Hampir sepuluh menit Gladis menunggu tidak ada balasan dari orang tersebut, Gladis gatal ingin menelpon tapi kemudian dibatalkannya. Sampai bus yang dia tunggu datang dan dia telah tiba di apartemennya. Dan ketika dia merebahkan tubuhnya di sofa mendadak dia menyadari sesuatu.
“Ooohh, ya ampun jangan-jangan dia mengira aku cewek ga bener kali ya tiba-tiba memperkenalkan diri, kayanya harus ditambahi tujuannya ini,” gumam Gladis.
Gladis [Saya mahasiswa yang kuliah di Jerman dan ingin bergabung di komunitas Indonesia yang ada di sini. Dari info yang saya dapatkan saya harus menghubungi Anda.]
Gladis tersenyum melihat pesannya terkirim sambil berharap dalam hati si empunya yang punya nama bisa segera membalas dan menemuinya.
Dan benar saja tak lama kemudian, ada pesan masuk di ponselnya. Gladis langsung tersenyum melihat nama orang yang muncul di sana.
Liam [Hai Gladis, salam kenal, aku Liam. Boleh aja kok gabung disini, kami terbuka untuk mahasiswa Indonesia yang memang kuliah di sini.]
Gladis langsung memancarkan raut gembira mengetahui hal itu. Dia merasa perlahan dia akan benar-benar memiliki kehidupan baru dan bisa melupakan Reno sesuai dengan keinginannya.
Gladis [Ada syaratnya ga?]
Liam [Tidak ada syarat khusu yang penting identitas lengkap, karena data itu kita gunakan untuk data keanggotaan.]
Gladis [Lalu, soal kegiatan di komunitas gimana?]
Liam [Kalau boleh tahu kuliah di jurusan apa? Magister atau Bachelor?]
Gladis [Master Degree Arsitektur Desain Interior.]
Liam [Dan kampusnya?]
Gladis langsung mengetik cepat nama kampus yang akan dijadikan almamater dirinya selama di sini. Liam yang membaca nama kampus itu tersenyum.
“Kenapa ngobrol dengannya membuatku terasa tidak asing ya,” gumam Liam. “Dan sepertinya dia orang yang baik dan menyenangkan,” lanjut Liam kembali fokus pada ponselnya.
Liam [Pilihan yang bagus untuk seorang wanita. Pasti kamu orangnya cerdas dan cekatan. Tinggal di apartemen atau rent house?]
Gladis agak tergelitik membaca balasan Liam tanpa sadar dia mulai tersenyum sendiri membayangkan wajah Liam. “Pinter banget muji cewek, bakat playboy apa emang aslinya baik ini,” gumam Gladis. “Eh, tenang dulu Gladis, Reno kan juga bakat memuji dan tahu sendiri kelakuannya kaya gitu ngeselinnya,” keluh Gladis.
Tapi kemudian dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia membenci dirinya yang masih memikirkan lelaki itu tapi dia yakin sekali jika Reno tak pernah memikirkan dirinya sama sekali.
“Jika dia memikirkanmu dia pasti tahu dimana kamu Gladis, sedangkan dia hanya bisa merayumu dengan kata-kata bukan dengan perbuatan. Kamu butuh bukti, oke bukti bukan janji,” lirih Gladis yang tanpa terasa air matanya kembali menetes.
Dia lupa jika di saat yang sama dia tengah berkirim pesan dengan Liam. Dia langsung meninggalkan ponselnya begitu saja dan berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dan pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Liam yang menunggu balasan Gladis hanya bisa diam dan bolak balik melirik ponselnya. Dia membaca ulang pesan yang dia kirim dan lama berpikir akhirnya dia menyadari satu hal.
“Astaga, apa gegara aku memujinya pintar dan cekatan dia jadi marah kepadaku,” ucap Liam gelisah. Sampai tiga puluh menit dia bolak balik melihat ponselnya dan balasan Gladis tak kunjung datang.
“Kenapa jadi aku yang panik ya kalo dia ga balas, kaya nungguin cewek ngambek aja, apa dia beneran ngambek?” ucap Liam mengacak-acak rambutnya kesal.
Akhirnya dia juga tertidur, sama seperti Gladis yang tertidur setelah dia membersihkan dirinya dan lupa jika ponselnya ada di ruang tengah.
***
Keesokan paginya ketika Gladis bangun, dia menyadari jika ponselnya menghilang entah kemana. Meski dengan enggan akhirnya dia duduk dan mencari ponselnya di sekitar ranjang kamarnya dan seluruh kamar.
“Umur juga belum sampe tiga puluh tahun, tapi kenapa udah pikun aja sih naro barang, coba diingat-ingat Gladis, come on,” gerutu Gladis dengan tangannya masih mengacak-ngacak tempat tidurnya dan mencari-cari di kolong tempat tidur.
Lelah mencari akhirnya dia memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum. Karena sudah di dapur akhirnya dia memutuskan untuk membuatkan sarapan juga. Dia melihat jam dan masih memiliki waktu dua jam sebelum datang ke kampus untuk mengurus registrasi ulang.
Begitu melihat sofanya di ruang tengah mendadak dia ingat kejadian semalam dan langsung menghela napas. Dia berjalan ke sofa dan benar saja menemukan ponselnya di sana.
“Nah, kan makanya kalau lagi galau mesti lupa segalanya sampe ponsel aja lupa kan naruhnya,” omel Gladis kepada dirinya sendiri. Dia membuka layar ponselnya dan melihat banyak pesan yang masuk di ponselnya membuatnya penasaran.
Liam [Hai Gladis, sibuk kah?]
Liam [Apa aku mengatakan hal yang tidak menyenangkan untukmu sampai kamu tidak membalas pesanku?]
Liam [Maaf kalau kata-kataku ada yang menyinggungmu, tapi setidaknya beritahu aku kalau aku memang melakukan kesalahan.]
Liam [Maaf, selamat malam]
Gladis mengerutkan alisnya bingung tapi ada rasa penasaran yang muncul juga di dalam hatinya. Lalu, Gladis mencoba melihat kembali pesan yang sudah dikirimkan dan dia memang baru menyadari jika ada pesan yang belum dibalas sama dia.
“Kenapa dia begitu khawatir kalau aku ga membalas pesannya, kayanya sampai segitunya banget,” gumam Gladis tak mengerti.
Akhirnya dia membawa ponselnya ke dapur dan memutuskan untuk membalas pesan Liam satu per satu agar dia tidak khawatir.
Gladis [Maaf, semalam aku ketiduran dan meninggalkan ponselku begitu saja.]
Gladis mengangguk-angguk dan tersenyum, jawaban yang paling logis meskipun konyol mungkin bagi sebagian orang. “Tapi aku kan memang tidak bohong, aku tidur dan lupa naruh hape,” kekeh Gladis pembelaan diri banget.
Liam yang sedang bersiap untuk ke kampus mendengar bunyi notifikasi di ponselnya dan segera menyambar ponselnya. Tanpa disadari senyumnya mengembang dan dia melihat nama seseorang yang sudah dia nanti sebelumnya.
“Ketiduran dan meninggalkan ponselnya gitu aja? Astaga sesederhana itu dan aku udah panik banget, memang bener-bener gadis unik,” kekeh Liam yang membuatnya langsung mengetikkan balasan.
Liam [Serius cuma karena itu aja, aku udah terlanjur panik,hehehe]
Gladis yang sedang sarapan akhirnya melirik ponselnya dan nama Liam muncul di sana.
Gladis [Emang itu aja, lagipula kenapa harus panik, kan cuma masalah sepele. Sebelumnya aku pergi ke luar jadi mungkin aku kecapekan lalu tertidur dengan mudah.]
Liam [Oke. Senang mendengarnya, bukan karena panik yang gimana sih, cuma ga mau aja cari musuh di sini.]
“Seriusan ini cowok kaya begini modelnya lempeng banget kaya papan penggilasan cucian,” monolog Gladis sambil menggelengkan kepalanya.
Lalu ada email masuk di ponselnya, Gladis ccepat membukanya dan dia bingung membacanya bukan karena dia tidak bisa membaca tapi dia mendadak pikun.
“Sebenarnya aku ke kampus ini hari ini apa besok sih, kok jadi oneng gini akunya,” keluhnya dan mencocokkan semua data yang dia punya.
“Ya ampun kenapa aku masih gagal move on dari tanggal dan waktu Indonesia, jadi yang dimaksud aku pergi ke kampus itu sekarang yes bukan besok,” Gladis langsung cepat berdiri dan bersiap ke kampus.
Saat memasuki kamar mandi dia teringat jika sebelum email masuk itu, ada balasan dari Liam dan sayangnya dia belum membalasnya.
Gladis [Selow aja sih kalo sama aku, ga terlalu ambil pusing urusan orang, apalagi urusan orang yang terlalu ga kita kenal.]
Liam langsung mendelik membacanya, “Ini maksud apa coba, kaya bahasa sopannya dia ga peduli soal diriku karena dia ga kenal sama aku gitu, hemmm.”
*****