminta ingin ikut dengannya. “Nggak repot juga, sih. Sekarang kan ada kendaraan online, nggak ribet ke mana-mana.” Pada siang hari, Tante Tina mengabariku jika Arshaka tidak bisa menemaniku jalan-jalan. “Katanya capek, mau istirahat. Gimana dong, Chintya? Apa kamu mau menunggu Tante agak sorean dan kita janjian di luar?” “Iya, enggak apa-apa. Emm… maaf, Tan, aku udah janjian sama teman kantor barusan.” “Tapi balik ke rumah Tante lagi, ya, Sayang?” “Iya, Tante.” Sebelum Tante Tina pulang, aku naik ojek online ke rumahku untuk mengambil mobil. Setelahnya, aku mengendarai mobilku menuju sebuah cafe & resto di daerah Jakarta Barat. Rara pernah ke sana dan bilang jika cafe-nya cozy. Begitu tiba di sana dan baru saja mendudukkan diri di sebuah kursi, ponselku berbunyi. Ada notifikasi pesan dari Rara rupanya. Rara Ini tunangan lo bukan, sih? Sama kayak foto yang pernah gue lihat. Gue masih inget banget mukanya. Rara mengirimiku sebuah video di mana terlihat Nindya yang bergelayut manja di lengan Arshaka pada sebuah pusat perbelanjaan. Rara memang telah melihat foto Arshaka sebelumnya. Aku pernah up story, yang aku hapus beberapa jam kemudian karena Arshaka tak suka aku mengunggah story tentangnya. Dan juga, Rara tahu dari wallpaper ponselku yang pernah memasang foto Arshaka di sana. Arshaka ada waktu untuk jalan-jalan di mall dengan sahabatnya, sementara tidak denganku? Aku pernah memintanya untuk menemaniku membeli kado ulang tahun Thalita. Arshaka juga membiarkan seorang perempuan bergelayut pada lengannya? Aku menggeleng, ingat kata Tante Tuna bahwa mereka sahabatan sejak kecil sudah seperti saudara. “Gue juga enggak tahu dia suka apa. Lo beli sendiri aja, terserah beli apa juga. Gue ngantuk, mau tidur.” Masih teringat olehku kata-kata Arshaka waktu itu. “Sendirian aja?" Aku mendongak ketika mendengar suara di dekatku. "Pak Dewa?" Lelaki itu tersenyum. Apa aku tidak salah lihat? Yang aku tahu, lelaki yang merupakan CEO di kantorku itu jarang sekali tersenyum. Dan aku tentu saja tak percaya dengan ucapan Rara waktu itu yang berkata bahwa Pak Dewa tersenyum padanya. Lelaki itu terkenal dingin dan irit bicara! "Kamu sendirian aja? Boleh saya duduk di sini?" tunjuknya pada kursi di depanku. "Hah?!” Lelaki itu terkekeh kecil sembari menarik kursi di depanku dan duduk di sana. “Boleh aja, ya? Malas cari kursi yang lain, masa gabung sama orang yang nggak dikenal?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD