Kinan berjalan kearah ranjangnya sembari memegang gawai di tangan kirinya dan segelas air putih di tangan kanannya. Kinan mendudukkan tubuhnya di atar kasur miliknya dengan tatapan yang masih fokus pada gawainya, tangan mungilnya begitu lincah mengetikan sesuatu di sana sesekali gadis itu meneguk air yang dirinya bawa tadi. Kinan meletakkan gelas itu dan ketika ingin menelan airnya gadis itu tersedak ketika membaca pesan dari seseorang yang tidak di kenalnya.
“Ini orang siapa sih?” tanya Kinan ketika seseorang yang tidak dikenalnya itu menyapannya seolah memang sudah benar-benar mengenal lama. Kinan memilih untuk mengabaikan saja pesan itu dan melemparkan gawainya ke sembarang arah.
Kinan menatap sebuah kotak berwarna coklat yang terlihat sangat usang itu tergeletak rapih di atas meja belajarnya. Perlahan kakinya berjalan menuju meja itu dan tidak lupa menarik kursinya lalu duduk di atasnya. Tangan Kinan terulur untuk membuka kotak usang itu, ada perasaan ragu di sana karena terlihat dari pergerakannya yang melambat ketika jemarinya sudah menyentuh permukaan kayunya.
Keberadaan kotak itu sudah lama sejak Kinan masih kecil. Namun, Kinan enggan untuk membukannya. Entah mengapa rasa penasaran itu muncul tiba-tiba ketika melihat kotak usang itu. Kinan tidak pernah ingin membukannya, terkadang melihatnya pun enggan. Hanya karena Zena yang memintannya untuk menyimpan kotak itu dengan alasan Kinan berhak tahu semuannya.
Kinan menghela napasnya pelan lalu kembali menggerakkan jemarinya untuk mengambil kotak itu lalu diletakkan tepat di hadapannya. Sebelum benar-benar membukannya, Kinan menatap langit malam lewat jendela kamarnya seolah tengah mempersiapkan diri untuk melihat isinya.
Ketika hatinya sudah benar-benar siap. Barulah Kinan membuka tutup kotak itu. Debu dari kayunya menutupi sebagian permukaan isinya. Sehingga membuat Kinan harus sedikit meniupnya agar debu itu menghilang.
Sebuah foto usang terpampang jelas di sana. Sepasang manusia nampak bahagia dengan balutan gaun pengantin dan senyum yang terpancar di sana terlihat sangat jelas menggambarkan bahawa keduanya saling mencintai. Itu adalah foto Zena—mamannya, dan lelaki yang berada di sampingnya itu adalah papa Kinan yang sejak dulu sudah meninggalkan Kinan, bahkan masih dalam kandungan.
Kinan menutup kotak itu karena tidak kuasa menahan sesak yang ada di dalam dadanya. Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya sang mama ketika ditinggalkan begitu saja sewaktu mengandungnya dulu. Menurut cerita yang selalu Zena sampaikan kepada Kinan. Papanya dulu meninggalkannya sewaktu masih dalam kandungan, kala itu ekonomi keluargannya memang kurang baik maka dari itu papanya rela merantau untuk mencari nafkah dan biaya persalinan nantinya. Bulan pertama sampai bulan ke lima kepergian papanya memang selalu mengirimkan sejumbah uang, namun bulan ke enam sudah tidak ada kabarnya dan itu berlanjut sampai sekarang.
Kinan kembali menutup kotak itu dengan tergesa-gesa ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Sebelum beranjak dari tempat duduknya, Kinan menyempatkan diri untuk meletakkan kembali kotak itu pada tempatnya. Setelah di rasa semuannya rapih seperti sedia kala, barulah Kinan membukakan pintu kamarnya.
“Mama.” Kinan sedikit menggeser tubuhnya ke kanan memberi ruang untuk Zena masuk ke dalam kamarnya.
“Mama kenapa belum tidur?” tanya Kinan yang sudah menutup pintu kamarnya dengan rapat dan juga sudah duduk di kursi belajarnya.
“Mama belum ngantuk sayang,” ucap Zena sedikit terbatuk.
Zena memang memiliki riwayat penyakit TBC atau tuberculosis sejak lama bahkan sudah sampai mengeluarkan darah. Terkadang Kinan ingin sekali mencari kerja sampingan, menjadi pelayan di restoran misalnya. Namun, Zena tidak pernah mengizinkannya.
“Mama, Kinan cari kerja simpangan ya? buat bantu mama berobat.” Kinan menatap Zena sendu.
Zena menggeleng tegas. “Tidak, mama tidak akan mengizinkan kamu untuk bekerja. Tugas kamu sekolah dan menyelesaikannya sampai tuntas, bila berlu sampai sarjana. Mama tidak ingin kamu bernasip sama seperti mama, sayang,” jelas Zena dengan napas yang naik turun akibat sesak napas.
“Andai lelaki itu tidak pengecut.” Wajah Kinan berubah marah ketika mengingat sosok papa yang tega meninggalkannya.
Zenna terlihat menghela napasnya pelan. “Ini takdir sayang. Papamu sudah bahagia bersama dengan pilihannya,” jelas Zena mencoba memberikan pengertian agar Kinan tidak membenci papanya sendiri.
Zena memang kecewa dengan mantan suaminya itu, tidak ada seorang istri yang rela ditinggalkan suaminya ketika awal-awal kehamilannya, di mana masa-masa sulit itu tengah Zena alami seorang diri tanpa suami dan sanak saudara. Zena adalah anak semata wayang dan ke dua orang tuannya tinggal jauh di kampung halaman sedangkan Zena mengadu nasip di kota orang untuk merubah perekonomian keluarga.
Jika mengingat masa itu, rasanya Zena ingin marah kepada takdir. Merasa takdir tidak adil dan selalu saja memberinya cobaan yang begitu berat. Mulai dari menikah tapi tidak direstui oleh keluarga suaminya dengan alasan Zena adalah anak orang tidak mampu dan setelah menikah ditinggal pergi begitu saja tanpa surat dan kabar. Zena melahirkan dan membesarkan Kinan seorang diri dengan jerih payahnya sendiri. Mulai dari buruh mencuci, kerja di warung nasi bahkan sampai pernah menjadi seorang pemulung demi sesuap nasi. Sebisa mungkin Zena harus bisa menyekolahkan Kinan sampai menjadi sarjana, setelah itu hidup Kinan akan terjamin dan tidak akan pernah diremehkan oleh lelaki.
“Mah,” Kinan menyentuh pundak Zena karena wanita itu terus saja melamun ketika Kinan memanggilnya. “Mama kenapa?” tanya Kinan. “Maafin Kinan, mah. Kinan udah ngungkit dia lagi,” ucap Kinan penuh sesal.
Zena menyentuh tangan Kinan yang berada di pundaknya. “Tidak. Mama sama sekali tidak mempermasalahkan itu, sayang.” Zena berucap dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Kinan sedikit menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Zena lalu perlahan menggerakkan kepalanya mendekat pada bahu sang mama untuk sandaran. “Kinan berjanji mah, Kinan akan mewujudkan segala keinginan mama selagi Kinan mampu.”
Zena mengusap kepala Kinan lembut lalu mendaratkan satu kecupan di sana. “Kamu selalu menjadi kebanggaan mama, sayang. Terima kasih telah hadir dan menjadi lentera penerang untuk mama dan terima kasih juga udah buat mama kuat menjalani pahitnya hidup ini.”
“Seharunya Kinan yang banyak berterima kasih sama mama. berkat mama Kinan bisa hadir ke dunia ini, berkat mama Kinan bisa belajar menjadi wanita kuat tidak cengeng, dan terima kasih udah mengajarkan apa itu arti kesetiaan.” Kinan memeluk Zena begitu erat, begitu pun sebaliknya.
Keduannya saling berpelukan erat dengan mata terpejam. Saling menyalurkan cinta dan kasih sayang. Tidak bisa Kinan mengelak, hidup bersama dengan mamanya sungguh sangat membuat dirinya bahagia. Kinan sudah tidak bermimpi untuk bisa memeluk papanya dan Kinan juga sudah tidak bermimpi bermain bersamannya. Hidup berdua bersama mamannya sungguh membuat Kinan banyak belajar akan cinta dan kerja keras. Cinta tulus datang dari hati, meskipun tanpa materi. Materi juga bisa mengalir dengan sendirinnya karena adanya ketulusan cinta di dalamnya.