Keesokkan paginya ….
Kinan terlihat tengah menuntun Zena yang keluar dari kamar mandi dengan penuh kehati-hatian. Kata dokter, kondisi Zena sudah lebih baik dari pada kemarin, Kinan yang mendengar kabar itu senangnya bukan kepalang. Bagaimana tidak, membayangkan Zena bisa kembali melakukan rutinitas normalnya membuat hati Kinan kembali tenang. Kinan kembali membantu tubuh kurus Zena untuk kembali tiduran di atas brangkar.
“Kinan, kamu sekolah aja. Mama nggak pa-pa kok sendirian di sini,” ucap Zena.
Kinan menggeleng pelan, “Nggak mah, Kinan nggak akan tega ninggalin mama sendirian di sini dengan kondisi mama yang belum stabil,” bantah Kinan sembari duduk di kursi yang telah di sediakan. Kinan akan lebih memilih merawat mamanya dari pada harus berangkat ke sekolah. Mana ada seorang anak yang tega meninggalkan orang tuanya lagi sakit bukan?
“Tapi sekolah kamu itu lebih penting, nak. Berangkat ke sekolah ya, mama baik-baik aja kok ada dokter dan suster juga yang menjaga mama.” Zena masih kukuh memaksa Kinan untuk sekolah. Bukan Zena tidak ingin ditemani sang anak, tapi Zena paham bagaimana padatnya siswi kelas dua semester akhir. Bagi mereka, telat satu hari saja pelajarannya pasti sudah tertinggal jauh.
Kinan terdiam, nampak menimang keinginan Zena. “Ya udah mah, Kinan mau berangkat sekolah. Tapi, mama harus janji sama Kinan, jangan apa-apa sendiri, ada dokter dan suster. Kalau ada apa-apa langsung panggil mereka ya mah.” Kinan menatap sang mama penuh dengan peringatan keras.
Zena tersenyum lembut. “Pasti sayang. Hati-hati di jalan ya.”
Lagi-lagi dengan berat hati Kinan harus meninggalkan sang mama sendirian di dalam ruangan itu. Namun, mau bagaimana lagi ini adalah keinginan Zena agar Kinan lebih menguatamakan sekolahnya di detik-detik terakhir.
Kinan berjalan lurus hingga sampai di depan rumah sakit, seperti biasa gadis itu tengah mencari angkutan umum yang sangat setia mengantarkannya kemana pun Kinan mau. Tidak sampai menunggu berjam-jam lamannya, angkut yang Kinan tunggu pun sudah datang. Jujur saja, pikiran Kinan masih tertuju pada sang mama yang tengah terbaring lemas di rumah sakit. Bagaimana dirinya harus mencari uang untuk pengobatan selanjutnya. Kinan mendesahkan napasnya pelan, seolah dengan helaan napas itu mampu membuang sedikit bebannya. Di pertengahan jalan Kinan melihat sesuatu yang begitu menarik perhatiannya hingga gadis itu rela diturunkan di situ.
“Terima kasih ya, bang,” ucap Kinan sembari memberikan uang tiga ribu rupiah untuk membayar angkot yang Kinan tumpangi tadi.
Kinan berjalan mendekat ke arah gednung resto yang terlihat mewah dari depan dan dapat di pastikan bahwa resto itu hanya ada kalangan kelas menegah ke atas saja yang mampu membeli makanannya.
Kinan tersenyum senang ketika melihat papan di depannya bertuliskan ‘Membukalowongan pekerjaan’ terpampang nayata di hadapan Kinan.
Sebelum membuka pintu resto itu, Kinan mengucap ‘bismillah’ terlebih dahulu agar semua yang menjadi keputusannya adalah yang terbaik.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, mbak?” tanya kasir itu dengan senyum yang manis.
“Mbak, apa betul di sini tengah membuka lowongan pekerjaan? tanya Kinan memastikan kembali.
“Betul sekali mbak. Agar tahu lebih lanjut, mari saya antar kepada atasan kami.”
Kinan berjalan di belakang seorang kasir itu yang tengah menuju ke suatu ruangan di mana atasannya berada. Sebelum masuk ke dalam, kasir itu mengetuk pintu bercat hitam itu sebanyak tiga kali lalu lalu setelahnya pintu itu terbuka lebar dan menampakkan sesosok pria dengan jas coklat yang melekat pada tubuhnya.
“Ada apa Rani?” tanyannya pada Rani—seorang kasir restoran tersebut.
“Ada yang ingin melamar pekerjaan di restoran ini, pak,” jelas Rani. Membuat atasannya itu mengangguk paham.
Lelaki bernama Roy itu meneliti penampilan Kinan dari atas sampai bawah. “Kamu masih pelajar?” tanyannya memastikan asumsinya.
“Kelas dua SMA pak, tapi saya bisa kok membagi waktu setelah pulang sekolah.”
Roy lagi-lagi mengangguk paham lalu beralih menatap Rani. “Rani, apa kamu tidak menannyakan statusnya itu? Ingat, anak pelajar tidak dipekerjakan di sini,” ucap Raoy menatap tajam Rani.
Rani menunduk takut, “Maafkan saya pak, saya kurang teliti.”
“Keluarlah dan bawa dia ikut serta juga!” perintahnya tegas.
Hati Kinan begitu sakit ketika diperlakukan demikian. Apakah status harus menjadi masalah utama untuk mencari pekerjaan?
Kinan mengikuti langkah Rani dengan gontai ketika keluar dari ruangan Roy, si bos yang terlalu arogan.
“Kinan, maaf ya ternyata kamu masih pelajar dan restoran ini tidak bisa mempekerjakan dengan statusmu itu,” ucap Rani tidak enak hati.
Kinan tersenyum, namun ketahuilah itu senyum keterpaksaan. “Tidak apa mbak, mungkin belum rezekiku aja.”
Rani hanya tersenyum, lalu membukakan pintu untuk mengantarkan Kinan keluar dari restoran mewah itu.
Sebelum Kinan benar-benar pergi, gadis itu menatap bangunan mewah itu dengan pandangan yang sulit diartikan antara kecewa dan tidak percaya. “Dasar orang kaya,” gumam Kinan.
Menurut Kinan semua orang kaya itu sama saja, sama-sama mementingkan hartanya dan memilih untuk tidak mempedulikan orang di sekitarnya.
Kinan kembali menyusuri jalanan yang padat akan kendaraan roda dua maupun roda empat. Pikiran gadis itu kembali melayang ketika melihat mamannya terbaring lemah di rumah sakit. Kinan tidak bisa membayangkan hidup tanpa Zena, si wanita tangguh yang telah mengajarkan arti hidup dan tujuan hidup yang sesungguhnya.
Kinan memutuskan untuk mengistirahatkan kakinya yang sudah terasa berdenyut nyeri akibat satu jam berjalan tanpa arah menyusuri jalanan kota yang peuh dengan asap dan polusi kendaraan. Sesekali Kinan mengusap peluh di dahinya yang keringatnya sudah menetas hingga membasahi wajahnya.
baru menyadari bahwa dirinya hari ini membolos sekolah, tapi tidak apa demi mencari uang tambahan untuk pengobatan sang mama, Kinan rela meninggalkan sekolahnya. Namun, jika dirinya meninggalkan pendidikannya, apa yang akan Kinan banggakan dari dirinya? Bukankah sang mama memintannya untuk tetap menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana? Lagi-lagi Kinan menghala napasnya pelan, rasanya begitu rumit jika di hadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama berarti untuk masa depannya.
Kinan kembali memutuskan untuk berjalan untuk menuju rumahnya. Akhirnya Kinan memutuskan untuk pulang setelah sekian lama menimang-nimang. Kurang lebih satu jam Kinan berjalan dari tempatnya berteduh tadi hingga sampai di depan rumahnya, sampai kakinya terlihat memar dan memerah.
Kinan langsung masuk ke dalam rumah sederhananya itu untuk membersihkan tubuhnya yang lengket akibat seharian tidak mandi karena menunggu Zena di rumah sakit. Rasa tubuhnya kembali segar ketika air dingin itu menyapu permukaan kulinya dengan begitu lembut.
Setelah selesai berpakaian, Kinan berjalan menuju ranjangnya untuk sekedar melihat gawainya yang sedari kemarin Kinan matikan. Ternyata banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan dari Della. Pastilah sahabatnya itu khawatir karena sedari pulang sekolah Kinan tidak memberinya kabar. Namun, ada satu pesan yang membuat Kinan membelalakan matanya.
+62 812463xxxxxx
Kinan, gua tadi liat lo lari di koridor sekolah, lo nggak papa ‘kan?
Kinan please, buka pesan dari gua.
Della khawatir sama lo dan gua juga.
Semoga lo nggak pa-pa. Jangan lupa sholat, makan dan istirahat.
Begitulan isi pesan yang Kinan baca. Kinan hanya membuka pesan itu dan tidak berniat untuk membalasnya. Justru gadis itu malah menaruh ponselnya di atas meja belajarnya lalu Kinan memilih untuk tidur sejenak untuk tetap menjaga kesehatan tubuhnya agar tidak sakit.