Kinan terlihat tengah mematut dirinya di depan kaca dengan senandung lembut yang keluar dari bibirnya. Untuk hari pertama bekerja, Kinan menggunakan baju lengan panjang di padukan bersama rok di bawah lutut yang longgar agar tubuhnya tidak terlalu terlihat molek.
“Kamu mau kemana Kinan?” tanya Zena yang sudah berada di depan kamar Kinan.
Kinan nampak terdiam mencoba mencari alasan yang tepat. “Kinan ada kerja kelompok mah,” kilahnya.
“Tapi kenapa malam-malam seperti ini? Memangnya besok siang tidak bisa?” tanya Zena wajahnya sudah menyiratkan kekhawatira.
“Tidak bisa mah, besok pagi harus selesai,” jawab Kinan lagi.
‘Maafin Kinan, mah. Ini untuk kesembuhan mama,’ ratap Kinan dalam hati.
“Kinan hampir telat nih mah, Kinan berangkat dulu ya assalamualaikum. Mama hati-hati di rumah. Kinan pulang agak malam mah,” ucap Kinan sembari mencium punggung tangan Zena dan berakhir di pipinya.
“Waalaikumsalam, hati-hati sayang.” Zena mengantarkan Kinan sampai di depan rumah. Sangat terlihat jelas dari sorot wanita itu jika dirinya tengah menghawatirkan anak gadis satu-satunya itu.
“Semoga kamu baik-baik saja, nak,” ucap Zena sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Kinan berjalan dari rumahnya sampai di gang depan untuk mencari angkut atau pun ojek untuk mengantarkannya ke tempat dirinya bekerja.
“Bang, anterin saya ke alamat ini ya,” ucap Kinan sembari menunjukan alamat yang ada di gawainya.
“Ok, siap neng.”
Abang ojek pengkolan itu pun mengendarai motornya menuju alamat yang Kinan tunjukan padanya.
Sesampainya di tempat tujuan, entah mengapa perasaan ragu itu hinggap di dalam hatinya. Rasa enggan untuk masuk lagi ke dalam itu datang lagi, tapi jika dirinya tidak masuk ke dalam bagaimana bisa mendapatkan uang?
Kinan mencoba menenagkan dirinya dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Yakin neng nggak salah tempat?” tanya si abang ojek sembari meneliti penampilan Kinan yang nampak sebagai gadis baik-baik. Secara gadis baik-baik itu tidak akan mungkin berada di tempat seperti itu.
Kinan tersentak kaget, “Enggak kok bang, terima kasih ya bang,” ucap Kinan sembari memberikan uang ongkos kepada bang ojek itu.
Kinan kembali meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap melanjutkan pekerjaanya, kesempatan hanya datang sekali saja dan Kinan mencoba tidak menyia-nyiakan itu.
Sampai di dalam, Kinan langsung menuju ke belakang tempat di mana semua karyawan berkumpul. Kinan sedikit asing dengan penampilan mereka karena menggunakan baju yang super minim hampir keseluruhan lekuk tubuhnya terlihat.
“Kenapa lo masih berdiri di situ? Cepetan ganti baju, bentar lagi giliran lo!” sentak salah satu perempuan berqambut pirang dengan baju minim pula.
“Iya kak, baju ganti saya mana ya?” tanya Kinan sopan.
“Nih.” Perempuan itu melemparkan baju seragam Kinan begitu saja tanpa rasa sopan sedikit pun.
“Semoga kamu betah ya di sini.”
Suara itu berasal dari perempuan lain, perempuan dengan wajah manis, lugu tidak jauh berbeda dengan Kinan. Namun, hanya saja lagi-lagi penampilannya terlalu terbuka. Sebenarnya, melihat para wanita dengan pakaian minim seperti itu membuat Kinan tidak nyaman berada di dekat mereka. Namun, bagaimana pun juga kembali lagi pada kenyamanan masing-masing.
“Kenalin, aku Nisa. Kamu?” Nisa mengulurkan tangannya dan di sambut hangat oleh Kinan.
“Aku Kinan, kak.”
“Anak gadis sepertimu tidak pantas bekerja di sini Kinan, siapa yang sudah memberikan alamat ini sama kamu?” tanya Nisa menatap Kinan penuh selidik.
Kinan terdiam, bingung harus menjawab apa.
“Kinan, Nisa kenapa kalian malah ngobrol tidak jelas? Waktu kalian bekerja bukan menggosip!” ucap perempuan berambut pirang itu tajam.
“Dia Lila, senior di sini,” jelas Nisa karena melihat wajah Kinan yang penuh tanda tanya. “Selamat bekerja ya,” sambungnya menyemangati Kinan.
Kinan hanya memberikan senyuman lalu mengangguk yakin. Setelah itu, Kinan diarahkan oleh Lila ke sebuah ruangan yang Kinan sendiri tidak tahu tempat apa itu.
“Kamu harus ramah sama pelanggan,” ucap Lila. “Jangan buat malu,” sambungnya, lagi-lagi tajam.
Kinan hanya mengangguk dengan ragu Kinan membuka pintu bercat hitam itu. Entah mengapa ketika telapak tangannya menyentuh handel pintu itu bayangan Zena melintas di otak Kinan secara tiba-tiba.
“Tunggu apa lagi? Cepetan masuk!”
Lagi-lagi suara keras Lila membuat Kinan tersadar dari lamunannya. “Iya kak, ini aku mau masuk,” ucap Kinan berani.
Kinan terdiam sejenak di ambang pintu. Rahangnya seakan ingin jatuh ketika melihat pemandangan di dalamnya.
‘Ya Allah, tempat apa ini?’ tanya Kinan dalam hati.
“Eh sebentar, nitip ini sekalian bawa masuk, meja nomor tujuh ya,” ucap Lila sembari memberikan nampan berisikan botol kaca berwarna gelap serta gelasnya.
“Iya kak.” Kinan menerima nampan itu.
“Demi mama,” gumam Kinan mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Kinan mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam, mata para lelaki tertuju padanya seolah ingin menelannya hidup-hidup.
“Permisi, ini pesanannya,” ucap Kinan sopan lalu meletakkan botol itu tepat di hadapan si pemesan.
“Hey cantik, bisalah malam ini kita bersenang-senang sejenak,” ucap lelaki itu dengan mata sedikit tertup. Kinan meyakini itu adalah pengaruh dari minuman beralkohol.
“Maaf, saya di sini hanya bekerja bukan melayani anda,” bantah Kinan tegas. “Saya permisi,” sambung Kinan langsung melenggang pergi meninggalkan ruangan itu.
Sungguh di luar dugaan Kinan, ternyata tepat ini tidak sebagus gedungnya. Tidak ada satu pun karyawan yang ingin menjelaskan kepada Kinan tentang tempat yang Kinan dipekerjakan sekarang.
Gawai Kinan berdering, namun Kinan hanya melihatnya saja. Kinan takut jika Della mengetahui apa pekerjaanya sekarang.
Ting
Della
Kinan, kenapa lo nggak angkat telepon gua?
Kinan mengigit bibirnya sendiri setelah membaca pesan singkat yang Della kirimkan.
Della
Lo di mana?
Lagi-lagi pesan dari Della mampu membuat Kinan berkeringat dingin.
Kinan
Maaf ya, gua lagi sibuk banget.
Setelah membalas pesan singkat itu, Kinan langsung menonaktifkan gawainya lalu benda pipih itu kembali dimasukkan ke dalam tasnya.
“Kinan, kamu lagi ngapain di sini?” tanya Nisa yang secara tiba-tiba sudah berada di belakang Kinan.
“Oh, itu kak ada sesuatu yang lagi aku cari,” kulahnya.
“Udah ketemu?” tanya Nisa.
“Udah kok,” jawab Kinan cepat.
“Babby, aku pulang dulu ya, sampai berjumpa besok malam.”
Sontak Kinan membekap mulutnya ketika melihat lelaki paruh baya itu melumat bibir Nisa secara rakus. Namun, anehnya mengapa wanita itu tidak menolaknya sama sekali?
Lelaki itu melepas ciumannya lalu mengusap bibirnya sendiri akibat ada sedikit noda lipstik di bibirnya. Kinan melihat d**a keduanya naik turun akibat cuman panas tadi membuat paru-paru keduanya membutuhkan lebih banyak pasokan oksigen.
“Iya sayang, aku akan menunggumu,” ucap Nisa dengan senyum lembutnya.
Ketika lelaki paruh baya itu sudah pergi, barulah Kinan berani melayangkan tatapan penuh tanda tanya kearah Nisa yang tengah mengusap bibirnya karena lipstikanya berantakan akibat ciuman panas tadi.
“Kamu belum tahu rupanya? Ya beginilah kejamnya pekerjaan,” jelas Nisa, tapi terdengar ambigu di telinga Kinan.
“Beginilah kejamnya pekerjaan? Maksudnya apa?” gumam Kinan seorang diri.
Kinan kembali pada pekerjaanya mencoba mengabaikan pertanyaan yang masih saja hinggap di otaknya. Kinan berpikir, semua pekerjaan itu pasti ada resikonya tergantung bagaimana kita menyikapi resiko tersebut. Niatnya hanyalah ingin mencari uang demi mamanya dan untuk kesembuhannya juga.