Ingat bahwa hari ini Chintya akan berada sendirian di rumah karena orang tuanya ke luar kota sampai hari Minggu, aku pun kepikiran dengannya. Di rumah perempuan itu tak ada asisten rumah tangga yang menginap. Hanya ada ibu-ibu yang mengerjakan tugas di rumah itu, dari pagi hingga siang hari saja. Apa Chintya tidak merasa takut sendirian? Lalu, bagaimana jika ada orang yang masuk ke dalam rumahnya tanpa sepengetahuan perempuan itu malam-malam?
Aku akhirnya mengirimkan chat kepada perempuan itu agar pulang lebih cepat saja. Aku akan menjemputnya untuk menginap di rumah orang tuaku saja hingga kedua orang tuanya pulang. Bagimana pun, dia adalah tunanganku. Tidak ada salahnya aku sedikit memperhatikan untuk keamanannya. Dan sebagai bentuk rasa bersalahku juga, hari ini telah mengecewakannya. Maka, aku ingin melakukan sesuatu untuknya.
Pesanku sudah ceklis biru, namun tak ada balasan dari perempuan itu hingga satu jam kemudian. Apa Chintya marah kepadaku?
Tidak, Chintya tak akan marah hanya karena tak jadi makan siang bersama. Ini bukan pertama kali kami janjian, lalu batal. Suaranya saat di telepon barusan juga biasa saja. Aku menggelengkan kepala, kenapa juga aku terlalu memikirkan dia? Aku memang menjalani hubungan perjodohan kami apa adanya saja, karena titahnya papa yang tak bisa dibantah. Lagi pula, Chintya tidak begitu jelek dan berasal dari keluarga baik-baik juga. Hanya saja, aku yang belum mencintainya. Jika suatu saat dia hendak membatalkan perjodohan kami, aku tak masalah. Setidaknya papa tidak akan menyalahkanku jika perempuan itu yang meminta untuk menyudahi hubungan kami.
Beberapa saat kemudian setelah mengecek kerjaanku, aku melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 16:00. Aku melihat ponselku, tak ada balasan pesan juga dari Chintya.
Aku bangkit berdiri mengambil jas yang di kursiku dan meraih kunci mobil.
“Saya pulang cepat hari ini, Dra,” kataku kepada sekretarisku yang bernama Diandra saat baru saja keluar ruangan. “Kabari saya kalau ada hal penting.”
“Oke, Pak.”
Setelah menimang-nimang, aku melajukan mobilku menuju Towaz Tower di mana tempat Chintya berkerja. Aku tiba di depan gedung tersebut setelah menempuh setengah jam perjalanan. Tadi pukul 16:15 mobilku keluar area kantor.
Aku menghubungi nomor ponsel Chintya. Dua kali tidak diangkatnya, lalu aku mengiriminya pesan. Tidak ada balasan, tepatnya perempuan itu belum membuka pesanku. Aku kembali menelepon, dering ketiga akhirnya diangkat juga.
“Hallo, Kak?”
“Gue di depan Towaz.”
“Hah?!”
“Baca chat gue. Kenapa dari tadi nggak balas?”
“Umm… sorry, Kak. Tadi ada bos, buru-buru taruh HP lagi. Lupa mau bales, udah sibuk sama kerjaan.”
“Udah siap-siap mau pulang? Batalin pergi sama temen lo.”
“Tapi, Kak… “
“Gue tunggu. Gue ngikutin mobil lo entar dari belakang. Ambil baju dulu ke rumah lo.”
“Ya udah, iya, Kak. Tunggu sebentar, aku siap-siap mau pulang dulu.”
Lebih dari 15 menit menunggu, mobil Chintya keluar dari area Towaz. Aku pun mengikutinya dari belakang.
Tiba di rumahnya, aku menunggu di luar. Chintya hanya mengambil baju saja setelah menaruh mobilnya di garasi.
***
Tak ada pembicaraan selama dalam perjalanan ke rumah orang tuaku. Biasanya, Chintya selalu berbicara apa saja.
“Lo marah soal tadi siang?” tanyaku tak dapat menahan rasa penasaran.
“Enggak. Aku enggak marah.”
“Tumben diam aja.”
“Ngantuk.”
“Jam segini? Baru juga jam setengah delapan malam.”
“Udah ngantuk, mau gimana lagi ini, Kak?” Perempuan itu menguap.
“Tidur aja, tar gue bangunin.”
“Iya. Aku tidur sebentar, ya?”
“Rebahin aja joknya.”
“Iya.”
Setengah jam kemudian, mobil yang kukendarai pun tiba di depan rumah orang tuaku. Aku jarang tinggal di sana setahun belakangan ini. Sejak menggantikan posisi papa sebagai CEO setahun yang lalu, aku lebih sering balik ke apartemen yang sudah aku tinggali sejak pindah kuliah ke Jakarta ini. Di mana dulunya belum ada kedua orang tuaku di sini. Setelah papa membeli rumah di Jakarta ini dan memutuskan untuk menepat di sini, aku lebih sering pulang ke rumah.
Aku menoleh ke sebelah, Chintya masih tertidur. Aku keluar mobil terlebih dahulu untuk membuka pagar rumah guna memasukkan mobil ke dalam garasi.
Ragu, tanganku terulur menepuk pelan bahu perempuan itu. “Chin, bangun! Udah nyampe.”
Chintya menggeliat, lalu dia mengucek matanya. “Udah nyampe aja.”
“Hmm. Yuk turun!”
Sebelumnya, aku sudah mengabari mama jika Chintya malam ini akan menginap di rumah. Dan mama tentu saja senang. Sudah aku bilang, mama itu menyukai sosok Chintya yang katanya calon menantu idaman.
“Nanti mama masak masakan kesukaan Chintya deh!” ujar mama tadi saat aku mengabarinya hendak membawa Chintya ke rumah. “Umm… kamu tumben perhatian sama dia? Udah mulai cinta nih?”
“Bukan perhatian, cuma kasihan aja kalau dia sendiri di rumahnya.”
“Masa?”
“Aku belum bisa jatuh cinta sama dia, Ma.”
“Itu karena kamu enggak berusaha membuka hati, sikap kamu yang selalu dingin nanggepin dia.”
“Udah ah, aku mau lanjut kerja.”
Saat memasuki rumah, dari arah ruang tamu terdengar suara gelak tawa. Setelah mendekat, ternyata ada Nindya di sana bersama Thalita, adikku dan juga mama. Nindya dulunya adalah tetanggaku di Bandung. Makanya, kami bisa bersahabat dekat serta dia dan orang tuanya yang juga dekat dengan keluargaku. Saat sama-sama kuliah ke luar negeri, orang tuanya pindah ke Jakarta.
“Eh, udah datang. Chintya, sini sayang!” Mama memanggil tunanganku itu.
“Siapa ini, Tante?” tanya Nindya dengan kening berkerut.
“Shaka belum kasih tahu kamu?” Mama balik bertanya kepada sahabatku itu.
Nindya menggeleng sembari menatapku penuh tanda tanya.
Aku memang tidak menceritakan apa pun tentang Chintya pada Nindya. Karena menurutku itu bukan lah sesuatu yang penting. Lagi pula, aku tidak tahu ke depannya bagaimana. Akan menikah dengan Chintya sesuai keinginan papa atau tidak. Bisa jadi suatu saat Chintya tiba-tiba membatalkan perjodohan ini, ‘kan?
Mungkin Chintya menyukaiku, terlihat dari tatapan matanya dan bagaimana sikap yang ditunjukkannya padaku. Aku berpura-pura tidak tahu saja, karena aku yang hingga saat ini tidak mempunyai perasaan apa pun terhadapnya.
“Shaka enggak cerita apa-apa.”
“Dia emang nggak suka umbar-umbar cerita juga, ‘kan? Kenalin Nin, Chintya ini tunangannya Shaka sejak 2 tahun yang lalu.” Lalu beralih kepada Chintya. “Ini sahabatnya Arshaka dari kecil, baru balik dari luar negeri, Nindya namanya.”
Nindya dan Chintya pun berjabat tangan.
“Parah enggak cerita-cerita sama gue, Ka. Kaget gue.”
“Bukan hal yang penting,” desisku. “Ma, aku mau mandi dulu. Nanti habis makan malam, balik ke apartemen.”
“Loh, nggak nginep di sini?”
“Enggak dulu, Ma. Aku sekalian nganterin Nindya pulang juga entar. Lo pasti tadi ke sini naik taksi kan, Nin?”
“He-eh tahu aja.”
Aku tahu Nindya ke mana-mana saat ini menggunakan taksi. Dia katanya akan membeli kendaraan saat udah keterima bekerja nanti. Nindya sudah apply ke beberapa perusahaan di sini sejak saat dia di luar negeri. Tadi, dia menghampiriku di kantor setelah interview di sebuah perusahaan swasta.
“Kamu enggak nginep, Nin?”
“Lain kali aja, Tan. Mama hari ini juga sendirian di rumah, papa besok baru balik dari luar kota.”
“Ooh, kirain bakalan nginep. Ya udah, besok main ke sini lagi aja, Kak,” sahut Thalita yang masih dapat kudengar sebelum menaiki tangga menuju kamar.
“Besok mau jalan-jalan keliling Jakarta sama Shaka, udah lama enggak balik ke Indo, udah banyak yang beda.”
“Balik keliling ke sini, nginep. Kangen, pengen cerita-cerita banyak sama Kak Nin.”
Thalita memang dekat dengan Nindya sejak dulu. Nindya sudah menganggap Thalita seperti adik sendiri.
Lima belas menit kemudian, aku turun di saat semuanya sudah duduk mengelilingi meja makan.
Chintya mengambilkanku nasi.
“Lauknya mau apa, Kak? Aku ambilin udang, mau?”
“Shaka itu enggak suka udang,” sahut Nindya.
“Oh iya, aku lupa.” Chintya menepuk jidatnya. “Maaf Kak Shaka, aku lupa kalau kamu enggak makan udang waktu di rumahku.”
Aku berdehem. Aku juga tidak ingat apa mamanya Chintya pernah menyediakan udang waktu aku makan di sana.
“Capcay-nya aja tuh, Ka. Kan favorit elo. Tadi gue sama Thalita yang bikin. Mau?”
“Boleh deh!”
Setelah makan dan istirahat sejenak, aku pun pamit sekalian mengantar Nindya pulang.
“Gue balik,” ucapku menghampiri Chintya yang berdiri tak jauh dari pintu.
“Iya, hati-hati, Kak.”
“Hmm.”
“Besok apa Kak Shaka ke sini?”
“Kenapa emangnya?”
“Cuma nanya aja.” Perempuan itu menyengir. “Kali pengen ketemu aku.”
Satu alisku terangkat. “Nggak tahu, lihat besok.”
Chintya manggut-manggut.
“Besok jalan-jalan berdua aja sama Kak Nindya?”
“Iya, kenapa?”
“Cuma pengen tahu aja. Umm… apa aku boleh ikut? Pengen keluar juga besok tapi malas ambil mobil.”
“Keluar ya keluar aja, entar balik sini lagi. Kan nggak harus sama gue, bisa pakai mobil Thalita atau pulang ke rumah lo dulu ambil mobil.”
“Oke, Kak. Besok aku kabarin Kak Shaka kalau mau keluar.”
“Nggak perlu, nggak penting lo kasih kabar juga. Asal balik sini aja.”
“Ya udah iya, Kak.”
“Ajak Thalita kalau mau keluar besok,” seruku sebelum beranjak pergi.
“Ah, males. Gue lagi pengen di rumah aja besok,” sahut Thalita yang ternyata mendengar ucapanku. “Pergi sendiri aja nggak apa-apa kan, Chin? Gue mager.”
Thalita memang tak dekat dengan Chintya. Kadang, adik perempuanku itu protes jika mama sedang memuji-muji Chintya. Tapi, bagaimana pun aku ingin mereka berdua dekat karena seumuran. Entah pada akhirnya aku dengan Chintya berjodoh atau tidak.
“Nggak apa-apa, Ta. Aku keluar sendiri aja kalau jadi pergi.”
Aku mengedikkan bahuku. Tak apa. Chintya juga sudah pergi terbiasa ke mana-mana sendiri, bukan? Tak ada hal yang harus dikhawatirkan. Jakarta bukan lah tempat baru baginya. Dia lahir dan tumbuh besar di ibukota ini.