Perkenalannya dengan Liam membuat Reno merasa ada hal yang menarik. Ada rasa tertarik dalam dirinya bukan tertarik dalam artian intim atau mesra layaknya pasangan, tapi lebih ke perasaan penasaran dan ingin tahu lebih banyak misteri yang dia miliki.
“Kayanya kamu kepo banget sama yang namanya Liam?” tanya Yaseer melanjutkan percakapan mereka yang tertunda. Reno hanya mengangkat bahunya dan tersenyum.
“Cuma penasaran aja sama siapa wanita yang dia cintai, sampai rela mengorbankan kesehatannya,” ujar Reno membuat Yaseer menggeleng.
Sahabatnya ini paham seberapa banyak dia akan menggali soal jati diri seseorang jika rasa penasrannya sudah muncul. Banyak atau sedikit Reno akan mencarinya sampai dia merasa cukup atau puas.
“Terus kamu mau ganti orientasi setelah putus asa ga menemukan Gladis,” sindir Yaseer membuat Reno langsung menyemburkan kopinya.
“Jorok, sumpah,” bentak Yaseer yang kaget dengan perlakuan Reno.
“Sorry Bro, lagi ngomong ga kira-kira, gimanapun juga lebih enak lubang daripada main pedang-pedangan,” balas Reno yang akhirnya membuat keduanya terbahak.
Setelah dari kafe itu mereka mulai berjalan ke perpustakaan kota untuk mencari data diri mahasiswa yang memang sudah tercatat di sana. Reno juga mulai meminta Loka untuk menyelidiki seluruh kampus yang ada di kota ini dan mencari nama Gladis di sana.
Hampir empat hari mereka mencari tapi tak menemukan titik terang yang berarti. Hingga di suatu malam, tepatnya hari kelima Reno ada di sana dia mulai berdiskusi dengan Yaseer mengenai pilihannya untuk mencari gerilya di tiap kampus.
“Yas, menurutmu aku bakal gila ga kalo semisal aku ngobok-ngobok tiap kampus yang punya jurusan desain interior buat tongkrongin si Gladis,” curhat Reno karena merasa sudah putus asa dengan menunggu di sini tanpa tindakan apa-apa.
Yaseer yang mendengar ucapan temannya yang lumayan gila menurutnya itu hanya bisa diam sambil menegak bir yang ada di tangannya. Lalu dia mengambil lagi satu kaleng bir dan menyodorkannya kepada Reno.
Reno tanpa basa basi mengambil bir itu dan langsung meminumnya setelah membuka penutup kalengnya. “Gimana menurutmu?” tanya Reno lagi.
Kali ini dia merasa butuh motivasi karena jujur saja dia sudah kehilangan rasa kepercayaan dirinya yang meyakini bisa menemukan Gladis dengan mudah tapi nyatanya sampai lima hari dia masih belum menemukan titik terang.
“Yakin?” tanya Yaseer dan Reno menggeleng. Yaseer langsung terbahak membuat Reno langsung memukul kepala Yaseer.
“Sakit coy, gila lu, gimana kalo aku gegar otak,” keluh Yaseer. Reno langsung mendengkus, “Mana ada, kalo aku mukul pake tongkat baseball atau bola bowling tuh baru gegar otak,” jelas Reno membuat Yaseer manyun maksimal.
“Kamu pikir pake otakmu yang sekarang macet itu, ada sekitar 20an universitas di sini, itu juga bisa kurang bisa lebih, terus kamu mau tongkrongin tiap hari satu kampus gitu?” jawab Yaseer membuka logika Reno.
“Itu juga belum kemungkinan dia ada jadwal kuliah apa enggak, kalo ga ada jadwal bisa saja kan dia pengen shopping, maen sama temennya tapi di waktu yang sama kamu bakal datang ke kampusnya. Gimana tahunya kamu kalo dia mau ada di sana apa enggk,” jelas Yaseer panjang kali lebar.
Reno nampak berpikir dengan logika yang disampaikan oleh Yaseer dan dia merasa ada benarnya juga yang dikatakannya. Reno meletakkan bir di tangannya dan mulai menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Terus aku mesti gimana buat ketemu sama Gladis,” ucap Reno dengan nada putus asa. “Apa iya aku mesti bikin pengumuman seantero Jerman seolah-olah dia kaya orang hilang gitu,” gerutu Reno.
Gantian Yaseer yang memukul kepala Reno, sahabatnya itu langsung mendelik dan sebelum dia mengucapkan sepatah kata Yaseer langsung memotongnya.
“Tahu kan lu rasanya ga enak kalo dipukul di kepala,” balas Yaseer dan akhirnya Reno Cuma bisa nyengir aja. “Kalo urat malu keluarga Abrisam siap hilang sih gapapa kamu bikin pengumuman seantero Jerman. Inget yes, kamu itu pewaris utama Abra Group, jadi pasti semua orang bakal menyoroti tindakan kamu,” Yaseer mengingatkan apa yang sebenarnya Reno lupakan.
“Setahuku hanya ada enam atau tujuh universitas yang punya jurusan desain interior di sini,” ungkap Reno mendadak dia mengingat satu celah untuk menemukan Gladis.
“So,” balas Yaseer masih ga yakin ide temannya ini efektif dan masuk akal.
“Jadi aku perlu mengamati kampus tersebut dan kalau perlu aku cek jadwal kuliah mahasiswa baru di sana, jadi ga bakal makan waktu lama kan?” kata Reno yang merasa idenya kali ini brilian.
“Kemungkinannya emang ada sih, tapi kamu mesti perlu effort banget dan aku yakin itu ga bakal sebentar,” jelas Yaseer menjabarkan kemungkinan yang bakal diterima oleh Reno.
Dan akhirnya keesokan harinya Reno mencoba cara tersebut dan berusaha sekali mencari tahu jadwal kuliah jurusan desain interior demi terlaksanya rencananya.
Hampir empat kampus sudah dia cek dalam dua minggu ini tapi tidak menemukan petunjuk satu pun soal keberadaan Gladis. Dan kini dia duduk santai di salah satu taman yang berada di area pemukiman modern di sana.
Reno menatap lurus ke apartemen dan banyaknya bangunan yang ada di depannya. Dia nampak memikirkan sesuatu dan tak lama kemudian dia menggumamkannya.
“Apa iya Gladis harus tinggal di apartemen mewah itu? Tapi itu bisa jadi kan Om Bagas juga punya banyak duit,” monolog Reno.
Dan tanpa Reno sadari, ada seorang wanita yang duduk di sana sambil menelpon. Wanita itu juga tak sadar jika Reno bisa berbahasa Indonesia seperti dirinya. Karena memang jika dilihat sekilas wajah Reno tidak asli wajah Indonesia, dia memiliki wajah Asia-Eropa. Ini dikarenakan alis dan rambut hitamnya yang tebal membuatnya tak terlihat seperti orang Eropa.
“Ini anak kemana sih, kok ditelpon ga diangkat, kan keburu jamuran nunggu di sini,” keluh wanita disampingnya yang membuat Reno menoleh.
“Indonesian?” tanya Reno membuat wanita itu ikut menoleh. Dan tidak bisa dibantah wanita itu terkesima dengan penampilan Reno. Wanita bodoh saja yang tidak terpesona dengan penampilan Reno.
Kaus warna abu muda lengan panjang, vest warna coklat mua bercorak putih. Sepatu boots hitam, celana jeans dan coat warna navy senada dengan celananya.
“Hello Miss,” Reno menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah wanita itu membuat wanita itu kaget. “Eh, maaf, maaf, bukan itu maksudnya,” kata wanita itu dengan wajah sedikit malu.
Reno tersenyum melihat tingkah wanita itu dan entah pikiran darimana dia mendadak ingin menggali lebih dalam soal wanita ini dengan jiwa keponya yang meronta-ronta.
“Asli Indonesia?” tanya Reno lagi dan wanita itu mengangguk. “Kuliah jurusan apa?” kembali Reno menguasai percakapan.
“Desain interior di sana,” tunjuk wanita itu dan Reno mengikuti arah pandangnya. Reno sempat mengerutkan dahi karena kampus yang ada di dekatnya itu tidak masuk dalam daftar list yang harus dia kunjungi.
“Di kampus itu ada desain interiornya?” tanya Reno polos dan wanita itu tersenyum memuat Reno juga betah memandangnya.
“Ada dunk, la aku ini buktinya,” ungkapnya. “Di sana malah bagus desain interiornya yang diajarkaan juga aplikatif tidak melulu teori,” lanjut wanita itu.
Entah ini yang namanya kebetulan atau memang sudah taakddir yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Reno seakan mendapat keyakinan jika wanita ini bisa menolongnya menemukan Gladis.
*****
Reno bakal minta tolong apa nih??
Lanjoet...
Stay Tune...