Sore menjelang malam, matahari pun sudah bersembunyi pada tempatnya. Para burung sudah kembali pada sangkarnya. Namun, tidak untuk Kinan, gadis itu belum juga kembali pada alam bawah sadarnya meski pun hari sudah mulai larut, tapi nampaknya Kinan juga tidak terusik dengan bunyi alaram di gawainya yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi.
Della berkacak pinggang ketika melihat sahabatnya tengah tertidur pulas di atas kasur dengan selimut yang membungkus tubuh mungilnya dan yang membuat Della terheran adalah, wajah tenang Kinan yang seolah tidak peduli dengan hari yang sudah mulai gelap.
“Kinan, bangun!” Della mengguncang tubuh Kinan sedikit kasar. Bagaimana Della tidak kasar, sedari tadi bibir Della tidak berhenti memanggil namannya, namun Kinan tadak kunjung terbangun dari mimpi indahnya.
“Sebentar,” ucap Kinan mendesah pelan lalu gadis itu kembali tertidur dengan posisi menyamping ke kanan membelakangi Della.
“Sekalinya tidur udah kaya kebo lagi hibernasi,” gumam Della berdecak tidak percaya sembari kepalannya menggeleng samar.
Della menopang dagunya dan mulai berpikir bagaimana caranya agar Kinan terbangun dari tidur lelapnya. Hingga sebuah ide cemerlang hinggap di otak Della secara tiba-tiba.
“Gua harap lo bangun, Nan. Capek pita suara gua manggil-manggil nama lo.” setelah berucap demikian seorang diri, Della keluar dari kamar Kinan.
Setelah beberapa menit meninggalkan kamar Kinan, Della kembali dengan sebuah toples yang berada di tangan kanannya. Della terkikik geli ketika membayangklan reaksi Kinan nantinya ketika sesuatu yang dibawanya akan membangunkan Kinan.
Della kembali terduduk di pinggiran ranjang Kinan, dengan gerakan pelan Della membuka tutup toples yang sedari dirinya bawa lalu mengambil sedikit isinya dan kemudian ditaburkan di atas bibir Kinan yang sedikit terbuka.
Ketika serbuk putih itu menyentuh permukaan lidah Kinan, gadis itu sedikit mengeliat karena terusik dengan rasa aneh yang menyentuh lidahnya. Sedikit demi sedikit mata sipitnya terbuka dengan punggung tangannya mengusap permukaan bibirnya.
“Apaan nih?” tanya Kinan dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. Kinan menatap punggung tangannya yang terdapat serbuk putih itu dengan dahi mengerut.
Kinan mendengar suara kikikan dari arah samping kanannya dan itu membuatnya menemukan sesosok gadis yang dirinya sangat dikenalinya.
“Della!” Kinan menggeram marah. “Lo ngasih gua apaan?” tanya Kinan dengan nada naik. Mata sipitnya menatap Della penuh amarah.
“Garam,” ucap Della sembari memamerkan toples yang sedari tadi dirinya pegang.
“Hah! Lo gila ya?!” Kinan terkejut bukan main dengan keniatan Della yang haqiqi dalam membangunkannya. Sejumput garam itu masih terasa asin di lidah Kinan bahkan serbuknya sedikit berantakan di permukaan bibirnya.
“Ya abisnya gua bangunin tapi lonya nggak bangun-bangun. Dasar kebo!” cibir Della. “Ini udah sore Kinan, bahkan para burung udah kembali ke sarangnya. Sedangkan lo, lo masih bergelut dalam mimpi yang gua nggak tau itu indah atau enggak,” sambung Della.
Kinan mendengus kesal ketika mendengar nada cibiuran dari Della, Kinan merasa tidak terima telah disamakan dengan ‘kebo’ oleh sahabatnya itu. “Bisakan banguninnya dengan cara yang halus? Lo kira garam itu manis apa?” tanya Kinan dengan nada yang sewot bahkan raut wajahnya tidak bersahabat sama sekali.
“Ya maaf, niat gua kan baik buat bangunin lo, udah sana mandi dari tadi gua nungguin lo bangun ampe rasanya tubuh gua udah jamuran!” setelah berucap demikian, Della memilih untuk meninggalkan kamar Kinan.
Kinan sungguh ingin menelan Della secara bulat-bulat, namun bagaimana pun juga Della adalah sahabatnya. Setelah puas merutuki tindakan bodoh Della, akhirnya Kinan memutuskan untuk mandi dengan harapan bisa meredamkan emosinya yang sebentar lagi siap meledak.
Della memilih menunggu Della di ruang tamu di sana juga ada Zena yang tengah duduk di salah satu bangkunya.
“Della, bagaimana dengan Kinan? Apakah gadis itu sudah bangun?” tanya Zena yang mengetahui kedatangan Della.
“Sudah tan, tapi harus dengan cara yang konyol. Abisnya Kinan susah bangunnya,” keluh Della menceritakan bagaimana susahnya membangunkan Kinan.
Zena terkekeh, “Dia memang seperti itu jika sudah lelah pasti susah untuk dibangunkan,” jelas Zena membuat Della mengangguk paham.
Della tidak heran lagi jika Kinan sampai kelelahan. Bagaimana tidak, kegiatannya di sekolah pun sudah menguras tenaga dan pikirannya apalagi menghadapi sikap Jesika yang semakin hari semakin keterlaluan. Pastilah jika Della di posisi Kinan tidak akan sesabar itu.
“Della paham kok tan,” ucap Della.
“Ya sudah, kalau begitu tante tinggal ke dalam dulu ya. kamu tungguin Kinan saja, mau di sini, mau di kamarnya terserah. Anggap sebagai rumah kamu sendiri ya,” ucap Zena sembari mengusap lembut puncak kepala Della.
“Iya tante, mari Della antar ke kamar.” Della menawarkan diri.
Della yang hendak bangkit dari duduknya, namun langsung ditahan oleh Zena. “Tidak usah, kamu di sini saja tante bisa kok sendiri.” Zenna langsung bangkit dari duduknya, berjalan sembari meraba sekitar sebagai petunjuk jalan.
Sungguh, Della yang melihatnya tidak tega. Tidak terasa matanya berkaca-kaca ketika menyaksikannya. Della selalu mengamati Zena sampai wanita itu masuk ke dalam kamarnya dengan keadaan selamat.
“Gua susul Kinan aja ke kamarnya,” gumam Della lalu bangkit dari duduknya menuju kamar Kinan.
Terlihat Kinan tengah duduk di meja belajarnya sembari memegang handuk di tangannya yang di gosokkan ke rambut selehernya, gadis itu baru saja selesai mandi.
Suara ketrukan pintu membuat aktifitas Kinan terhenti. “Masuk!” perintah Kinajn dengan suara yang keras agar suarannya bisa menembus dinding kamarnya.
Nampaklah Della dari sana dengan senyum tanpa dosa ketika melihat wajah Kinan masam saat menatapnya.
“Lo masih marah sama gua?” tanya Della yang sudah duduk di pinggiran ranjang.
“Menurut lo? lagi enak-enaknya tidur malah lo bangunin,” omel Kinan kesal.
“Lagi PMS bu?” tanya Della meledek. “Marah-marah terus,” sambung Della yang ekspresinya mampu membuat Kinan semakin kesal.
Kinan membalikkan badannya memunggungi Della, melancutkan kembali aktifitas menggosok rambutnya yang basah, rasanya melihat wajah Della berekspresi menyebalkan seperti itu membuat amarah Kinan semakin memuncak.
“Lo udah dapet pekerjaan, Nan?” tanya Della memecah keheningan yang sempat beberapa menit tercipta.
Kinan menghentikan aksi menggosok rambutnya. “Belum,” jawab Kinan lemah. “Semuanya nolak gua karena gua masih pelajar dan yang lebih parahnya lagi ada yang ngatain gua nggak akan bisa kerja dengan postur tubuh gua yang mungil,” ucap Kinan berapi-api ketika mengingat kalimat hiaan itu.
“Hah!” Della terbelalak. “Gila ya itu orang, masa gara-gara badan mungil dikatain nggak bisa kerja, wah nggak salah lagi sih itu orang pasti s***p,” ucap Della sembari meremas jemarinya.
“Namannya juga orang kaya,” cibir Kinan.
“Terus lo mau kerja di mana? Gua juga nggak ada pandangan tempat kerja.”
Kinan menghela napasnya kasar lalu menggelang mengisyaratkan bahwa Kinan juga bingung ingin bekerja di mana.
Della yang melihat gelengan yang lemah itu hanya bisa menatap sahabatnya iba. Della bisa merasakan betul bagaimana bingungnya Kinan harus mencari uang untuk pengobatan ibunya.
***
Setelah kepulangan Della, Kinan kembali masuk ke dalam kamarnya, namun sebelum itu ia menyempatkan diri untuk melihat mamanya yang ternyata sudah terlelap.
Kinan mendesahkan napasnya kasar ketika tubuhnya kembali menyentuh kasurnya. Pikirannya kembali melayang bagaimana bisa mencari uang sebanyak mungkin untuk menyembuhkan mamannya. Tiba-tiba gawainya berbunyi ada pesan yang masuk.
+62 813526……
Lo mau cari kerja ‘kan? Lo bisa kok datang ke alamat ini. Di jamin gaji lo gede dan nggak memandang status dan postur tubuh.
Kinan terdiam ketika membaca pesan masuk dari seseorang yang tidak dikenalnya. Sedikit pertimbangan menghantui otaknya.
“Nggak ada salahnya dicoba dulu ‘kan?” tanya Kinan pada dirinya sendiri.