Pagi pun telah tiba, sinar mataharinya begitu hangat menyinari sebagian bumi. Kinan nampak menyisir rambut sepanjang lehernya yang setengah basah akibat tadi pagi keramas. Setelah selesai menyisir rambut pendeknya, Kinan memoleskan sedikit bedak babby di wajahnya. Setelah dirasa sudah cukup, Kinan mengambil tas ranselnya lalu dibawanya ke ruang makan. Di sana terlihat Zena tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk putri semata wayangnya itu.
“Kinan, sarapan dulu ya nak. Mama sudah menyiapkan semuannya,” ucap Zena tanpa menoleh ke arah Kinan karena wanita itu tengah sibuk dengan masakannya.
Kinan tersenyum lalu menghampiri sang mama, memeluknya dari belakang dan mendaratkan kecupan kecil di pipinya. “Selamat pagi mamaku tersayang,” sapa Kinan begitu ceria.
Zena terkekeh pelan, “Pagi juga kesayangan mama.” senyum di wajah Zena tidak pernah luntur ketika membalas sapaan Kinan. Meskipun sesekali terbatuk, namun Zena masih ingin terlihat kuat.
“Mama istirahat aja ya, biar Kinan lanjutin masaknya.” Kinan mengambil alih spatula yang Zena pegang, namun Zena menahannya.
“Tidak sayang, sebentar lagi ini akan selesai.”
Kinan hanya bisa menuruti saja, akhirnya gadis itu lebih memilih duduk di meja makan dan menunggu masakan Zena matang. Tidak lama, sarapan itu pun akhirnya tersaji dengan rapi di atas piring. Tanpa berpikir panjang lagi Kinan langsung melahap nasi goreng itu hingga tandas.
“Mama, Kinan berangkat sekolah dulu ya.” Kinan mencium ke dua tangan Zena dan tak lupa mengucapkan salam.
“Iya sayang hati-hati.” Zena mengantarkan anak gadisnya sampai di depan rumahnya. Kadang kala hatinya terasa teriris ketika melihat Kinan harus berjalan kaki begitu jauh menuju sekolahannya. Zena merasa bersalah karena tidak bisa menyajikan yang terbaik untuk anak satu-satunya itu. Ketika Kinan sudah tidak terlihat lagi, barulah Zena masuk kembali ke dalam rumah.
***
Kinan melewati gang yang seperti biasa. Namun, bedannya keadaan gang sempit itu terasa sepi karena hari masih pagi dan anak-anak warga pun belum bangun dari mimpi indahnya. Kinan mengayunkan kakinya dengan begitu santai sembari menikmati udara yang pagi yang sudah tidak sesegar dulu lagi akibat polusi udara yang menjadi biang keroknya. Dahulu udara di daerahnya tinggal masih segar, namun karena ulah manusia sendiri lah udara segar itu kali ini tidak bisa dinikmati.
“Kinan!”
Suara teriakan itu membuat senandung Kinan yang gadis itu ciptakan seketika berhenti dalam hitungan menit.
“Della, kamu ngapain di sini?” tanya Kinan terheran. Biasanya dirinya dan Della akan bertemu di gang depan, namun entah mengapa Della sudah berada di sini.
“Kebetulan banget kita ketemuan di sini. Gua abis dari temen papa gua, buat bilang ke dia kalo papa nggak bisa kerja karena lagi sakit,” jelas Della dan membuat Kinan menganggukkan kepalanya.
“Semoga papa lo cepet sembuh ya Dell,” ucap Kinan tulus.
Della hanya mengangguk sembari berjalan lurus beriringan dengan Kinan. Sudah berada pada ujung gang menuju sekolahnya. Hanya tinggal beberapa lagkah lagi Kinan dan Della masuk ke dalam pintu gerbang yang menjulang tinggi dengan begitu gagahnya itu.
“Capek,” keluh Della sembari menyeruput esnya yang baru saja gadis itu beli dari kantin.
Kinan terkekeh geli, “Hitung-hitung olah raga Dell.”
“Oh ya, sekarang bukan giliran lo yang jaga pintu gerbang ‘kan?” tanya Della yang masih berusaha mengatur napasnya yang terengah.
“Nggak, sekarang giliran Arga yang jaga,” jawab Kinan.
Arga merupakan wakil ketua osis SMA Paripurna Negara. Meskupun masih adik kelas, tapi pesona Angga sudah mampu menghipnotis semua angkatan ejak kedatangannya di sini.
“Eh, yang diomongin dateng tuh,” ucap Della sembari menujuk ke arah sebarang yang melihat Arga semakin mendekat kearahnya.
Arga tengah berjalan kearah Kinan dengan gagahnya, bersamaan dengan rambut yang tersisir dengan rapihnya seta baju yang dimasukkan. Kinan merasa dirinya tidak salah memilih adik kelas untuk dijadikan wakil.
“Kenapa Ar?” tanya Kinan merubah wajahnya menjadi tegas.
“Kak, aku cuma mau ngasih tau kalo nanti ada rapat osis setelah pulang sekolah dan rapatnya dilaksanakan di ruang biasanya,” jelas Arga dengan senyum manis yang tidak lepas dari bibirnya.
“Ok,” jawab Kinan singkat. “Hari ini lo yang jaga ‘kan?” tanya Kinan hanya sekedar memastikan.
“Iya kak, memangnya kenapa kak?” tanya Arga.
“Nggak pa-pa sih. Ya sudah sana lanjut jaga. Gua mau ke kelas.” Kinan bernajak dari duduknya lalu melenggang pergi meninggalkan Della yang masih asyik dengan esnya.
“Kak Della, aku mau lanjut jaga dulu ya.” Arga berucap sembari tersenyum menatap Della.
Della hanya mengangguk. Mata belonya setia menatap punggung tegap milik Arga yang kian menjauh. Tanpa Della sadari, ternyata sedari tadi dirinya sendirian tanpa Kinan menemani.
“Kinan memang kebiasaan,” gerutu Della gemas dengan tingkah Kinan yang hobi sekali meninggalkannya sendirian.
Dering lonceng masuk sekolah telah berbunyi sebagai sinyal untuk para siswa-siswi untuk masuk ke dalam kelasnya.
Di tempat duduk paling depan, terlihat Kinan tengah sibuk membolak-balikkan bukunya seolah tengah mencari sesuatu. Della yang berada di sampingnya pun menjadi bingung.
“Nan, lo kenapa sih?” tanya Della sedikit mengintip buku yang Kinan pandang dengan serius itu.
“Nggak pa-pa,” jawab Kinan tanpa menoleh kearah Della.
Della yang merasa diabaikan itu mendengus kesal. “Seriusan, nggak mungkin lo seserius itu tanpa tujuan yang jelas. Lo lagi nyari apaan sih?” keingin tahuan Della semakin menggebu ketika tak kunjung mendapat jawaban dari Kinan.
Kinan meletakkan bukunya lalu menatap Della yang sudah mengerucutkan bibirnya. Raut wajah Della membuat Kinan tertawa sampai perutnya terasa sakit. “Ya ampun Dell, muka lo kenapa?” tanya Kinan dengan tawa yang masih terdengar geli.
“Kesel sama lo lah, apa lagi,” ucap Della sedikit sewot.
“Iya, iya gua minta maaf. Gua lagi nyari ramuan tradisional buat mama gua. Nggak tega gua harus liat mama batuk-batuk setiap pagi,” jelas Kinan sembari memamerkan buku dengan judul ‘Ramuan Tradisional’ itu kepada Della.
“Ya ampun, jadi tante Zena belum sembuh juga?” tanya Della penih kekhawatiran.
“Belum,” jawab Kinan sembari menghela napasnya pelan. “Bahkan sekarang semakin parah, Dell. Gua pengen cari kerja di restoran gitu. Jadi pencuci piring pun gua nggak masalah yang penting uangnya halal dan bisa buat berobat mama gua,” sambung Kinan. Kesedihan nampak jelas di wajahnya.
Della mengusap punggung Kinan lembut seolah tengah menguatkan sahabatnya itu. “Niat lo tulus dan gua yakin pasti ada jalan keluarnya, Nan.”
Kinan hanya mengangguk lalu melayangkan senyum manisnya untuk sahabat tercinta dan satu-satunya itu. Kinan tidak tahu jika tidak ada Della di sampingnya, pasti tidak akan ada yang tulus menemaninnya di saat-saat susah seperti ini.
Tidak terasa jam pulang sekolah telah tiba. Kinan tengah bersiap untuk rapat osisnya bersama dengan anggota yang lain. Sementara Della, gadis itu tangah membersihkan ruang kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
Sementara itu di tempat Kinan berada, gadis bermata sipit itu tengah meneliti keadaan di sekitar seperti biasanya. Matanya menagkap seseorang yang selama satu hari penuh ini tidak menganggu hariya, dia adalah Gavin, lelaki bertubuh jangkung itu tengah asyik melempar bola basketnya dengan perasaan kesal. Ketika tengah asyik mengamati Gavin, tiba-tiba gawai Kinan berdering.
“Iya dengan saya sendiri,” jawab Kinan setelah mendapat pertanyaan dari sang penelepon.
Tanpa permisi air matanya mengalir deras membasahi mata dan pipinya setelah mendapat kabar dari seseorang itu.
“Baik saya akan ke sana secepatnya.” Kinan mmematikan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, sebelum pergi, Kinan izin terlebih dahulu kepada yang lainnya untuk tidak mengikuti rapat osis kali ini. Setelah mendapatkan izin, barulah Kinan pergi dari sana.
Kinan berlari kencang sekuat tenagannya menyusuri koridor sekolah. Sesekali punggung tangannya mengusap air mata yang selalu mengalir deras di pipinya.