14

1351 Words
Entah mengapa sampai siang ini Kinan masih saja memikirkan pesan dari seseorang yang tidak dikenalnya itu. Tawaran menggiurkan mampu meruntuhkan tembok yang telah Kinan bangun. Sampai Kinan pernah berpikir akan mendatangi tempat kerja itu, namun jika tempatnya tidak sesuai dengan harapan akankah itu tidak melukai hati Zena—mamanya? “Kinan, lo kenapa sih?” tanya Della yang sudah membawa satu gelas es jeruk peras di tangan kanannya. Kinan menatap gelas berisikan es itu penuh dengan minat. “Lo mau?” Della menawarkan esnya kepada sahabatnya itu. Della tahu betul jika Kinan menginginkan esnya. Kinan mengangguk, lalu mengambil alih gelas es jeruk itu lalu di minumnya sampai tenggorokannya terasa lega. “Makasih, Dell,” ucap Kinan sembari mengembalikan gelas es milik sahabatnya itu. Kinan kembali terdiam dan tindakan Kinan membuat itu Della semakin bingung. “Nan, lo kenapa sih?” tanya Della yang tidak lepas menatap Kinan dengan penuh tanda tanya. “Nggak pa-pa kok, lo pulang aja dulu gua masih ada urusan,” ucap Kinan langsung melenggang pergi meninggalkan Della sendirian di bangku itu. Della yang melihat kepergian Kinan hanya diam tidak bisa mencegahnya. “Kinan kenapa sih?” tanya Della seorang diri. “Della!” Suara teriakan itu mampu membuat Della tersedak oleh air liurnya sendiri. Gadis itu menoleh ke kanan dan  kiri untuk mencari tahu siapa pelaku yang sudah berani membautnya terkejut sampai tersedak. Seorang lelaki bertubuh jangkung berdiri di samping Della dengan wajah yang sudah di penuhi oleh peluh yang mengucur deras sampai membasahi kerah bajunya. “Bisa nggak sih, lo itu nggak usah bikin gua kaget?” tanya Della pada cowok itu. “Maafkan mas Pipin dek, mas terlalu merindukanmu hingga rasanya jantung ini tidak bisa berdetak sampai rasanya ingin mati jika satu detik saja tidak melihat senyum dan wajah cantikmu,” ucap Pipin dengan segala rayuan sampahnya itu. Della memakai kembali tasnya dan hendak beranjak dari duduknya, namun Pipin lebih dulu mencekal lengan Della sehingga gadis itu kembali terduduk kembali pada posisi semula. “Mau kemana sih dek? Memangnya kamu nggak kangen sama mas pipin yang genteng ini?” tanya Pipin sembari menaik turunkan aslinya. “Enggak!” jawab Della dengan raut wajah yang jijik. “Udah deh Pin, nggak usah gangguin hidup orang, dari pada lo picisan begini lebih baik benerin nilai lo dulu. Nilai masih nol aja bangga!” cibir Della pedas lalu melenggang pergi meninggalkan Pipin. Mulut pipin mengaga lebar, kata-kata Della mampu membuat dadanya berdenyut nyeri. Pasalnya baru kali ini Della melayangkan kata tajam untuknya. Jika Pipin berpikir kembali, yang dikatakan Della memang ada benarnya. Pipin menghembuskan napasnya gusar, rasanya menggapai cinta Della mustahil untuknya. “Ayo Pin, di mana sisi kejantanan lo, masa gitu aja nyerah sih! Payah lo!” cibir Pipin pada dirinya sendiri. Pipin memang tipikal cowok yang tidak akan menyerah begitu saja terutama soal percintaan. Pipin memang terkenal akan kebuayaanya, namun kali ini lelaki itu berjanji pada dirinya sendiri akan selalu setia pada satu cewek saja yaitu Della dan menghilangkan gelar kebuayaanya. *** Gavin nampak merenung di lapangan bola basket, pandangannya kosong, namun tangannya tidak berhenti memainkan bola berwarna orange yang berada di tangannya itu. Pikirannya melayang pada seorang cewek yang mampu membuat hatinya bergetar bila mendapat tatapan tajamnya. Siapa lagi kalau bukan Kinan. Ya, entah mengapa sosok sederhana seperti Kinan mampu membuat hatinya berbunga. Bahkan rasanya Gavin sudah lupa bagaimana caranya memainkan hati seorang cewek padahal itu adalah hobinya sedari dulu. Bayangan tubuh mungil Kinan dengan seragam rapih serta rambut sepanjang lehernya nampak nyata di depan matanya saat ini. Bibir Gavin tertarik tipis membentuk sebuah senyuman. Tanpa sadar, Gavin sudah berdiri dengan gagahnya bahkan lelaki itu tidak menyadari dirinya sudah berjalan mendekat kearah bayangan itu. “Minggir,” ucap Kinan datar ketika dengan sengaja Gavin menghalangi langkahnya. “Gua bilang minggir Gavin!” perintahnya tajam. Telinga Gavin seakan tuli, lelaki itu kian mendekat dan kini jarak antara dirinya dan Kinan hanya lima senti saja. “Mau apa lo?!” tanya Kinan menatap Gavin penuh kewaspadaan. “Kenapa lo nyata banget, Kin?” gumam Gavin pelan, namun Kinan masih bisa mendengarnya. Kinan mendorong tubuh Gavin sampai terpental beberapa langkah menjauh dari hadapan Kinan. “Jangan lancang lo ya!” peringat Kinan jarinya menunjuk Gavin tajam. “Kin, in-ini beneran lo?” tanya Gavin tidak percaya. Nampaknya lelaki itu sudah sadar dari lamunannya. Kinan hanya memandang Gavin tajam dan melenggang pergi begitu saja tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaan konyol dari lelaki itu. “Kinan!” teriak Gavin sembari berlari mengejar langkah Kinan. “Kin, gua mohon berhenti dulu.” Gavin kembali menghadang. “Apaan sih Vin, gua nggak ada waktu buat ngeladenin lo.” Kinan mengambil jalan lain untuk menghindari Gavin. “Kin, berhenti dulu!” Gavin mencekal pergelangan tangan Kinan erat hingga langkah gadis itu kembali terhenti. “Mau lo apa sih?” tanya Kinan dengan menaikkan suaranya, gadis itu sudah tidak peduli dengan keadaan sekitar yang ramai. “Lepas Vin, lo gila ya!” Kinan sedikit memberontak mencoba melepaskan cekalan Gavin dari pergelangan tangannya. Tanpa kata lagi Gavin memeluk tubuh mungil Kinan dengan begitu eratnya seolah ini adalah pelukan terakhir. Kinan mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan amarah yang sedari tadi suah sampai puncaknya. “Lepas Vin!” Kinan mencoba mendorong Gavin agar pelukannya terlepas, namun itu hanya sia-sia. Perlahan pelukan itu mengendur dan itu Kinan pergunakan untuk menjauh dari tubuh kekar Gavin. “b******k lo!” maki Kinan seolah ia lupa kondratnya sebagai perempuan. Satu tamparan keras Kinan layangkan tepat di pipi kanan milik Gavin sampai wajahnya terbuang ke samping. Tangan kanan Gavin menyentuh pipinya yang terasa panas dan berdenyut nyeri akibat tamparan maut yang Kinan berikan. Namun, Gavin merasakan aneh pada area bibirnya, jari jempolnya mengusap sudut bibirnya dan ternyata ada sedikit noda darah di sana. “Itu tamparan yang pastas buat lelaki b******k kaya lo!” ucap Kinan tajam lalu melenggang pergi meninggalkan Gavin yang masih mematung di tempatnya. Dari kejauhan Kinan menoleh kebelakang melihat di sana masih ada Gavin dengan posisi yang masih sama. Mata keduanya saling beradu pandang, Kinan menatap Gavin tajam sedangkan Gavin menatap Kinan penuh kekecewaan. Ini semua memang salah Gavin, mengapa lelaki itu tiba-tiba memeluk Kinan dengan lancangnya? Taparan panas dan keras itu pun pantas Gavin dapatkan. Kinan kembali melangkahkan kakinya menjauh dari koridor sekolah. Bila ditanya bagaimana perasaan Kinan? Sudah tentu gadis itu akan menjawab. “Sumpahnya, b******k banget tuh cowok,” gumam Kinan dengan amarah yang sudah berada di puncaknya. “Hampir telat lagi,” gumamnya setelah melihat arloji yang terpasang indah di pergelangan tangan kirinya. *** Napas Kinan terengah ketika sudah berada di sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi, namun nampak terlihat mewah jika dilihat dari depan. Kinan sedikit ragu untuk masuk ke dalamnya, namun lagi-lagi pesan chat dari seseorang yang tidak di kenalnya itu terngiang di otaknya. “Ayo Kinan, untuk uang lima juta setiap bulannya bisa buat biaya mama lo!” ucap Kinan menyemangati dirinya sendiri yang hampir saja menyerah. Sekilas Kinan membaca tempat itu adalah tempat karaoke. Sekilas baik-baik saja bukan? Namun, ketika Kinan sudah membuka pintu yang terbuat dari kaca itu, Kinan langsung melihat deretan bolol minuman aneh terpampang nyata di depan matannya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya seseorang dari arah belakang. Tubuh Kinan seketika menjadi kaku di tempatnya. Bagaimana tidak, seumur hidupnya baru kali Kinan didatangi oleh lelaki berbadna tinggi tegap dengan tato yang melekat hampir di sekujur tubuhnya serta sorot matanya yang tajam seolah tengah mengintimidasinya. “Saya ingin mencari pekerjaan,” jawab Kinan mencoba menormalkan suaranya agar tidak terdengar gugup. “Mari ikut dengan saya,” ucap lelaki itu. Awalnya Kinan bingung, namun ketika lelaki itu mengisyaratkan Kinan untuk mengikutinya barulah Kinan mengerti. Suasana di tempat itu tidaklah mencekam, hanya saja tatapan para lelaki dengan jas formalnya membuat Kinan sedikit rish. “… Kamu diterima bekerja di sini mulai malam ini dari pulul tujuh sampai jam sepuluh malam. Kamu paham?” tanya lelaki yang tengah duduk di kursi kebesarannya itu. “Saya paham pak,” jawab Kinan tegas. “Kamu boleh pergi dari ruangan saya!” perintahnya. Sebelum pergi, Kinan memberi hormat dengan membungkukkan badannya sopan. Lalu setelah itu Kinan benar-benar keluar dari ruangan itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD