Chintya: bab 7

2282 Words
Aku melongo melihat Pak Dewa yang langsung duduk di kursi depanku begitu saja. "Kenapa?" tanyanya dengan kening berkerut. "Di sini kosong, bukan?" Aku menggeleng, lalu mengangguk. Aku mematikan layar ponselku, usai melihat kiriman video dari Rara. Aku heran dengan kedatangan Pak Dewa tiba-tiba di hadapanku. Menurut gosip yang beredar, Pak Dewa itu malas berinteraksi dengan lawan jenis. "Kamu belum jawab pertanyaan saya. Sendirian aja atau lagi nungguin seseorang?" "Sendirian aja." "Bagus kalau gitu." "Hah?” "Maksud saya, bagus lah kalau kursi yang saya tempatin sekarang enggak ada orangnya. Malas lagi saya nyari tempat yang kosong di lantai ini. Di atas mungkin masih ada, tapi saya kurang suka berada di lantai atas sana." "Ooh." "Kamu baru datang atau dari tadi di sini?" "Belum lama, sekitar 10 menit yang lalu." Pak Dewa tampak manggut-manggut. "Kamu Chintya dari bagian finance, 'kan?" Aku mengangguk, ternyata Pak Dewa mengenaliku. Karena di sebagian besar perusahaan ada banyak CEO yang tak mengenal karyawannya, meski kadang pernah meeting dalam satu ruangannya. Aku awalnya berpikir jika Pak Dewa hanya mengenali wajahku saja. "Enggak apa-apa saya di sini, 'kan? Masa iya saya satu meja dengan orang yang enggak dikenal." "I-iya... iya. Enggak apa-apa." Memangnya aku ada hak untuk melarangnya duduk di kursi cafe yang bukan merupakan milikku? Ingin berkata jika ada orang di sana pun tak mungkin, karena aku hanya sendiri dan tak akan ada yang datang menemaniku. Kemudian, aku menunduk—membuka buku menu yang terletak di atas meja. Aku memanggil waitress yang sedang lewat di dekat mejaku hendak memesan makanan. "Saya mau pesan beef steak blackpepper 1, air mineral 1 dan cappucino 1, ya!" ujarku pada waitress tersebut. "Tapi nanti cappucinonya di antar belakangan aja." Berangkat dari rumah orang tua Arshaka tadi, aku belum makan siang. Walau Tante Tina sebelum pergi mengingatkanku untuk makan dulu, aku memilih untuk makan di luar saja dari pada berduaan dengan Thalita di meja makan. Aku menjaga mood perempuan itu yang terlihat kurang menyukaiku. "Kalau Masnya, mau pesan apa?" tanya waitress itu kepada Pak Dewa. "Samain aja kayak dia, Mbak." Aku sontak menoleh ke arah lelaki itu. "Saya sering ke sini. Maruya Cafe ini adalah tempat favorit saya. Dan yang kamu pesan barusan adalah makanan favorit di tempat ini. Kamu udah pernah makan di sini sebelumnya?" Aku menggeleng. Aku memang baru pertama kali datang ke sini, itu juga karena diberitahu oleh Rara jika ada cafe bagus dan makanannya cukup enak. "Recommended, sih. Enak." "Oh, oke." Aku sibuk dengan ponselku setelah waitress berlalu. Canggung juga dengan keberadaan Pak Dewa di sini. Apa yang mesti aku bicarakan? Tiba-tiba mengakrabkan diri? Mana bisa. Aku takut kalau ada salah bicara, bisa-bisa nanti aku dipecat. Makanya, aku memilih untuk diam saja dengan scroll layar ponsel di tanganku. Pikiranku kembali mengingat tentang video yang Rara kirim tadi. Jemari tanganku bergulir menuju akun media sosial milik Nindya, akunnya yang belakangan ini sering aku kunjungi setelah melihat posting-an dan story perempuan itu dengan Arshaka. Akun perempuan itu ramai, dia tak akan sadar jika aku mengintip story-nya. Lagi pula, dia mungkin tidak mengenali akunku. Dan lagi, aku terkekeh miris di dalam hati melihat bagaimana Arshaka yang berada di dalam story Nindya. Berarti, dia sama sekali tidak keberatan dengan Nindya yang mengambil video dirinya. Aku menghela napas, keluar dari aplikasi media sosial itu dan meletakkan ponselku di dalam tas. "Kamu suka datang ke cafe seperti sekarang ini?" Pak Dewa kembali bersuara sesaat setelah aku menaruh ponselku di dalam tas. "Kadang-kadang aja, enggak begitu sering." "Sendirian?" "Kadang sama Rara, kadang sendiri. Bapak tahu Rara, 'kan?" "Siapa itu Rara?" Aku mengernyit. Ternyata Pak Dewa tidak mengenal Rara. "Karyawan Bapak juga yang sama-sama dari divisi finance sama saya." "Yang rambut pendek sebahu sering sama kamu itu, bukan?" "Iya, yang itu." Pak Dewa terus mengajakku berbicara. Aku tak menyangka jika lelaki itu banyak bicara, tidak seperti gosip yang tersebar di kantor. Dan dia juga... humoris? "Menyebalkan sekali teman-teman saya itu," ujar Pak Dewa setelah bercerita bahwa teman-temannya batal datang ke sini, di saat mobilnya baru saja terhenti di depan cafe. "Mau balik lagi pulang, tapi saya lapar. Ya terpaksa isi perut dulu aja, dari pada nanti tambah emosi." "Kelaparan terkadang emang bisa bikin emosi," sahutku menimpali. "Betul. Untung saya lihat kamu, jadi setidaknya ada yang dikenal di sini. Saya pikir akan punya teman ngobrol dari pada sendirian. Kalau sendiri, bisa-bisa saya makan juga nanti sama piring-piringnya semua, lapar campur kesal ingat teman-teman lakhnat. Batalin seenaknya, mana alasan mereka semua enggak jelas." "Sabar ya, Pak. Orang sabar disayang pacar katanya." "Tapi saya enggak punya pacar, gimana dong?" "Disayang Tuhan kalau gitu." "Kalau itu udah pasti. Emm, kalau kamu... punya pacar nggak? Ngeri juga nanti kalau tiba-tiba pacar kamu datang dan mikir yang enggak-enggak ngeliat kamu duduk berdua sama saya saat ini." "Saya... kebetulan saya udah tunangan." "Udah tunangan?" Aku mengangguk. "Duh, saya pindah aja kalau gitu. Cari tempat lain, takut nanti tunangan kamu datang." "Di sini aja, enggak apa-apa." Aku tersenyum. "Dia enggak akan datang." Karena dia sedang pergi bersama sahabatnya. "Lagi sibuk?" "Iya, dia selalu sibuk," ujarku terkekeh. Pak Dewa tak lama di sana, dia langsung pergi setelah menghabisi makanannya. Sedangkan aku tetap di sana hingga maghrib. Dari pada ke malla, aku merasa lebih tenang ke tempat seperti itu. Usai dari sana, aku menuju cafe yang beberapa kali kudatangi bersama Rara. Pada saat weekend, di sana ada live musik. Setidaknya, aku akan merasa lebih baik jika mendengarkan musik dinyanyikan secara langsung. Aku baru saja saja memesan cemilan dan saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas, ada telepon dari Arshaka. Lelaki bertanya di mana keberadaanku sekarang. Aku otomatis menjauhkan ponselku ketika melihat sosok Pak Dewa yang menyapa dan lelaki itu berhenti di dekat mejaku persis. Jangan sampai Arshaka berpikiran yang macam-macam padaku, ya... walau bagaimana pun, status kami berdua saat ini bertunangan. Dan aku tidak ingin mengecewakan orang tuanya, terutama Om Ferdy. "He-eh, Pak Dewa bisa aja." "Sendirian lagi? Tunangan kamu enggak nyusul?" "Saya lebih senang sendiri atau sama teman datang ke tempat begini, Pak." "Ooh." Pak Dewa kemudian pamit karena katanya ada temannya menunggu di lantai atas. Lalu, aku kembali pada pembicaraan dengan Arshaka di telepon. Ternyata, dia mendengar aku yang berbicara dengan seorang lelaki. Arshaka cemburu? Mana ada. Namun, lelaki itu katanya akan menyusulku ke sini karena permintaan mamanya. Aku berkata jika akan pulang sebentar lagi jam 9 malam, akan tetapi lelaki itu tetap memintaku untuk menunggu. Katanya sedang bete, sekalian ingin menonton live musik juga. Kenapa dia bete? Bukan kah seharian ini dia habis menemani sahabatnya jalan-jalan? Ah, aku tahu, mungkin dia bete karena dipinta oleh mamanya untuk menemaniku. Arshaka datang pada pukul 20:45. Aku pikir, dia tidak akan datang tadinya. "Tadi lo bukannya ngobrol sama bos lo. Mana dia?" tanya Arshaka ketika baru saja tiba dan duduk di kursi depanku. "Udah pulang barusan." Pak Dewa memang sudah pulang beberapa menit yang lalu bersama 2 orang temannya yang berjenis kelamin sama. Dia menyapaku dan pamit untuk pulang duluan. "Ooh. Karena tahu gue bakalan datang, jadi dia pergi?" Aku menggeleng cepat. "Apa hubungannya?" "Kali kalian diam-diam menjalin hubungan di belakang gue." “Kak Shaka pasti tahu gimana perasaan aku sesungguhnya sama Kak Shaka.” Lelaki itu berdehem. “Tutup jam berapa cafe ini?” “Hari biasa jam 10, kalau weekend jam 11.” “Lo sering ke sini?” “Enggak sering juga, sesekali doang.” “Sendiri?” “Kadang sendiri, kadang sama Rara, teman kantorku.” Aku menatap lelaki itu yang sekarang sedang melihat-lihat buku menu di depannya. “Kak Shaka seharusnya tadi nggak perlu ke sini. Enggak usah iyain permintaan Tante Tina. Toh aku enggak bakalan pulang malam juga.” Arshaka berhenti membolak-balikkan buku menu dan menatap lurus kepadaku. “Harusnya gitu! Lo itu nyusahin, tahu nggak? Kalau gue enggak ikutin kata mama, yang ada gue bakalan diomelin panjang lebar.” Arshaka menutup buku menu dan bangkit berdiri. “Tolong pesanin gue kopi, apa aja. Gue mau ke toilet.” “Oke, Kak.” Mataku menyipit melihat Pak Dewa yang kembali memasuki cafe sesaat kemudian. “Balik lagi, Pak?” “Iya nih, barusan saya ketinggalan dompet. Ini mau tanyain sama karyawannya.” Lelaki itu berlalu ke arah kasir. Tak lama, dia berjalan lagi ke arah luar yang otomatis melewati mejaku. “Gimana, Pak? Ketemu?” “Ketemu. Syukur lah masih belum ada yang duduk di sana lagi kayaknya tadi.” “Alhamdulillah.” “Ya udah, saya balik dulu, ya? Kamu masih lama di sini?” “Sebentar lagi pulang kayaknya.” Aku tak terpikir untuk lama-lama di sini, apa lagi dengan Arshaka yang aku tahu tidak akan betah berlama-lama berada di dekatku. “Ngobrol sama siapa barusan?” Aku terkejut dengan Arshaka yang tiba-tiba sudah berada di dekatku. “Itu… atasan aku.” “Lah, kata kamu udah pulang dianya?” “Iya. Barusan balik, dompetnya ketinggalan.” Arshaka menatapku dengan mata menyipit. ”Enggak usah mikir yang aneh-aneh. Hanya kenal sekedar bosa dan karyawan aja.” *** Aku dan Arshaka keluar dari cafe pukul 21:30. Kata Arshaka, membosankan berada di tempat ini. Live musiknya tidak seru. “Lo ikut bareng mobil gue aja. Mang Edi sebentar lagi datang, dia yang bawa mobil lo nanti.” Mang Edi yang Arshaka maksud adalah sopirnya Om Ferdy. “Kak Shaka balik lagi ke apartemen entar?” “Lo maunya gimana?” Aku mengedikkan bahuku. “Terserah Kak Shaka aja.” “Gue nginep di rumah mama malam ini. Capek, mau tidur.” Dalam perjalanan pulang ke rumah orang tua Arshaka, kami hanya diam. Mobilnya Arshaka melaju dengan kecepatan sedang. Saat sudah hampir tiba di dekat rumah orang tuanya, Arshaka baru mengajakku berbicara. “Bos lo yang tadi itu, gimana? Mencurigakan kayaknya.” Aku menoleh seketika. “Mencurigakan gimana? Ehemmm… tanya-tanya, jangan bilang kalau Kak Shaka itu cemburu?” “Udah gue bilang tadi juga. Ya kali gue cemburu. Gue cuma nanya doang!” “Ngapain tanya-tanya begitu?” “Gue mau ingetin lo aja, hati-hati. Kelihatan dari tampangnya playboy gitu. Tahu dirinya ganteng dan kaya raya.” “Tapi dia masih single tuh! Dia malah terkenal dingin dan enggak banyak bicara sama lawan jenis. Tampang playboy dari mana coba?” “Yang terlihat kalem, baik-baik aja, belum tentu sebenarnya seperti itu. Bisa jadi malah sebaliknya.” “Kalau Kak Shaka sendiri gimana? Kelihatan dingin dan cuek banget sama aku, aslinya gimana? Memang gitu aslinya atau beda lagi kalau di belakangku?” “Lo nggak tahu apa-apa tentang gue.” “Justru itu, aku mau tahu! Makanya, aku nanya.” “Lo nggak perlu tahu apa pun tentang gue.” “Kenapa?” Aku tertawa sumbang. “Aku tunangan Kak Shaka, kenapa aku nggak perlu tahu apa pun tentang kamu?” “Tunangan hanya sebatas status aja.” Aku memejamkan mata sejenak, sebelum kembali melanjutkan ucapanku. “Apa Kak Shaka sama sekali nggak memiliki rasa terhadapku? Sedikit aja?” “Udah sampe. Lo turun duluan! Gue mau nungguin Mang Edi dulu.” Arshaka tak menjawab pertanyaanku. “Langsung masuk aja ke dalam rumah, Non. Pintu utamanya enggak dikunci sama si Mbak barusan karena Mas Arshaka tadi hubungi saya,” ujar satpam di rumah orang tua Arshaka. Aku mengangguk sembari tersenyum. Aku masuk dan berjalan ke arah kamar tamu yang letaknya tak jauh dari ruang keluarga. "Chintya mungkin merasa dia harus balas budi sama keluarga kita, tapi Papa benar-benar enggak memanfaatkan itu. Papa hanya ingin Chintya jadi menantu kita, karena dia memang pantas. Chintya adalah anak yang baik.” Aku terdiam, menghentikan langkahku mendengar pembicaraan orang tua Arshaka di ruang keluarga dengan cahaya lampu yang minim. Ruangan itu terletak di jalan menuju ke dapur, jadi sepertinya orang tua Arshaka tak mendengar suara mobilnya Arshaka tiba. Aku berdiri di balik tembok menguping pembicaraan mereka. "Papa udah anggap Chintya kayak anak kandung sendiri, Ma. Pengen dia benar-benar menjadi bagian dari keluarga kita sesungguhnya. Kalau biarin dia sama yang lain, belum tahu nantinya dia bisa berada di dekat kita. Papa udah berjanji sama diri sendiri dulu, akan melakukan apa pun untuk Suryo dan keluarganya. Suryo sudah sembuh, tapi fisiknya saat ini udah enggak sekuat dulu. Istrinya juga, mulai sering sakit belakangan. Siapa lagi yang akan jagain Chintya kalau bukan kita? Kerabatnya yang diam aja di saat Suryo psekarat waktu itu???" Air mataku menetes begitu saja mendengar ucapan Om Ferdy. Segitu perhatiannya beliau terhadap keluargaku yang sama sekali tak ada hubungan darah dengannya. Mamaku memang belakangan ini sering sakit. Sudah diperiksa, mama bilang dokternya berkata tidak ada penyakit yang membahayakan. Entah kenapa, aku curiga jika mama menyembunyikan sesuatu di belakangku. Segala hal yang telah dilakukan Om Ferdya, itu lah yang membuatku tak bisa melupakan jasanya terhadap jasaku. Aku masih ingat persis betapa abainya kerabatku ketika papa sakit parah, bahkan aku sampai memohon kepada salah satu kakaknya papa yang cukup sukses, akan tetapi dia sama sekali tak menggubris. Hanya Om Ferdy lah mengulurkan tangan pada papa. “Cuma Chintya yang pantas untuk anak kita, Arshaka,” lanjut Om Ferdy lagi. “Shaka itu bodohh! Ingat dia salah memilih yang berujung ditinggalkan juga oleh orang yang dicintainya itu? Papa cuma pengen kasih yang terbaik buat anak kita, apa itu salah?” Aku dilema dengan posisiku saat ini. Aku mencintai Arshaka, namun terkadang merasa lelah menghadapi sikap lelaki itu. Hanya saja, aku ingat lagi bagaimana orang tuanya yang begitu baik terhadapku. Aku tahu Om Ferdy tak memintaku untuk membalas jasanya. Tapi, mendengarnya yang ingin sekali aku bersama anaknya, rasanya aku tidak sanggup untuk menolak. “Orang tua gue begitu memuja lo.” Aku menoleh dan mendapati Arshaka yang berdiri di belakangku dengan kedua matanya menatapku tajam. Aku bisa melihatnya walau dalam cahaya yang minim. Arshaka mendorong bahuku hingga punggungku tersandar pada dinding. Dia mengukung tubuhku dengan kedua tangannya yang bertumpu di dinding. “Apa menariknya lo bagi mereka, hah?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD