Setelah tiga hari Kinan tidak masuk sekolah karena menjaga Zena di rumah sakit, akhirnya kini Kinan bisa kembali bersekolah dengan tenang karena Zena sudah diperbolehkan pulang.
Pagi ini seperti biasa, Kinan berjaga di depan gerbang sekolah meneliti penampilan para siswa dan siswi SMA Paripurna Negara. Nampaknya kali ini ada kemajuan, di mana hampir keseluruhan, baik laki-laki mau pun perempuan sudah mengenakan dasi dan gespernya serta bajunya yang dimasukkan.
“Kinan.”
Suara boriton itu berasal dari belakang tubuh Kinan sehingga membuat pemilik nama harus membalikkan badannya guna menghetahui siapa yang telah memanggilnya tadi.
“Kenapa pesan gua nggak dibales?” tanyannya yang tiba-tiba memberikan tatapan penuh selidik untuk Kinan.
“Terus apa masalahnya buat gua?” tanya Kinan tak kalah tajam menatap lelaki itu.
Gavin mengguncang bahu Kinan. “Gua khawatir sama lo, Kinan,” ucap Gavin nadanya terdengar sangat frustasi.
Kinan baru menyadari, ternyata penampilan Gavin kali ini lebih rapih dan disiplin. Rambutnya juga sudah dipotong sehingga terlihat bersih dan tampan. Kinan mengglengkan kepalanya ketika tidak sengaja sempat mengakui Gavin tampan.
‘Kenapa gua jadi muji dia sih,’ batin Kinan merutuki tindakan bodohnya.
“Kinan, jawab gua dong.” Gavin semakin frustasi ketika tidak kunjung mendapat jawaban dari Kinan.
“Emangnya jawaban gua penting apa buat kelangsungan hidup lo?” tanya Kinan lalu gadis itu melenggang pergi meninggalkan Gavin di depan pintu gerbang sekolah. Tugasnya pagi ini sudah selesai karena bell masuk telah berbunyi.
Sebelum masuk ke kelasnya, Kinan berbelok arah menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
“Anak penggoda kemana aja? Tiga hari kok nggak keliatan?” tanya Jesika yang tengah bersadar di dinding kamar mandi sembari memainkan kuku panjangnya.
Kinan hanya melirik Jesika dari kaca kamar mandi. “Lo nggak perlu tau,” jawab Kinan sekenanya.
Jesika menghadang langkah Kinan ketika gadis itu ingin pergi meinggalkan kamar mandi. “Dibayar berapa sama om-om hidung belang?” tanya Jesika semakin mendesak Kinan agar terpancing emosinya.
“Bisa nggak lo minggir sebentar? gua mau ke kelas.” Kinan mendorong bahu Jesika untuk menghindar.
Jesika mendengus kesal ketika Kinan berhasil lolos darinya. “Awas aja lo!” geram Jesika tangannya sudah terkepal erat.
Kinan sudah kembali ke kelas dan di sana juga sudah ada Della yang duduk dengan damainya.
“Lo kemana aja sih Nan? Tumben lama banget?” tanya Della terheran. Tiba-tiba Della menatap horor kearah Kinan setelah melihat Jesika masuk ke dalam kelasnya, ada sebuah kecurigaan yang bisa saja memang terjadi. “Jangan bilang cabe-cabena itu bikin masalah lagi sama lo ya?” tanya Della tepat pada sasarannya. Bagai busur panah yang mengenai mangsanya.
“Gua nggak pa-pa kok, gua bisa ngatasin semuannya,” ucap Kinan mencoba untuk meredamkan emosi Della yang meledak-ledak akibat jengah dengan sikap Jesika dan Desi yang selalu saja mengusik kehidupan Kinan.
“Nggak bisa gitu dong Nan …” ucapan Della terhenti ketika Kinan melayangkan tatapan tajamnya.
“Udah ya jangan dibahas.”
Seketika bibir Della terbungkam rapat. Jika Kinan sudah berbicara seperti itu, itu tandannya Kinan memang sudah tidak ingin membahasnya lagi.
***
Jam pulang sekolah telah tiba, namun Kinan tidak nampak seperti biasanya. Biasanya jika pulang sekolah Kinan dan Della akan selalu pulang bersama, namun kali ini Kinan terlihat berjalan sendirian. Ya, sebelumnya Kinan sudah membicarakan ini kepada Della, jika dirinya ingin pulang terlebih dahulu dengan alasan ingin menjaga Zena. Namun, kenyataanya tidak seperti itu, Kinan terlihat memasuki sebuah kafe bergaya modern.
Sebelum memasuki kafe itu Kinan memejamkan matanya dan mengucapkan ‘bismillah’ di dalam hatinya.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Suara boriton itu mampu membuat Kinan terlonjak kaget. “Saya ingin mencari pekerjaan, apakah di sini ada lowongan pekerjaan untuk anak pelajar seperti saya?” tanya Kinan sembari tersenyum sopan.
Lelaki itu meneliti penampulan Kinan dengan seksama. “Kamu masih kecil dan masih pelajar pula, apa mungkin bisa bekerja?” tanya lelaki itu merendahkan.
Pertanyaan lelaki itu sontak membuat Kinan kesal, bagaimana lelaki itu bisa melihat kemampuan seseorang hanya dari bentuk tubuh saja?
“Tapi maaf, kafe ini belum membutuhkan karyawan apa lagi karyawan sepertimu yang jelas-jelas masih pelajar,” ucapnya dengan begitu angkuh.
“Tapi, apa salahnya jika anak pelajar bekerja? Bukankah kekuatan itu dilihat dari cara bekerjannya seperti apa? Bukan dilihat dari postur tubuh dan status bukan?” tanya Kinan dengan beraninnya.
“Oh ayolah, anak pelajar sepertimu masih labil dan egois aku tidak mau kafe ini bangkrut karena salah satu karyawannya tidak konsisten.”
“Anda sangat hebat sekali tuan, bisa melihat seberapa konsistennya saya ketika anda sendiri belum melihat kinerja saya seperti apa.”
Lelaki itu bangkit dari duduknya lalu berjalan satu langkah lebih dekat kearah Kinan. “Tentu saja saya tahu, karena saya sudah sering menghadapi pelajar labil seperti kamu.”
“Saya baru tahu ternyata sikap kewibawaan anda seperti ini? Hanya bisa merendahkan dan mencaci? Jas yang begitu gagagahnya anda pakai ini tidak ada karismanya sama sekali ketika mulut anda berbicara seperti itu.”
Kinan keluar dari kafe itu dengan perasaan yang sangat kesal. Mendengar bagaimana lelaki berjas itu menghinanya habis-habisan dan mengatainya tidak bisa bekerja dengan alasan postur tubuhnya yang kecil. Bahkan menurut Kinan, postur tubuh bukanlah menjadi tolak ukurnya.
Pemilik kafe itu sungguh arogan dan tidak tahu bagaimana caranya menghargai orang lain. Bahkan kafe yang didirikannya saja masih tergolong biasa saja.
Kinan akhirnya kembali ke rumahnya dengan keadaan yang lesu. Bagaimana tidak, usahannya mencari pekerjaan selalu tidak ada hasilnya, namun nampaknya rezeki belum berpihak kepadannya.
“Sudah pulang nak? Kenapa terlambat?” tanya Zena yang terlihat tengah meraba dinding rumah sebagai petunjuk jalannya.
“Assalamualaikum, mah.” Kinan mengecup punggung tengan Zenna lalu membawanya duduk di kursi teras rumahnya. “Maaf mah, Kinan terlambat pulang, tadi ada rapat osis sebentar,” kilahnya.
Zena tersenyum sembari mengusap pipi Kinan dengan begitu lembutnya. “Tidak apa sayang, jalankan kewajibamu mama tidak akan marah.”
“Mah, tolong beri izin Kinan untuk mencari pekerjaan sampingan setelah pulang sekolah. Kinan tidak ingin melihat mama terus menahan sakit seperti ini,” ucap Kinan setelah sekian lama membangun keberaniannya untuk mengucapkan kata itu.
Zena menggleng tegas raut wajahnya nampak tidak suka. “Tidak Kinan! Mama tidak akan mengizinkan kamu untuk bekerja sampingan di saat kamu masih sekolah!”
“Mah, Kinan berjanji tidak akan pernah melupakan sekolah Kinan. Kinan mohon mah, izinkan Kinan.” Kinan menunduk mencium punggung tangan Zena dengan air mata yang mengalir. “Kinan mau mama sembuh dan bisa melihat senyum Kinan lagi,” sambung Kinan dengan suara seraknya.
“Sebenarnya ini sangat berat untuk mama.” ucapan Zena terhenti. “Baiklah, Mama izinkan. Tapi, kamu harus janji sama mama kalau kamu tidak akan pernah melupakan sekolah kamu dan bekerjalah di tempat yang layak,” ucap Zena dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Kinan yang mendengar kalimat itu pun senang bukan kepalang. “Kinan berjanji mah dan Kinan akan berusaha mencari tempat kerja yang layak dan halal tentunya.” Kinan sedikit menggeser tubuhnya merapat pada tubuh Zena lalu Kinan memeluk wanita itu dengan erat. “Terima kasih mah,” ucap Kinan yang masih memeluk Zena.
“Sama-sama sayang.”
Kinan mengurai pelukannya. “Mama istirahat ya, jangan terlalu capek.”
Kinan membantu Zena berdiri dari duduknya lalu membawa wanita itu masuk ke dalam kamarnya dan membaringknnya kembali dengan penuh kasih sayang.
“Kinan tinggal ya mah, kalau butuh apa-apa panggil Kinan saja,” ucap Kinan sebelum pergi dari kamar Zena, gadis itu mencium keningnya.
Kinan membaringkan tubuhnya di atas kasur miliknya, mencoba menghilangkan penat yang seharian ini dipikulnya seorang diri. Kinan mulai berpikir ingin bekerja di mana nantinya. Bahkan semua restoran dan kafe yang didatanginnya selalu mempermasalahkan stastusnya yang masih pelajar. Alasan yang sangat pasaran dan Kinan muak mendengar itu semua.