P.14 New Man

1090 Words
Gladis tak bisa berbohong dan kaget mendengar nama panggilan itu. Dia ingat betul siapa yang memanggilnya begitu dan pantas saja dia merasa pria itu familiar. “My God, astaga, pertanda apakah ini,” komentar Gladis begitu dia mendengar ucapan pria itu dan tak menyangka pria itu langsung tertawa. “Kamu memang gadis yang menjengkelkan sekaligus gadis yang lucu,” kata pria itu yang masih saja belum Gladis ketahui namanya. Pria itu menyodorkan tangannya, Gladis memandangnya bingung. “Ngapain?” ketus Gladis. Pria itu tersenyum penuh arti. “Ya ampun kamu ini selain menjengkelkan, lucu, galak juga ya jadi perempuan,” ledek pria itu dengan tangan yang masih menggantung menunggu Gladis terima. “Sindir terus, dasar Pria Menyebalkan,” ucap Gladis langsung pergi dari sana meninggalkan pria itu dengan tangan menggantung. Pria itu tertawa dan berteriak di koridor itu membuat Gladis malu. “Kamu membuatku semakin penasaran Gadis Menjengkelkan dan Lucu,” teriak pria itu yang membuat Gladis berhenti dan menoleh. “Tutup mulutmu, dasar memalukan!” seru Gladis dan pria itu tanpa dosa melambaikan tangan tanda ciuman jauh membuat Gladis langsung pergi dari sana dengan buru-buru. “Langkah yang bagus My Lady, setidaknya kamu sudah mau melihatku meski dengan perasaan jengkel, tapi tunggu saja aku bisa pastikan akan meluluhkan hatimu nantinya,” gumam pria itu dengan senyum ceria. Setelah membayar semua belanjaannya di kasir dia langsung buru-buru keluar dari minimarket itu dan kembali ke apartemennya segera. Seakan-akan dia dibuntuti oleh seseorang dia celingukan dan melangkah dengan cepat. Dia langsung duduk bersandar di kursi pantrynya sambil meminum air dari kulkas. “Astaga aku mimpi apa semalam bisa bertemu dengan pria itu lagi, aku kira drama di bandara bakal tamat di sana doank,” gumam Gladis kesal tapi kemudian dia menyadari satu hal. “Ya ampun Gladis, kamu kemana aja sih, dia aja satu pesawat sama kamu, jelas banget lah kalo dia di kota yang sama denganmu. Dan dia ada di minimarket sini, itu artinya dia tinggal dekat sini,” kata Gladis tepok jidat. Wanita itu langsung menumpukkan kepalanya di meja pantry. “Lepas dari Reno malah ketemu orang yang lebih menyebalkan dari Reno,” keluhnya lirih. Tapi kemudian dia mengangkat kepalanya, “Eh, kenapa aku jadi berpikir kalo pria itu pengganti Reno sih, iya kalo iya kalo bukan, pede banget sih Dis,” gerutu Gladis sekaligus bingung juga kenapa dia harus berpikiran sampai ke sana. Gladis menengok belanjaannya yang masih tergeletak di sana dan akhirnya dia bangkit dan mulai merapikan belanjaannya di kulkas dan juga lemari penyimpanannya. Dia bersantai di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi mencari acara apa yang menarik. Di tangannya sudah ada keripik kentang yang dia beli tadi di minimarket dan minuman dingin. “Kayanya aku bener-bener harus punya banyak temen nih di sini biar ga kesepian kaya gini, kalo pas ga ada kegiatan,” gumam Gladis dan mulai browsing di ponselnya. “Ehh, bener juga kok aku baru sadar, harusnya aku gabung sama komunitas Indonesia yang ada di sini ya buat temen setanah air,” kekeh Gladis yang menyadari kelambatan pikirannya. “Kadang-kadang patah hati bikin otak jadi lemot juga buat mikir,” tawa Gladis seorang diri dan dia berbaring di sofa hingga tak terasa di jatuh terlelap. Sore harinya dia berencana jalan-jalan sore ke pussat perbelanjaan untuk membeli ponsel baru dan nomor baru. Tekadnya untuk meninggalkan semua yang berhubungan dengan Reno sudah bulat yang artinya dia harus mengganti nomornya sebelum dia makin bimbang soal ini. Setelah beres bersiap hampir satu jam akhirnya Gladis sudah siap pergi mengenakan long sweater warna lilac, longboots hitam dengan celana abu muda. Tak lupa dia membawa mantel hangat untuk melindunginya dari cuaca dingin. “Oke sudah 17°C siap-siap aja ntar malem bisa tambah dingin,” ucap Gladis sambil menggosok-gosokkan tangannya untuk mendapatkan rasa hangat. Dia turun dan memutuskan untuk menaiki transportasi umum menuju ke pusat perbelanjaan. Dia menaiki bus di halte dekat apartemennya. Sebenarnya lokasinya tidak terlalu jauh, tidak sampai dua kilometer, tapi berjalan di cuaca seperti ini mendadak membuatnya malas dan memutuskan untuk menaiki bus. Tak sampai tiga puluh menit waktu yang dia butuhkan untuk menunggu dan sampai di pusat perbelanjaan tersebut. Dia mengembangkan senyumnya menikmati semua yang dia lakukan di sini. “Coba di Indonesia kaya gini ya, suasana rapi, teratur, dan semua orang bisa diajak maju kaya gini, mesti ga ada tuh kejadian aneh-aneh dan macem-macem kaya sekarang,” Gladis berandai-andai sambil tersenyum. “Heemmm,tapi bagaimapun Indonesia tetap yang terbaik karena aku menemukaan hal yang paling menyenangkan dan meyakitkan di sana,” monolog Gladis yang kemudian dia sudah masuk ke pusat perbelanjaan di sana. Sebenarnya Gladis sendiri sudah sering jalan-jalan keluar negeri termasuk Eropa, tapi entah kenapa pada waktu itu dia tidak pernah mau jika diajak ke Jerman. Sedangkan Jerman sendiri bisa dikatakan negara penghubung di benua Eropa karena negara ini banyak berbatasan dengan negara-negara Eropa lainnya. Dia langsung menuju ke lantai tempat penjualan ponsel, dia memilih satu ponsel dan satu nomor yang dianggap unik olehnya untuk digunakan di sini. Setelah membeli ponsel dia ingin ke food court untuk makan sesuatu. Karena memang pada dasarnya Gladis tak terlalu suka belanja jadi meskipun dia melewati banyak butik mewah, bagus dan berkualitas yang menjual banyak pakaian dan sepatu, dia sama sekali tidak tertarik untuk mampir apalagi kalap berbelanja. Kini dia sudah duduk di food court dan memesan makanan, sambil menikmati makanannya dia berencana untuk memindahkan beberapa data yang tak bisa dipindah otomatis ke ponsel barunya. Dan dia menghentikan gerakannya saat kembali membuka aplikasi pesan. Dia masih ingat jelas siapa yang mengirimkannya dan apa isinya. “Apa benar dia masih merindukanku dan mencariku?” desah Gladis dengan buncahan perasaan dalam hatinya. Dia ingin menghapus pesan itu tapi tangannya bergetar ketika akan melakukannya.  Akhirnya dia mengurungkan niatnya, “Baiklah aku sudah berjanji untuk melupakanmu dan mari kita lakukan itu dengan caraku, Okay,” ucap Gladis lalu mematikan ponselnya lagi tanpa ragu. Dia menghabiskan makannya dengan segera dan berniat kembali ke apartemennya. Rasanya bergelung di kasur lebih enak daripada duduk sendiri di suasana ramai seperti ini. Sembari menunggu bus yang akan membawanya ke apartemen, dia mengotak-atik ponsel barunya dan dia mulai berpikir untuk mencari teman baru di sini. Melanjutkan kegiatan browsingnya yang sempat tertunda karena ketiduran mengenai komunitas Indonesia, akhirnya dia menemukan satu nama yang bertugas sebagai pic untuk pendaftaran di komunitas Indonesia. “Liam Putra Arkanta, namanya bagus juga, mudah-mudahan orangnya juga baik kaya namanya,” kekeh Gladis dan mulai mengirim pesan kepada pic tersebut. Gladis [Selamat siang, maaf mengganggu, perkenalkan saya Gladis dari Indonesia.] Pesan terkirim. ***** Babak baru dimulai ini, apaan tuh?? Siap-siap aja, aku mau bikin drama,,wekekeke
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD