Gavin sangat terkejut ketika melihat Kinan berlari di tengah-tengah koridor sekolah dengan linangan air mata. Gavin berniat untuk mengejarnya, namun lelaki itu urungkan ketika Pipin memanggilnya dari arah belakang.
“Vin, lo kenapa sih?” tanya Pipi heran karena sedari tadi fokus Gavin bukan kepada dirinya. “Vin!” Pipin mengguncang bahu Gavin untuk menyadarkan dari lamunannya.
“Ah, kenapa?” bukannya menjawab pertanyaan dari Pipin, Gavin malah kembali melayangkan pertanyaan pula.
“Dasar budeg. gua nanya malah balik nanya,” omel Pipin kesal.
Gavin menggaruk tengkuknya yang terasa gatal, “Ya maaf, tadi gua lagi nggak fokus, emangnya lu nanya apa?”
“Lo yang kenapa? Udah kek anak perawan lagi galau aja. Gua liatin lu bengong terus, lagi ngeliatin apaan sih?” tanya Pipin yang semakin penasaran.
Lagi-lagi pertanyaan Pipin diabaikan oleh Gavin. Lelaki itu menangkap sesosok gadis berambut ikal tengah berjalan santai di koridor sekolah.
“Della,” gumam Gavin pelan, lalu lelaki itu berlari menuju tempat Della berada.
“Gavin, lo mau kemana?!” teriak Pipin yang juga ikut berlari menyusul Gavin.
Pipin terheran dengan sikap Gavin yang menurutnya sangat aneh. Tidak biasanya Gavin seperti ini.
Ritme berlari Pipin semakin melambat ketika melihat Gavin berhenti tepat di depan Della. Keduannya seperti tengah memperbincangkan sesuatu yang sangat serius. Setelah menimang beberapa saat, akhirnya Pipin menyusul Gavin yang tengah bersama Della.
“Della please, kali ini lo jangan bohong,” ucap Gavin wajahnya nampak serius.
Pipin mengerutkan dahinya ketika melihat wajah Gavin yang tidak pernah seserius ini.
“Udah berapa kali gua bilang sama lo, Gavin. Gua nggak bohong. Memang kenyataanya Kinan lagi rapat sama anggota osis lainnya, kalo lo nggak percaya liat aja sendiri di ruang rapat,” jelas Della.
Penjelasan Della tidak juga membuat hati Gavin puas. “Tapi tadi gua liat Kinan lari di koridor sambil nangis-nangis. Gua yakin pasti lo tau ‘kan?” Gavin semakin mendesak pertanyaan yang sama.
Della terdiam. Memahami semua kata yang Gavin ucapkan. “Nangis?” Della mengigit bibir bawahnya, gadis itu tengah berpikir keras. “Sebelum dia pergi ke ruang rapat, Kinan baik-baik aja kok, nggak ada masalah,” jelas Della lagi. Sembari mengingat terakhir kali dirinya dan Kinan bersama. “Setau gua Kinan baik-baik aja ….”
“Vin, Dell, Kinan kenapa?” tanya Pipin yang menyela ucan Della.
Della dan Gavin menatap Pipin secara bersamaa. Pipin yang mendapat tatapan itu langsung meringis tanpa dosa.
“Dell, lo tau kan ruang rapat itu di mana? Boleh anterin gua ke sana?” pinta Gavin, mengabaikan pertanyaan Pipin begitu saja.
Della mengangguk lalu berjalan mendahului Gavin untuk menunjukkan jalan di mana ruang rapat itu berada. Pipin yang tertinggal pun hanya bisa berdecak kesal lalu setelahnya ikut menyusul Gavin dan Della.
Sesampainya di ruang rapat, Della langsung memanggil Arga selaku wakil ketua osis. “Arga, lo tau di mana Kinan?”
“Kak Kinan tadi izin untuk tidak mengikuti rapat osis hari ini, kak. Katanya ada urusan mendadak,” jelas Arga.
“Ya udah, makasih ya,” ucap Della tersenyum ramah.
“Iya kak sama-sama, kalau gitu saya masuk dulu ya kak.”
Della hanya mengangguk menyetujui.
Gavin mengusap wajahnya fustasi. “Urusan mendadak? Tapi kenapa tadi gua liat dia nangis di koridor?”
Della duduk di bangku koridor sekolah sembari menopang dagunya. “Kalau ada masalah, Kinan jarang cerita sama gua. Dia orangnya nggak mau nyusahin orang lain,” jelas Della.
Gavin menmabil duduk di sebelah Della. “Hari ini Kinan sama sekali nggak cerita sama lo?” tanya Gavin kembali memastikan.
Della terdiam seolah tengah menerawang. “Tadi gua sempet liat dia buka buku ramuan tradisional buat kesembuhan mamanya yang menderita penyakit TBC.”
“TBC?” Gavin kembali bertanya memastikan.
Della hanya mengangguk tanpa suara bahkan gadis itu saat ini tengah melamun. “Atau jangan-jangan …” ucapan Della terhenti dan itu semakin membuat Gavin penasaran
***
“Terima kasih dok, saya akan berusaha untuk menjaga pola makannya,” ucap Kinan dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan. “Kalau begitu saya pamit keluar dulu ya dok.”
Tubuh Kinan seolah sudah tidak ada penopang lagi, lemas tidak bertenaga ketika mendengar penjelasan dari dokter. Sepulang sekolah, Kinan diberi tahu oleh tenagganya jika Zena pingsan di dalam rumahnya dengan darah yang berada di tangannya. Hati Kinan teriris perih ketika harus mengetahui fakta bahwa penglihatan Zena mulai terganggu akibat efek samping dari obat yang selalu diminumnya.
Kinan berdiri di balik kaca jendela, gadis itu bisa melihat dengan jelas Zena tengah terbaring tidak berdaya di atas berangkar rumah sakit dengan selang infus dan oksigen yang melekat pada tubuhnya. Kinan mengusap bayangan Zena dengan lembut disertai air mata yang mengalir deras di sana. Sekelebat bayangan ketika dirinya kecil ditimang dan dimanja dengan tulusnya oleh wanita itu.
Kinan menghapus air matanya ketika melihat ada pergerakan di tangan Zena. Kinan memutuskan untuk masuk ke dalam dan menemani sang mama yang sudah membuka matanya.
“Mama, ini Kinan.” Kinan membawa tangan kurus Zena untuk menyentuh permukaan kulit pipinya.
“Kinan, anak mama,” ucap Zena dengan air mata yang mengalir. Tangannya meraba kulit pipi Kinan yang terasa lembut di telapak tangannya. “Maaf sayang, mama tidak bisa melihat wajah kamu.” Zena menurunkan tangannya, namun ditahan oleh Kinan.
“Tapi mama masih bisa merasakannya bukan?” tanya Kinan yang masih berusaha meredam tangisnya.
Zena mengangguk, “Sampai kapan pun mama akan tetap merasakannya.” Zena tidak akan lupa dengan rasa lembut dari pipi Kinan yang tidak pernah berubah sedari kecil.
Kinan mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi Zena itu dengan lembut. “Mama makan dulu ya, abis itu minum obat.” Kinan mengambil mangkuk putih berisikan bubur yang telah disediakan oleh rumah sakit. “Ayo mah, buka mulutnya.” Dengan sangat sabar Kinan menyuapi sang mama sampai bubur itu tersisa hanya setengah.
“Sudah, mama sudah kenyang.” Zena menjauhkan bibirnya dari sendok yang Kinan pegang.
Kinan pun menuruti keinginan Zena lalu Kinan beralih pada gelas yang berisikan air putih dan beberapa butir obat yang harus Zena minum sing ini.
“Mama minum obat dulu ya?” Kinan membantu Zena untuk bangun dari tidurnya, lalu menata bantalnya sebagai sandaran. Kinan menuntun Zena untuk meminum beberapa butir pil untuk diminumnya lalu tak lupa juga memberikan air putih sebagai pengakhir dari semuannya.
“Kamu pulang saja, kamu pasti capek. Mama nggak pa-pa kok sendirian di sini. Kamu nggak usah khawatir,” ucap Zena sembari meraba tangan Kinan yang berada di atas perutnya.
Kinan menggeleng pelan. “Nggak mah, Kinan akan tetap di sini nemenin mama.”
“Kamu pasti laparkan belum makan?” tanya Zena. “Lebih baik kamu cari makan di kantin rumah sakit, ingat kamu itu punya asam lambung. Mama akan marah kalau asam lambung kamu itu kambuh gara-gara kamu jagain mama.” ancaman Zena membuat Kinan terkekeh geli.
“Iya mamaku sayang, Kinan cari makan dulu ya.” sebelum beranjak dari duduknya, Kinan menyempatkan diri untuk mencium kening Zena terlebih dahulu.
Zena hanya mengangguk tanpa suara dan tidak lupa senyum di wajah pucat pasinya selalu wanita itu pancarkan untuk anak gadisnya seorang.
Dengan berat hati Kinan harus pergi meninggalkan sang mama sendirian di kamarnya. Kinan tidak ingin sang mama marah karena asam lambungnya naik. Ketika sampai di pertengahan jalan, Kinan tidak sengaja menabrak seorang pria paruh baya yang tengah jalan berlawanan arah dengannya.
“Maaf pak, saya tidak sengaja,” ucap Kinan setelah membantu pria paruh baya itu berdiri. Setelah memastikan semuannya baik-baik saja, Kianan pamit untuk pergi.
Pria paruh baya itu menatap punggung Kinan yang menjauh tanpa berkedip entah mengapa tatapannya begitu nanar ketika melihat wajah Kinan yang seperti mirip dengan seseorang.