Reina dan Larisa sudah selesai membenahi penampilan gadis itu yang sebelumnya tampak kacau. Kemudian keduanya naik ke lantai 10, ruangan CEO berada. Sampai lantai 7, pintu lift terbuka. Ada Liana yang masuk. Ketiganya saling menatap.
“Wow, siapa ini?” tanya Liana sinis. Larisa langsung merasa tidak nyaman dengan keberadaan seniornya itu.
Reina yang mengerti situasi, langsung memeluk Larisa. Liana terus menatap keduanya sinis. Sampai ketiganya sampai di lantai 10, Reina terus menjaga juniornya dari ancaman sahabat Resty itu.
Mia yang melihat kehadiran ketiganya, langsung mempersilahkan mereka masuk.
“Duduk,” titah Arya kepada ketiga perempuan itu.
Reina dan Larisa langsung memposisikan diri duduk di sebelah Alex yang duduk di sofa panjang. Sedang Liana duduk di sofa single yang ada di dekat Dewa.
“Kita tunggu Pak Danu,” Arya menyebutkan nama pengacara yang kemarin mendampingi Larisa.
Mia datang bersama seorang Office Girl yang membawa nampang berisi teh. Kemudian menghidangkannya kepada mereka semua.
“Silahkan diminum,” kata Mia ramah, disambut anggukanoleh semua yang ada di ruangan.
“Mia, kalau nanti Pak Danu datang, kamu ikut masuk ya buat notulensi,” kata Arya memberi perintah kepada sekretarisnya.
Mia mengangguk meskipun dia tidak paham sepenuhnya. Kemudian keluar ruangan.
Arya menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. Kemudian menghela nafasnya.
“Kalian bukan anak kecil lagi yang ribut seperti memperebutkan mainan,” ucapnya dengan nada kecewa.
Dewa dan Alex menundukkan kepala mereka. Diam tak tahu menjawab apa.
Terdengar ketukan pintu. “Masuk!” seru Arya.
Ada Danu dan Mia yang kemudian masuk ruangan setelah dipersilahkan oleh Arya.
“Silahkan duduk,” titah Arya pada kedua orang yang baru masuk ruangan.
Setelah semua duduk, Arya memulai pembicaraan, sedangkan Mia melakukan notulensi.
“Pak Danu, bisa jelaskan status Larisa di penyelidikan jatuhnya Resty saat ini?” Arya menoleh ke arah Danu.
“Tetap sebagai saksi, karena penyelidikan masih berlangsung. Hanya saja bukan sebagai tersangka, karena bukti CCTV tidak melihat Larisa mencelakai Resty,” jawab Danu panjang lebar.
“Lalu bagaimana perkembangannya?” Arya bertanya lagi.
“Masih diteruskan penyelidikannya, karena ada temuan lain di TKP,” jawab Danu.
“Apa itu?” Arya lagi-lagi yang bertanya. Yang lain hanya menyimak.
“Ada cairan pembersih di anak tangga. Kemungkinan itu yang menyebabkan Resty jatuh dan tidak sadar,” Danu mengulang keterangan polisi.
Deg
Wajah Liana pias mendengar keterangan dari Danu. Arya pun mengamati, tetapi dia memilih diam.
Kemudian Arya menganggukkan kepalanya, menatap para pegawainya yang duduk di hadapannya.
“Dewa, yang penting kebenaran terungkap kan?” Arya kini bertanya kepada Dewa.
“Ya, Pak,” jawab Dewa tegas.
“Jadi tunggu hasil penyelidikan. Sebesar apapun curigamu kepada Larisa, sebagai pemimpinnya, tidak layak kamu umbar,” Arya memberi nasehat kepada laki-laki berwajah tampan itu.
“Baik, Pak,” jawab Dewa dengan hati yang berat.
Kemudian Arya menoleh ke arah Mia. “Sampaikan di group WA kantor tentang status Larisa, dan katakan jika masih menuduh dia bersalah, akan ada peringatan.”
Mia menganggukkan kepalanya, kemudian mengikuti instruksi sang big boss.
“Liana,” panggil Arya. Yang dipanggil langsung menatap mata sang CEO.
“Ya, Pak,” dengan berdebar, dia menjawab panggilan Arya.
“Saya tidak ingin lagi dengar kamu membahas Larisa,” Arya tegas memberi peringatan.
“Sa-saya Pa-k-,” terbata-bata Liana menjawab yang langsung dipotong oleh Arya.
“Saya perhatikan kamu sering memprovokasi orang untuk memojokkan Larisa, padahal bukan saksi mata. Jangan diulangi, kalau tidak ingin dapat peringatan dari saya,” ujar Arya tegas.
Liana menelan ludahnya, dia kaget pimpinan perusahaan memperhatikan sikapnya atas sakitnya Resty.
“Ba-baiklah, Pak,” jawab Liana dengan suaranya yang gugup.
Arya menganggukkan kepalanya. Untuk sementara dia puas dengan usahanya menjaga suasana kerja yang lebih kondusif.
“Alex dan Reina, jika kalian melihat ada yang mengganggu Larisa karena kasus ini, segera bawa dia pergi dan lapor ke saya,” kali ini dia memberi intruksi kepada kedua orang dekat gadis kriting itu.
“Baik, Pak,” jawab Alex dan Reina secara bersamaan. Gugup, keduanya saling pandang.
Sementara berbagai ekspresi timbul mengiringi sikap keduanya.
Larisa, Arya, Danu dan Mia menahan senyum. Dewa hanya memandang datar. Sedang Liana tampak cemberut.
Apaan sih? Kenapa mereka jadi deket banget? tanya Liana dalam hati. Wajah kesalnya menghiasi wajah manisnya.
“Kompak,” celetuk Mia iseng.
“Nggak sengaja,” jawab Reina ngeles.
Arya tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, kembali bekerja,” titahnya.
Mereka pun keluar dari ruangan CEO, kecuali Arya dan Larisa.
Laki-laki yang masih tampak gagah itu mengerenyitkan dahinya.
“Ada apa, Sa?” tanya Arya.
“Saya mau minta tolong Pak Arya untuk bisa menjenguk Kak Resty,” jawab Larisa cepat dan gugup.
“Minta tolong seperti apa?” tanya Arya.
Larisa menghela nafas, jarinya memilih ujung roknya. Gugup melanda terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Itu-saya ingin menengok Kak Resty dan bertemu orang tuanya untuk minta maaf. Tapi takut Pak Dewa marah,” susah payah dia berucap.
Arya mengulas senyum, dia paham kekhawatiran pegawainya tersebut.
“Saya coba tanya papanya Resty ya, Sa. Nanti saya ke rumah sakit sekalian bertanya ya,” ucap Arya, mencoba membantu pegawainya itu.
“Terima kasih sudah mau membantu, Pak,” lirih gadis itu berkata.
Arya menganggukkan kepalanya, membiarkan Larisa keluar dari ruangannya.
“Mia, tolong pesankan paket makan malam 3 porsi ya, mau saya bawakan untuk orang tua Resty di rumah sakit,” perintah Arya kepada sekretarisnya lewat interkom.
Iya, Pak. Mia menjawab dan tak lama langsung menjalankan perintah bossnya itu.
Arya menghela nafasnya setelah memberikan titah itu. Dia pun kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Malamnya, Arya datang ke rumah sakit bareng Dewa. Ada Fira dan Farid yang menunggu di depan ruang ICU sementara Resty masih diperiksa oleh dokter.
“Selamat malam,” sapa Arya kepada keduanya.
“Selamat malam, Pak Arya,” balas Farid dan Fira secara bersamaan.
“Ma, Om, ini ada makan malam dari Pak Arya,” beritahu Dewa sambil meletakkan 3 kotak makan di dekat tempat duduk mereka.
“Terima kasih, jadi merepotkan,” kata Farid kepada Arya.
“Hanya sekedarnya saja,” jawab Arya sederhana.
Farid mengangguk, sepertinya terkesan dengan sikap Arya. Beberapa kali Boss anaknya itu datang menjenguk. Setiap ditanya mengapa begitu peduli, selalu dijawab dengan lugas tentang dedikasi Resty yang bagus kepada perusahaan.
“Bagaimana keadaan Resty, Pak Farid?” tanya Arya basa-basi.
Farid menghela nafasnya. Wajahnya terlihat lelah. “Belum ada kemajuan yang berarti, Pak,” jawabnya dengan diliputi kesedihan.
Arya mengangguk, kemudian menepuk punggung tangan papanya Resty tersebut. Sedang Dewa semakin dalam menundukkan kepalanya. Fira mengelus bahu putranya pelan.
“Resty sudah bisa ditengok, Om?” tanya Dewa penuh harap.
Sejujurnya, dia kangen dengan kekasihnya itu. Tetapi beberapa hari ini banyak lembur, yang menyebabkan terlambat untuk menjenguk.
“Tadi masih diperiksa Dokter, mungkin sebentar lagi,” jawab Farid.
“Makan dulu saja, Pak, Bu,” saran Arya. “Wa, kotak makan tadi mana?” tanyanya sambil celingukan mencari.
Dewa segera mengangsurkan kotak-kotak makan itu ke Farid dan Fira.
“Nanti saja, Wa,” tolak Farid. Dia memang kurang nafsu makan semenjak Resty masuk ICU.
“Makan dulu, Pak. Jangan sampai sakit,” bujuk Arya.
Farid menghela nafasnya. Dia pun sadar, harus tetap sehat demi putrinya. Kemudia lelaki paruh baya itu pun mulai membuka kotak makan dan menyantapnya pelan-pelan.
Mereka melihat dokter keluar ruangan. Sepertinya sudah selesai pasien yang ada di ruang ICU. Sebentar lagi jam besuk akan dibuka.
“Om, boleh kah saya masuk dulu?” tanya Dewa kepada Farid yang masih menikmati makanannya.
“Boleh, Dewa,” jawabnya singkat.
Dewa tersenyum, kemudian pamit kepada mereka untuk masuk ruang ICU begitu waktu besuk datang.
“Pak Farid, boleh kah saya menyampaikan sesuatu?” tanya Arya, begitu Dewa masuk ruangan.
“Apa itu, Pak?” tanya Farid kemudian.
Arya berdehem sebentar. “Larisa meminta saya menyampaikan, ingin bertemu Bapak dan menjenguk Resty,” katanya secara perlahan.
Farid terdiam agak lama.
“Larisa itu, yang kemarin dituduh mencelakai Resty?” tanya Fira.
“Iya, Bu,” jawab Arya.
“Pak Arya, saya tidak keberatan kalau Larisa ingin bertemu saya dan nengok Resty. Hanya saja Dewa-,” agak tersendat Farid bicara.
Arya diam, memaklumi kekhawatiran Farid. Dari awal laki-laki kekasih Resty itu menentang kehadiran Larisa di sekitar gadis yang masih koma tersebut.
“Mungkin jika Dewa tidak ada, Larisa ke sini,” usul Fira.
“Ya, tapi kalau sore kan pasti Dewa selalu ke sini. Jam besuk hanya dua jam,” sergah Farid.
“Kalau pagi, jam besuknya gimana?” tanya Arya, mencari alternatif lain.
“Jam tujuh sampai jam sepuluh,” jawab Farid.
“Seandainya saya kasih ijin Larisa untuk datang di sekitar jam itu, Bapak tidak keberatan menemuinya?” tanya Arya memberi usul.
Farid menganggukkan kepalanya. “Biasanya Dewa pulang jam tujuh seperempat. Mungkin Larisa bisa datang jam delapan atau sembilan,” katanya.
Senyum Arya pun terbit. “Terima kasih, nanti saya sampaikan ke Larisa.”
Farid menganggukkan kepalanya. Tepat di saat Dewa keluar dari ruangan.
“Pak Arya mau masuk ke dalam?” Dewa memberikan penawaran. Bossnya itu menganggukkan kepalanya.
“Saya menengok Resty sebentar, Pak,” Arya meminta ijin kepada Farid, yang diiyakan oleh laki-laki paruh baya itu.
Paginya, Larisa datang ke rumah sakit dengan penuh kegembiraan. Semalam Arya menelponnya dan memberi info jika Farid mau menemuinya.
Flashback On
Malam itu, Larisa sudah akan tidur. Telepon genggamnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal memanggilnya.
“Halo?” sapanya perlahan, dia bersikap waspada.
Halo, benarkah ini nomer telepon dari Larisa Putri? Tanya yang di seberang sana.
Samar-samar, gadis cantik itu mengenali suara yang keluar dari teleponnya.
“Pak Arya?” tebak Larisa lirih. Terdengar tawa khas dari laki-laki itu.
Kamu hafal banget suara saya,Sa, goda Arya yang membuat gadis itu tertawa malas menanggapinya.
Sa, besok pagi jam 8 kamu bisa ke rumah sakit. Pak Farid menunggumu, beritahu Arya, setelah keduanya diam agak lama.
Mata Larisa langsung berbinar. “Papanya Kak Resty?” tanyanya dengan perasaan yang membuncah.
Iya. Nanti minta ijin dulu ya sama Reina, kalau terlambat datang ke kantor, Arya memberikan instruksi.
“Siap, Pak!” seru Larisa bahagia.
Saya nggak ikut dampingi kamu, ya. Biar diantar Alex saja, kata Arya lagi.
“Ehhhh nggak usah, Pak. Biar saya pergi sendiri saja,” tolaknya cepat.
Nggak apa-apa kamu pergi sendiri? tanya Arya ragu-ragu.
“Nggak apa-apa, Pak. Sungguh!” seru Larisa meyakinkan Arya.
Dia harus berani, kan? Kalaupun Farid marah padanya, harus diterimanya dengan lapang d**a.
Ya sudah, hati-hati ya, kata Arya pada akhirnya.
Flashback off
Maka di sini lah Larisa. Berjalan penuh semangat ke arah ruang ICU.
Dilihatnya ada seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk di kursi tunggu depan ruang ICU. Wajah laki-laki itu diingatnya pernah bertemu saat Resty baru masuk ke rumah sakit.
“Selamat pagi, Pak Farid,” sapa Larisa hati-hati, begitu dirinya ada di depan laki-laki paruh baya itu.
Farid menengadahkan kepalanya, menatap gadis yang kini sudah berdiri di depannya.
“Larisa,” Farid balas menyapa gadis berambut kriting tersebut.
Setelah memastikan bahwa orang yang duduk di depannya adalah papanya Resty, dia pun duduk di samping laki-laki yang masih tampak gagah tersebut.
“Saya minta maaf, Pak. Sungguh, saya menyesal,” bisiknya seraya menahan isakan yang akan keluar. Tangannya tergenggam dengan kuat.
Farid menghela nafas panjang. Kemudian tersenyum seraya membalas genggaman tangan Larisa.
“Kamu tidak terbukti bersalah, Larisa,” ucap laki-laki itu lembut.
“Tetapi saya yang membuat Kak Resty marah,” Larisa tergugu, tidak lagi dapat menahan tangisnya.
Farid merangkul bahu Larisa dari samping. Mencoba menenangkan gadis itu.
“Saya salah karena mengejar-ngejar Pak Dewa, sehingga membuat Kak Resty marah,” cerita Larisa.
Farid masih tetap merangkulnya sambil diam, mendengarkan cerita dari Larisa. Selama ini dirinya tidak tahu pasti cerita antara anaknya dengan gadis yang duduk di sampingnya tersebut. Dewa pun tidak banyak bercerita. Hanya dari Liana saya dia tahu, bahwa si cantik keriting ini terobsesi dengan kekasih putrinya tersebut.
“Saya bikin Kak Resty marah karena menyukai Pak Dewa,” Larisa masih bercerita, dan Farid setia mendengarkan.
“Berulang kali Kak Resty memperingatkan saya untuk menjauhi Pak Dewa,” cerita Larisa lagi. “Tetapi tidak pernah saya dengar.”
“Kalau saya nggak ganggu Pak Dewa, pasti sekarang Kak Resty baik-baik saja,” pilu suara Larisa masih terdengar.
Farid melepas rangkulannya dari Larisa. Kemudian ditariknya kedua bahu gadis itu untuk bisa duduk sambil berhadapan.
“Dengar, Nak. Kamu mungkin salah karena mengganggu hubungan Dewa dan Resty. Tetapi bukan penyebab anak saya jatuh dan koma,” ucap Farid kepada gadis itu.
Larisa masih menatap Farid sambil menangis.
“Yang terjadi itu sudah takdir, bukan kesalahanmu,” tegas Farid, membawa kepala gadis itu dalam dekapannya. Larisa pun makin larut dalam tangisannya. Sementara ayah Resty itu pun tetap memeluknya.
Setelah tangis Larisa mereda, Farid mengurai pelukannya. “Sudah lebih baik?” tanyanya.
Larisa menganggukkan kepalanya sambil mengusap pipinya yang tadi banjir air mata.
“Mau jenguk Resty di dalam?” Farid bertanya lagi.
“Boleh?” tanya Larisa memastikan. Farid mengangguk mengiyakan.
“Dia ada di bed nomor tiga,” beritahu Farid. Gadis itu mengangguk, masuk ke ruang penyimpanan baju khusus untuk menjenguk pasien Ruang ICU.
Setelah mengenakan pakaian pelindung tersebut, Larisa masuk ke ICU.
“Kak Resty, ini aku Larisa,” bisiknya, begitu sudah duduk di kursi yang ada di samping bed Resty.
Segera diraihnya tangan seniornya yang bebas dari alat bantu medis. Kemudian tangan itu digenggamnya dengan erat.
“Maaf, Kak. Aku salah,” bisik Larisa pilu. Air matanya kembali lolos melundur ke pipinya.
“Aku yang menyebabkan Kakak kalap dan jatuh,” kata Larisa lagi.
“Aku sudah jahat sama kalian.”
Kini Larisa sudah tidak kuat lagi menahan tangisannya. Dia terisak-isak seraya menggenggam erat tangan Resty.
“Maafkan aku,” bisiknya terus-menerus, memohon maaf kepada seniornya yang setia berbaring dan menutup mata.
Cukup lama Larisa menggenggam tangan Resty sambil meminta maaf yang juga tak putus-putusnya keluar dari bibirnya. Sampai seorang perawat jaga menepuk bahunya.
“Jangan menangis, Mbak. Pasiennya butuh support,” sapa perawat tersebut dengan ramah.
Larisa mengangguk. Dia menoleh ke arah Resty. “Aku pamit dulu ya, Kak. Cepat sadar dan sembuh,” pamitnya.
Kemudian diletakkannya tangan Resty dan berdiri, berniat untuk keluar. Tetapi disadarinya, ada yang aneh dari wajah seniornya itu.
“Kak Resty sudah sadar?”