Larisa melihat air mata yang keluar dari sudut mata Resty, meski tetap tertutup.
Gadis berambut keriting itu segera berlari ke pos perawat jaga.
“Sus, Kak Resty sudah sadar!” serunya tertahan kepada suster yang berjaga di sana.
Perawat itu mengerutkan dahinya, sejurus kemudian bergegas ke bed yang ditempati Resty. Larisa mengikutinya dengan d**a yang berdegub kencang.
Sesampainya di bed itu, dilihatnya perawat tersebut memeriksa seniornya tersebut. Berharap sekali jika perempuan itu sadar.
Perawat itu menoleh kepadanya dan tersenyum. “Kenapa yakin kalau Nona Resty sadar?” tanyanya.
“Itu, tadi keluar air mata,” jawab Larisa liris.
“Iya, itu reaksi wajar dari pasien yang koma, Mbak,” beritahu perawat tersebut.
Larisa mengerutkan keningnya. Dia tidak terlalu paham maksud ucapan perawat tersebut.
“Maksudnya gimana, Sus?” tanyanya.
Perawat itu mengukir senyumnya. “Orang yang koma itu masih bisa mendengar dan merasakan jika dia diajak berkomunikasi. Mungkin tadi Nona Resty mengeluarkan air mata karena mendengar suara dari mbaknya,” dirinya memberi penjelasan.
“Jadi, Kak Resty belum sadar?” tanyanya dengan penasaran.
Perawat itu menggelengkan kepala seraya menepuk bahunya pelan. “Didoakan terus, ya,” ucapnya sambil dijawab Larisa dengan anggukan kepala.
“Terus diajak ngobrol dan disentuh tangan atau lengannya. Biasanya cukup membantu untuk segera siuman,” saran si perawat. Larisa menganggukkan kepalanya.
Kemudian perawat itu pergi ke meja jaganya, sedang Larisa kembali duduk di samping Resty. Tangannya mengenggam jemari seniornya itu.
“Aku pamit dulu ya, Kak. Kalau diijinkan, nanti ke sini lagi,” kata Larisa, melanjutkan niatnya yang tertunda tadi.
Dielusnya lengan Resty. Setelah itu dia melangkah keluar.
Di bangku ruang tunggu, ada Fira yang ternyata sudah datang. Ibu dari Dewa itu membawakan sarapan untuk Farid.
“Ah Larisa, sini,” panggil Farid, begitu menyadari keberadaan gadis itu.
Larisa pun menghampiri mereka.
“Kenalkan, ini ibunya Dewa, Bu Fira namanya. Bu, ini Larisa, teman kerja anak-anak kita,” kata Farid memperkenalkan mereka berdua.
Larisa langsung mencium tangan Fira. Baik ibunya Dewa maupun Farid tersenyum melihatnya.
“Saya Larisa, Bu,” kata gadis itu memperkenalkan dirinya. Fira tanpa sadar mengelus kepala gadis itu.
“Duduk, Nak,” ajak Farid, kemudian menggeser duduknya supaya gadis itu duduk diantara dirinya dan Fira.
“Sudah sarapan? Yuk sarapan bareng,” ajak Fira, begitu gadis itu duduk.
“Sudah sarapan, Bu. Ini mau ke kantor,” jawab Larisa seraya tersenyum.
Kemudian Larisa duduk menyamping, menghadap ke arah Farid.
“Pak, jika saya ingin menengok Kak Resty lagi. Boleh?” tanya Larisa penuh harap.
Farid menganggukkan kepalanya. “Datanglah di waktu pagi hari seperti ini. Kalau sore, ada Dewa yang datang.”
Larisa menganggukkan kepala, mengerti dengan ucapan Farid.
“Panggil saya om, ya,” tiba-tiba laki-laki separuh baya itu meminta. Entah mengapa, dia merasa dekat dengan gadis mungil berambut keriting itu.
Senyum Larisa pun terukir di bibirnya. “Iya, Om.”
Farid menganggukkan kepalanya.
“Saya pamit dulu, tadi dikasih ijin hanya sampai jam sepuluh,” Larisa pamit kepada keduanya.
“Bareng saya keluar, yuk. Ada yang mau dibeli di mini market depan,” kata Fira kepada Larisa.
“Baik, Bu,” sahut gadis itu.
Larisa menggenggam tangan Farid, kemudian menempelkan punggung tangannya ke pipi miliknya. “Saya pergi dulu, Om,” dia pamit lagi.
“Hati-hati,” ucap Farid.
Larisa mengangguk, kemudian bersama Fira berjalan menjauhi ruang ICU. Sedang Farid memutuskan masuk ke sana untuk menengok Resty.
Di koridor rumah sakit yang menuju jalan keluar, Larisa berjalan berdampingan dengan Fira.
“Larisa, bisa kita lunch bareng? Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu,” tiba-tiba Fira bersuara, ketika mereka sudah sampai lobby.
Gadis itu menghentikan langkahnya, kemudian menatap ibunya Dewa tersebut.
Dia bimbang dan gelisah. Apa ibunya Pak Dewa akan memarahiku? Larisa bertanya-tanya di dalam hati.
“Kota bertemu di dekat kantormu saja, biar tidak lama di jalan,” Fira melanjutkan pembicaraannya.
Larisa masih diam, belum menanggapi. Fira tersenyum melihatnya.
“Saya tidak akan melukaimu,” janji perempuan paruh baya itu seraya memberikan senyuman yang lucu. Larisa tertawa, tidak tahan melihat raut wajah Fira.
“Boleh, Bu. Mau ketemu di mana?” akhirnya gadis itu menyanggupi.
“Di Deliz gimana? Dekat kan?” tanya Fira seraya menyebutkan satu restauran khusus makanan Italia yang memang tidak jauh dari PT Mega Star.
Larisa menganggukkan kepalanya, menyetujui usul Fira.
“Jam berapa waktu makan siangnya?” tanya ibunya Dewa tersebut.
“Jam 12, Bu,” jawab Larisa santun.
“Ya sudah, kita janjian ketemu di sana ya,” putus Fira.
“Iya, Bu,” Larisa pun menyetujuinya.
Fira tersenyum, kemudian menepuk bahu Larisa pelan.
“Manggilnya Tante saja, ya,” pinta Fira, setelah mereka terdiam dan meneruskan langkah mereka menuju mini market yang ada di samping kanan lobby.
Larisa tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya.
“Saya duluan ya, Sa,” kata Fira begitu mereka sampai mini market.
Larisa mengangguk.
“Ke kantornya naik apa, Sa?” tanya Fira.
“Ojol Bu-eh Tante,” jawab Larisa canggung.
Fira tersenyum kemudian menepuk bahu Larisa. “Hari-hati ya,” ujarnya.
Lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum. Mereka pun berpisah. Menyisakan senyum di bibir Fira, sebelum mask ke mini market tersebut.
Tidak sampe 20 menit, Fira keluar dengan membawa beberapa botol air mineral dan berukuran 1,5 liter dan cemilan. Dia bergegas ke ruang ICU.
Di ruang tunggu, dilihatnya Farid sudah duduk di kursi.
“Kog sebentar, Pak Farid?” tanya Fira sambil meletakkan kantong belanjaan ke kursi yang kosong.
“Tadi pasien yang di sebelah ada penanganan, saya jadi nggak nyaman,” jawab Farid. Fira menganggukkan kepala tanda mengerti. Mereka kemudian duduk berdampingan.
“Saya lihat Bu Fira tertarik dengan Larisa,” ucap Farid, kepalanya menoleh ke arah Fira dan menatapnya dengan seksama.
Fira tertawa. “Hanya ingin berkenalan saja. Anak itu manis, tetapi bisa segitu ngototnya mengejar Dewa,” ujarnya.
“Rasanya senang ya Bu, anak kita ada yang memuja,” sergah Farid miris.
Fira tersenyum. Dia paham jika Farid terusik dengan sikapnya. “Mungkin lebih ke rasa penasaran, Pak Farid. Anak semuda itu, cantik, sepertinya pintar, bisa jatuh cinta kepada Dewa yang bahkan sudah menyatakan diri punya kekasih,” katanya merendah.
Dari Dewa, dia tahu siapa Larisa. Setelah Pak Arya datang dan mereka lebih banyak membahas gadis itu, dia pun jadi penasaran.
Flashback On
“De, siapa Larisa?” ketika dia dan Dewa pulang ke rumah, Fira bertanya kepada anaknya.
“Staff junior di tempat kerja Dewa, Ma,” jawab Dewa malas.
“Kenapa dia yang kamu tuduh bikin Resty jatuh dan koma?” dengan rasa penasaran, dia bertanya makin gencar kepada anak satu-satunya.
“Kata anak kantor, sebelum Resty jatuh, mereka ketemuan di tangga darurat,' jawab Dewa.
Dahi Fira berkerut. “Kenapa mereka harus ketemu?” tanyanya yang dibalas dengan gelengan kepala anaknya.
“Nggak mungkin tanpa alasan, kan?” Fira yang masih bertanya.
Dewa menghela nafas. “Larisa suka bikin kesal Resty,” berat Dewa menjawab.
Fira membulatkan bibirnya, mulai sedikit paham. “Kenapa Resty kesal sama Larisa?”
“Dia suka sama Dewa, Ma. Malah pake acara ngejar-ngejar,” akhirnya laki-laki itu menjawab.
Flashback off
“Apakah Bu Fira akan menjodohkan Dewa dengan Larisa?” tanya Farid ingin tahu.
Fira menghela nafasnya setelah menangkap ada nada getir di kalimat tanya dari bibir ayahnya Resty.
“Tidak, Pak. Dewa berhak menikah dengan gadis yang dia pilih,” jawabnya lugas.
Farid ingin bertanya lebih jauh, tetapi ditahannya. Nanti ada waktunya untuk bertanya, bisiknya dari dalam hati.
Sementara, Larisa terlambat ketika masuk kantor. Yang berpapasan dengannya hanya melirik sinis, tetapi tidak ada yang berani mencelanya. Pengumuman tentang status hukum gadis itu sudah disampaikan, mereka pun tidak berani ambil resiko kalau salah bicara.
“Sa, ikut saya,” panggil Reina, begitu gadis itu masuk ruangan timnya.
Tanpa banyak tanya, Larisa mengikuti langkah supervisornya yang menuju ke ruang pertemuan.
“Duduk, Sa,” titah Reina, begitu keduanya sampai.
Gadis dewasa itu menutup pintu, dan duduk di kursi yang berseberangan dengan staff juniornya itu.
“Tadi Pak Arya bilang kalau kamu ke rumah sakit, ya?” tanya Reina.
“Iya, Bu,” jawabnya seraya menganggukkan kepalanya.
“Gimana keadaan Resty?” Reina kembali bertanya.
Larisa menghela nafasnya, wajahnya mendung. “Masih sama,” ucapnya lirih.
Reina pun menghela nafasnya. Dua Minggu berlalu, tetapi rekan kerja mereka belum juga bangun dari koma. Sementara ini, dia dan kepala tim yang lain masih bergantian membackup pekerjaan Resty yang terbengkalai.
Entah sampai kapan Arya mencari sekretaris pengganti sementara sampai Resty sadar. Dewa masih belum bisa diajak bicara dengan profesional.
“Bu, tadi aku kan bilang maaf ke Kak Resty, dan dia ngluarin air mata,” cerita Larisa, dan itu membuat Reina tertarik.
“Oh ya?” Larisa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“Mudah-mudahan itu pertanda baik ya,” harap Reina yang diamini oleh staff juniornya itu.
“Nanti aku mau ijin makan siang di luar ya, Bu. Biar nanti Ibu makan berduaan sama Kak Alex,” Larisa meminta ijin sambil menggoda supervisornya itu.
Reina tertawa. “Mau makan di mana?”
“Deliz,” jawab Larisa singkat.
“Sama siapa?” tanya Reina sambil lalu.
“Ada janji sama orang,” jawab Larisa tanpa mengatakan nama Fira. Dia takut Reina keberatan dan memutuskan ikut.
Larisa percaya, tidak akan terjadi apa-apa dengan Fira.
“Oke, sekarang kembali bekerja,” kata Reina, mengajak kembali ke ruang kerja mereka.
Larisa mengangguk dan tersenyum lega karena Reina tidak bertanya lebih jauh. Kemudian keduanya kembali ke ruangan untuk bekerja.
Tepat pukul 12, Larisa pergi ke Deliz.
“Selamat siang, Tante,” sapa Larisa begitu dia berdiri di hadapan Fira yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Siang, Sa. Ayo duduk,” Fira tersenyum menyambut kedatangan staff anaknya itu.
Keduanya pun duduk, saling bersisian karena mereka duduk di sofa yang berbentuk L.
Mereka berdua pun memilih menu untuk makan siang mereka. Rissoto jadi pilihan keduanya.
“Ladisa, bolehkah Tante tanya sesuatu?” Fira membuka percakapan begitu pelayan berlalu dari meja mereka.
Larisa menatap Fira, menunggu pertanyaan yang akan dilontarkan perempuan dewasa yang masih cantik tersebut kepadanya.
“Benarkah kamu menyukai Dewa?” tanya Fira lembut.
Larisa langsung menundukkan kepalanya. Sekarang rasanya malu untuk mengakui perasaan itu.
“Larisa,” panggil Fira, ketika dirasakannya gadis itu tidak merespon pertanyaannya.
Bahu Larisa bergetar, suara tangisnya lirih terdengar ditelinga Fira. Dia pun bergegas memeluk bahu gadis berambut kriting tersebut. Mengusap punggungnya dengan lembut.
Dibiarkannya Larisa mengeluarkan tangisnya, dia hanya memeluk bahu dan terus mengusap punggung gadis itu dengan perlahan.
“Saya malu kalau ingat itu,” bisik Larisa setelah bisa menguasai dirinya.
“Kenapa?” tanya Fira pelan.
“Karena sikap saya, Kak Resty jadi jatuh begini,” jawab Larisa pelan.
Fira mengerenyitkan dahinya. “Kan kamu terbukti tidak bersalah,” ingatnya.
Larisa menganggukkan kepalanya.
“Tetapi kalau kami tidak bertemu, pasti Kak Resty tidak jatuh,” kata gadis itu.
Fira menghela nafasnya. Dia tahu kalau gadis yang duduk di sebelahnya ini berhati baik. Hanya saja, sifat naifnya membuatnya kadang bersikap egois.
Seperti ketika Larisa merasa jatuh cinta kepada Dewa. Tanpa melihat Resty, dikejarnya laki-laki itu tanpa tahu malu.
“Apa yang membuatmu menyukai Dewa?” tanya Fira.
Larisa menghela nafasnya, kemudian menerawang ke depan. Mencoba mengumpulkan ingatan, mencari alasan kenapa dia suka dengan atasannya itu.
“Yang paling utama sih, karena Pak Dewa cakep,” katanya, pipinya bersemu merah begitu selesai bicara. Fira tertawa pelan.
“Lalu?” tanya Fira lagi.
“Euhm Pak Dewa pintar. Saya suka laki-laki pintar," ucap Larisa. Fira menganggukkan kepalanya. Yang ini dia setuju sekali. Anak satu-satunya itu memang punya otak yang cemerlang. Selalu masuk 3 besar di kelasnya, kuliah pun dengan beasiswa prestasi.
“Ada lagi?” tanyanya ingin tahu.
Kali ini wajah Larisa merona sebelum menjawab. Dia tampak malu. Fira menyadarinya.
“Kenapa wajahmu merah?” tanya perempuan paruh baya tersebut.
“Itu-karena Pak Dewa seksi,” lirih Larisa bicara tetapi masih bisa didengar oleh Fira.
Wanita dewasa itu ternganga mendengarnya. Dia tidak menduga jika alasan yang terakhir itu yang keluar dari bibir seksi gadis berambut keriting tersebut.
“Serius?” Larisa menganggukkan kepalanya ketika Fira bertanya.
“Kenapa kamu bilang kalau Dewa seksi?”
“Itu-.”
Flashback On
Saat itu, Larisa masih jadi pegawai magang di PT Mega Star. Kadangkala dia membantu pekerjaan Resty.
Saat itu kekasih Dewa sedang ke toilet dan menyuruh Larisa yang mengantar kopi yang dipesannya.
Sambil membawa baki, diketuknya ruangan Dewa.
“Masuk, Yang!” seru Dewa yang mengira kalau Resty ada di balik pintu.
Larisa pun masuk begitu ada ijin dari Dewa, dia pun tidak mendengar dengan jelas perkataan atasannya itu.
Dia masuk dan langsung ke meja Dewa untuk meletakkan kopi, sedangkan laki-laki itu keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang d**a.
Larisa ternganga melihatnya. Untung dia sudah meletakkan kopinya, karena bakinya jatuh seketika begitu kedua tangannya mendekap bibirnya.
Ya Ampun seksi! Seru Larisa dalam hati. Matanya tak henti-hentinya menatap tubuh Dewa.
Dewa pun kaget karena yang masuk ke ruangannya bukan kekasihnya. Padahal dia sengaja bertelanjang d**a untuk menggoda Resty.
“Larisa, keluar!” seru Dewa.
Flashback off
Fira tertawa mendengar cerita Larisa. Gadis itu semakin menunduk, membenturkan kepalanya ke meja.
“Permisi,” percakapan mereka terhenti karena pelayan datang dengan membawa pesanan.
“Silahkan,” jawab Fira menanggapinya.
Keduanya tidak bicara selama pelayan menata pesanan keduanya ke meja.
“Satu Ris e bisi, satu Risotto ai fughi, dan dua Granite,” beritahu pelayan kepada mereka.
Di depan Larisa ada Risotto yang berwarna hijau karena dicampur dengan sayuran, sedang pesanan Fira adalah Risotto jamur.
“Sudah lengkap ya Ibu ordernya,” pelayan menegaskan, disambut anggukan kepala ringan mereka.
“Selamat menikmati,” kata pelayan itu sebelum meninggalkan meja.
“Terima kasih,” ujar Larisa.
“Ayo, kita makan dulu,” ajak Fira kepada gadis di sebelahnya, untuk menikmati makanan yang ada di hadapan mereka.
“Larisa!” sebuah seruan mengagetkan mereka.
Keduanya menatap horor ke arah sumber suara.