6

1187 Words
“WOY! BANCI LO SEMUA!” Seorang lelaki bertubuh jangkung itu berjalan semakin mendekat kearah Kinan dan para preman itu. “Modal tato sama tindik doang beraninnya sama cewek,” cibirnya matanya meneliti penampilan preman itu dari atas sampai bawah. “Masalah lo apa?” preman itu mendorong tubuh Gavin hingga membuat lelaki itu terhuyung ke belakang. “Santai dong, nggak usah buru-buru.” Gavin mengusap bahunya bekas preman mendorongnya tadi, seolah di sana ada bakteri yang akan menganggu kesehatannya.   “Eh bocah, nggak usah ikut campur lo!” seorang preman bertubuh gembul menghampiri Gavin dengan wajah yang menyeramkan. Gavin memeletkan lidahnya meledek. “Dengan badan lo yang …” Gavin menaruh jari telunjuknya di dagu seolah tengah menilai. “Gembul begini mau adu tenaga sama gua?” tanya Gavin yang di setiap katanya mengandung cibiran. “Kurang ajar lo ya!” preman bertubuh kurus dengan gaya rambut mohaknya yang diberi warna ungu maju menghampiri Gavin dengan beraninnya. Gavin membuang mukannya kearah samping sembari terkekeh. “Ya ampun, lo nggak pernah dikasih makan apa sama ketua lo?” tanya Gavin menatap preman bertubuh gembul itu yang diyakini adalah ketuanya. “Kasian banget sih, lo sama tukang kebun gua aja hidupnya masih meredekaan tukang kebun gua,” ujar Gavin yang tidak hentinya melayangkan kalimat cibiran. Kinan yang sudah terbebas dari kerumunan preman itu hanya bisa menyaksikan aksi adu mulut antara Gavin dan preman gang itu. Kinan tidak heran jika Gavin begitu beraninya berkata mencibir seperti itu, memang sudah menjadi sifat Gavin yang tengil dan tidak mau kalah telah mendarah daging di dirinya. Gavin merasa ada yang menatapnya. Lelaki itu mendongakkan kepalannya mencari tahu siapa pelaku yang berani menatapnya tanpa permisi. Dilihatnya Kinan tengah menatapnya tanpa berkedip. Gadis itu tidak terpesona, melainkan terheran. Karena kebolehan Gavin dalam berdebat bisa diacungi dua jempol. “Oh iya.” Gavin bersidekap d**a. “Jangan pernah gangguin calon istri gua ya, awas lo kalo berani gangguin dia. Tindik-tindik yang kalian pasang sekarang suatu saat bisa gua lepas bersama kulit-kulitnya!” ancam Gavin. “Berani lo ya!” preman bertubuh kurus itu menyerang Gavin dengan pukulan yang mengarah pada rahangnya, namun Gavin pandai untuk menghindar. “Aih, nggak kena. Cuma segitu doang tenaga lo?” tanya Gavin. “Wajar sih, badannya aja masih gemukan tukang kebun gua. Jadi, nggak heran kalo pukulannya itu kaya angin lewat doang,” sambung Gavin lagi-lagi mencibir. “Bocah ingusan nggak tahu sopan santun!” kini giliran preman bertubuh gemuk itu menyerang di bagian perut Gavin. Lagi-lagi Gavin berhasil menghindari pukulan itu. Bahkan Gavin masih sempat memutar tangan preman bertubuh gemuk itu hingga berbunyi ‘krak.’ Kinan yang melihat itu meringis ngilu ketika preman bertubuh gemuk itu meraung sembari memegang tangannya yang Gavin putar tadi. “Cup, cup,cup. Anak manis nggak boleh cengeng.” Gavin menepuk-nepuk kepala preman yang baru saja tangannya dia patahkan tadi. “Vin, udah!” Kinan berteriak dan teriakannya mampu membuat Gavin menoleh. “Kenapa harus udahan sih Kin? Seru gini main sama preman gang yang tubuhnya dipenuhi dengan tato dan tindik, tapi ternyata aslinya cengeng banget.” Gelak tawa Gavin pecah di sana. Bahkan Gavin sampai memegangi perutnya yang sakit akibat terlalu banyak tertawa. Kinan berdecak kesal, lalu berjalan cepat menghampiri Gavin. “Nanti kalo dia kenapa-kenapa lo juga yang repot.” Kinan menarik tangan Gavin menjauh dari sana. “Lo khawatir sama gua, Kin?” tanya Gavin dengan raut wajah yang tidak percaya. “Percaya diri banget ya lo. Kalo lo kena masalah, otomatis gua juga kena. Karena kita berdua yang ada di sini,” jelas Kinan tanpa senyum di wajahnya. “Makannya nggak usah kebanyakan halu!” sambung Kinan lalu gadis itu melenggang pergi melanjutkan kembali perjalanannya menuju rumahnya. “Kinan!” teriak Gavin berlari mengerjar Kinan. “Gua anterin sampai rumah lo ya?” tawar Gavin tulus. “Nggak usah,” tolak Kinan. “Kin, please. Gua takut ada preman lagi yang gangguin lo.” Kinan menghentikan langkahnya dan Gavin pun begitu. Kinan memutar tubuhnya menjadi menghadap Gavin lalu menatap lelaki itu tajam. “Lo nggak pernah paham bahasa manusia ya? udah gua bilang nggak usah, ya enggak!” ucap Kinan tegas lalu kembali melanjutkan langkahnya. “Kin, kali ini aja.” Gavin mencekal pergelangan tangan Kinan hingga membuat gadis itu kembali menghentikan langkahnya. Kinan menghela napasnya kasar. “Ya udah, awas lo nyusahin gua di jalan.” Kemudian Kinan kembali berjalan mendahului Gavin. “Yes!” sorak Gavin bahagia. Lalu Gavin pun mengikuti langkah Kinan dari belakang. Hingga sampai pada tujuan. “Assalamualaikum.” Sebelum memasuki rumah, Kinan membuka sepatunya terlebih dahulu. “Eh, mau ngapain lo?” tanya Kinan mencegah langkah Gavin yang ingin masuk ke dalam rumahnya. “Ya mau mampir lah, mau ngapain lagi,” jawab Gavin lalu kembali meneliti rumah sederhana milik Kinan. “Nggak ada yang izinin lo masuk ke rumah gua.” Kinan menarik tangan Gavin sampai lelaki itu sudah tidak menginjak keramik teras rumahnya. “Kin, menerima tamu itu adalah sebagian dari pahala, walaupun cuma dikasih air putih doang, tapi gua terima kok. Gua mau duduk dulu, capek tahu.” Gavin menurunkan cekalan tangan Kinan. Kinan mendengus kesal ketika Gavin dengan seenak jidatnya duduk di kursi teras rumahnya. Kinan merapihlan sepatu dan kaus kakinya dimasukkan kedalamnya lalu diletakkan di rak yang sudah disediakan. “Waalaikumsalam.” Seorang wanita berumur 40 tahun keluar dari rumahnya dengan daster sederhana yangh melekat pada tubuhnya. “Assalamualaikum, tante.” Gavin mencium tangan Zena sopan. Mama Kinan bernama Zena. Wanita itu sangat kalem dan tidak banyak bicara. Jika mempunyai masalah pasti akan dipendam seorang diri. “Waalaikumsalam. Kamu temennya Kinan ya?” tanya Zena penuh antusias. “Iya tan, saya anak baru di sekolah SMA Paripurna Negara, kita juga satu kelas loh tan,” jelas Gavin dengan semangat yang menggebu-gebu. “Oh ya? maafin Kinan ya kalo dia suka judes sama cerewet,” ucap Zena sembari terbatuk. “Mamakan lagi sakit, kenapa keluar dari kamar sih?” tanya Kinan sembari mencium tangan Zena. Zena menghela napasnya pelan. “Mama capek tiduran terus di kamar. Mama juga pengen nyari udara segar,” jelasnya. “Ya tapi kan ….” “Kin, bener apa yang mama kamu bilang. Meskipun sakit, tapi nggak boleh terus-terusan tiduran di kamar, itu juga nggak baik untuk kesehatan,” ucap Gavin. Kinan melayangkan tatapan tajam untuk Gavin. “Pulang sana!” usir Kinan dengan begitu kejamnya. “Kinan, jangan seperti itu. Bagaimana pun juga, dia teman kamu,” ucap Zena mencoba melerai. “Nama kamu siapa, nak?” tanya Zena beralih menatap Gavin. “Gavin tan,” jawab Gavin dengan senyum manisnya. “Oh ya tan, Gavin mau pamit pulang dulu udah sore soalnya takut dicariin.” “Hati-hati di jalan, nak. Jangan mapir-mampir ya.” Zena mengantarkan Gavin sampai di depan rumahnya. Setelah memastikan Gavin benar-benar keluar dari gang, barulah Zena kembali masuk ke dalam rumah. “Kinan, kamu tidak boleh seperti itu. Kasian Gavin dia terlihat lelaki yang baik,” ucap Zena dengan tatapan yang teduh. “Semua lelaki sama mah. Tidak punya hati dan perasaan.” Setelah berucap demikian, Kinan melenggang pergi masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Zena sendirian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD