Arshaka: bab 6

1576 Words
"Kok lo enggak pernah cerita kalau udah tunangan?" tanya Nindya ketika aku mengantarnya pulang. "Dijodohin." Nindya manggut-manggut. "Pantesan. Kayaknya hubungan kalian kaku benar." "Hmmm." "Lo cinta sama dia? Dia kelihatan jauh berbeda dari Meisya. Apa kalian akan segera menikah?" Arshaka mengedikkan bahunya. "Entah lah. Gue masih belum bisa mencintai perempuan mana pun." "Masih belum move on dari Meisya?" tanya Nindya yang tahu persis betapa sukanya Arshaka terhadap perempuan yang bernama Meisya itu, sejak SMA. Bahkan, ketika berada jauh di luar negeri pun, Arshaka masih memantau Meisya melalui temannya. "Udah move on, kok. Belum jatuh cinta lagi, bukan berarti belum move on, 'kan?" "Terus gimana sama Chintya? Tunangan tanpa cinta, lalu kalian akan menikah?" "Lihat gimana nanti aja. Cuma buat saat ini, gue belum akan menikah dalam waktu dekat." "Kasihan juga Chintya itu. Kalau gue perhatiin tadi dari tatapan matanya, kayaknya dia suka sama elo, Ka. Tapi, dia seperti nggak tahu apa-apa tentang lo. Bertepuk sebelah tangan. Gue jadi pensaraan, gimana selama ini kalian menjalin hubungan?" "Yaah... jalani aja. Lo tahu bokap gue, 'kan? Kana bisa gue nolak permintaan papa. Papa gue yang pengen banget jodohin gue sama Chintya. Dia itu anak dari temannya papa." "Chintya itu cantik dan ceria, kelihatan baik juga. Lo serius enggak punya perasaan sedikit pun sama dia?" Aku menggeleng tanpa ragu. "Kalau iya, udah dari dulu. Kami udah 6 tahun kenal, dan berstatus sebagai tunangan sejak 2 tahun yang lalu." "Mungkin lo belum mengenal dia lebih dekat, Ka." "Gue akui, dia cukup cantik da berasal dari keluarga baik-baik. Tapi mau gimana kalau rasa sama dia itu enggak ada?" "Iya juga, sih. Susah kalau nggak cinta, mau gimana pun orangnya. Umm... tapi, Ka, kayaknya tadi dia cemburu sama gue." Aku terdiam. Tak menampik, jika aku juga merasa Chintya memang tengah cemburu. Dia bahkan meminta untuk ikut denganku besok. Buat apa? Toh dengan Nindya bersahabat dari kecil sudah seperti saudara. Namun, tadi sebelum mobilku beranjak dari rumah mama, aku sempat mengirimkan pesan padanya yang masih berdiri di depan pintu. Aku berkata padanya untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Entah, tiba-tiba saja aku ingin mengiriminya pesan seperti itu. Agar dia tidak cemburu? Kenapa aku jadi memikirkan bagaimana perasaannya? Seharusnya aku senang jika suatu saat dia mundur dari perjodohan ini. Itu lebih baik, karena papa pasti akan menghargai keputusan perempuan itu. "Kalau enggak cinta dia, kenapa enggak cari cara agar dia mundur aja?" Aku sontak menoleh. Dengan sikap dingin, ketus yang aku tunjukkan selama ini pada Chintya, hal itu sama sekali tidak membuat perempuan itu menyerah. Dia tetap Chintya yang ceria, tak pernah marah atau protes apa pun terhadapku. "Dia tipe orang yang pantang menyerah dan sedikit keras kepala sepertinya. Enam tahun kami dijodohkan, dia masih bertahan dengan segala perlakuan dan sikap gue terhadap dia." "Coba cari cara lain lagi, mungkin aja berhasil? Perlu bantuan gue nggak?" Aku tertawa. "Entar aja lah, gue enggak begitu mikirin. Nanti aja lah." *** Keesokan harinya aku menjemput Nindya dan mulai berjalan dengan menyusuri jalan-jalan di wilayah Jakarta. Mama tadi menghubungiku, bertanya kapan aku akan pulang agar bisa menemani Chintya keluar rumah. Aku mendengkus, apa perempuan itu meminta bantuan kepada mama supaya aku menemaninya? Mama dan papa begitu menyayangi Chintya, aku rasa melebihiku yang anak kandungnya sendiri. Aku rasa memang hal itu yang membuat Thalita, adikku itu tak ramah dengan Chintya. Mama dan papa yang selalu saja memuji-muji perempuan itu di hadapan kami berdua. Setelah berkeliling, aku dan Nindya makan siang di resto kawasan Jakarta Pusat sekitar pukul 14:00. Aku sesekali melirik ponsel dan tidak mendapati pesan masuk dan telepon dari Chintya. Apa perempuan itu tidak jadi keluar rumah hari ini?" "Ka, hallo... " Aku mengerjap saat Nindya mengibaskan tangannya di depanku. "Ngeliatin HP terus," ujarnya dengan mata menyipit. "Ada sesuatu penting yang lo tunggu?" Aku meletakkan ponselku di atas meja. "Ah, enggak penting-penting amat juga." "Chintya?" "Bukan lah!" jawabku cepat. "Sebenarnya kemarin ini ada client ngajakin main golf, mau ngobrol santai aja, tapi gue batalin. Katanya mau kabarin lagi mau jadi besok enggak." Memang ada client-ku yang mengajak main golf pada Sabtu ini. Hanya saja, aku bilag bahwa hari ini aa agenda dadakan. "Ooh. Kirain nunggu kabar dari Chintya atau mama kamu." Nindya tadi memang mendengar ketika mama meneleponku. Aku bilang tidak bisa pergi bersama Chintya karena setelah ini akan tidur, istirahat. "Mau ke mana lagi habis ini?" tanyaku mengalihkan. "Ke PIM deh, Ka. Lo masih mau nemenin gue, 'kan?" "Ke mana lagi habis itu?" Nindya tertawa. "Ikhlas nggak nih?" "Apa pun buat sahabat gue, selagi gue enggak sibuk aja. That's what are friend for." "Oke, entar gue pikir-pikir lagi. Tapi kalau udah capek, mau pulang aja. Lo enggak mau makan malam di rumah gue gitu? Udah lama enggak nyobain masakan mama gue loh!" "Duh, kayaknya enggak bisa dulu, Nin. Kalau lo udah enggak mau ke mana-mana, gue mau balik apartemen aja, tidur." Usai makan dan ke mall, Nindya katanya mau pulang saja. Aku tiba di rumahnya pukul 18:00 dan mampir sebentar karena mamanya memaksa masuk dulu. Pukul 19:00, aku pamit pulang dan langsung menuju apartemenku. Baru saja duduk bersanda di sofa unit apartemenku dengan mata terpejam, ponselku berdering. Nama mama tertera di layarnya. "Kamu di mana, Ka? Udah pulang?" "Apartemen, Ma. Ada apa?" "Ajak Chintya malam mingguan dong, Ka. Sekali-kali gitu, berdua aja." Aku berdecak. "Chintya bilang apa sama mama?" "Maksud kamu? Tadi pagi sebelum mama dan papa keluar rumah, Chintya bilang mau pergi juga. Mbak Siti bilang, Chintya pergi dari siang." "Ya udah, biarin aja dia sendiri. Kali janjian sama teman-temannya di luar." "Ka, mama minta sesekali doang kamu pergi sama dia. Gimana kamu mau kenal dekat sama dia kalau kamu nggak berusaha mendekatkan diri? Chintya itu anak yang menyenangkan, baik, cantik, so— " "Sopan, ramah, pintar, dan apa lagi ya, Ma?" Aku mendengkus. "Mama itu terlalu berlebihan memuji dia. Bagaimana kalau aslinya ternyata dia enggak seperti yang terlihat biasanya?" "Arshaka, nggak ada salahnya jika kamu mencoba kenal lebih dekat tanpa kata-kata pujian tentang dia dari mulut mama loh! Mama yakin, kamu akan mempunyai pemikiran yang berbeda terhadap dia. Sebagai orang tua, kami cuma ingin kamu mendapatkan pasangan yang terbaik." "Terbaik bagi mama dan papa, belum tentu bagiku begitu. Aku yang akan ngejalanin ke depannya, bukan papa atau pun mama." "Oke. Terus maunya kamu apa sekarang? Kamu mau batalin perjodohan kalian?" "Apa papa setuju dengan rencanaku? Enggak bakalan. Aku harus hidup dalam aturannya apa yang nggak bisa terbantahkan." "Mama akan bicara sama papamu." Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Ya udah, mama mau hubungin Chintya dulu. Udah jam 8, tapi dia belum pulang." "Hmmm." Aku meletakkan ponselku di atas meja. Lalu kembali menyandarkan kepala di sofa. Tak bisa benar-benar tertidur karena pikiranku ke mana-mana, aku kembali membuka mata. Aku melihat ponselku dan kembali meraihnya. Ke mana Chintya? Kemarin malam katanya akan mengabariku jika pergi keluar, ternyata dia sama sekali tak ada kabar. Bahkan, mamaku sepertinya cemas kepadanya. Nyusahin aja! Aku membuka kontak perempuan itu dan menghubunginya. Tak ada jawaban. Kemudian, aku mengirimkan beberapa pesan, tak juga dibalas. Aku akhirnya menelepon mama. "Chintya ke mana emangnya? Mama udah tanya?" "Udah. Lagi di cafe katanya, pulang agak malaman. Kenapa emangnya?" "Nanya aja. Kan mama tadi nyuruh aku ajak dia malam mingguan." "Kamu berubah pikiran?" "Nggak. Cuma mau nemenin dia aja, berarti itu udah malam mingguan bareng, 'kan?" "Terserah kamu lah, Ka." "Dia di cafe mana?" "Tanya sendiri dong!" "Chat aku enggak dibales." "Mungkin dianya lagi mau sendiri, enggak mau diganggu." Setelah menelpon mama, aku kembali menghubungi Chintya dan kali ini diangkat oleh perempuan itu. "Lo di mana?" "Cafe." "Berisik amat." "Iya, lagi nonton live musik." "Dari tadi siang?" "Enggak, pindah tempat pas malam." "Sama siapa?" "Sendiri." "Loh, kita ketemu lagi di sini. Jangan-jangan kita berjodoh ya, Chintya?" Aku mengernyit ketika mendengar suara seorang lelaki menyapa Chintya. Siapa lelaki itu? "He-eh, Pak Dewa bisa aja." Suara Chintya mulai terdengar menjauh, akan tetapi aku mendengar jelas. Siapa itu Pak Dewa? "Chintya?" Aku memanggil perempuan itu, namun tak ada sahutan. Hingga beberapa saat kemudian. "Hallo, Kak Shaka?" "Siapa barusan?" "Itu... bos aku di kantor." "Gebetan lo? Suka sama lo? Ketemu lagi? Kalian janjian?" "Enggak janjian, kebetulan ketemu aja. Suka sama aku? Ngaco aja. Enggak mungkin CEO anak tunggal, kaya raya, lulusan luar negeri kampus ternama begitu suka sama staff finance biasa-biasa aja kayak aku. Dia itu cocoknya sama artis atau model, bukan sama perempuan serba biasa kayak aku." "Kali aja gitu, atau lo yang suka dia?" "Enggak lah. Aku udah punya Kak Shaka, buat apa ngelirik yang lain?" "Hmm." "Kenapa? Apa Kak Shaka cemburu?" "Gue? Cemburu?" Aku terkekeh sinis. "Yang benar aja! Nggak bakalan gue cemburu mau lo jalan sama siapa pun juga." "Iya... iya, aku tahu. Mana mungkin Kak Shaka cemburu? Kak Shaka kan belum cinta aku. Kata orang-orang, cemburu itu tanda cinta. Kalau enggak cemburu, berarti kan enggak cinta." "Lo tahu gue enggak cinta, kenapa masih bertahan sama gue?" "Sekeras-kerasnya batu, apa bila tertimpa air terus-menerus akan rapuh juga. Aku akan menunggu waktu itu, di mana Kak Shaka akan membuka hati untuk aku." Aku tertawa sinis. "Kalau semua enggak seperti yang lo harapkan?" "Akan ada saatnya aku harus pergi dari kehidupan Kak Shaka." Aku berdehem. "Lo di cafe mana? Mama minta gue buat temenin lo." "Enggak usah, Kak. Bentar lagi juga aku mau pulang." "Di mana??!" "Di Antofi Cafe, tapi ini aku mau pulang sebentar lagi. Kira-kira jam 9-an." "Tungguin di sana." "Aku bawa mobil sendiri, kok. Tadi aku ambil mobil dulu pulang." "Gue bilang tunggu, ngerti nggak? Gue lagi bete, mau nonton live musik juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD