“Apa betul kamu gadis yang bernama Kinan?”
Kinan tertegun ketika melihat wajah lelaki itu, entah mengapa seharian ini Kinan dikejutkan dengan hadirnya seorang lelaki paruh baya yang tidak dirinya kenal sebelumya.
“Iya pak, memangnya ada apa?” tanya Kinan sopan sembari meneliti penampilan lelaki itu yang tidak terlihat formal tapi masih sopan. Kinan memperkirakan umur lelaki itu tidak jauh beda dari Zenna—mamanya.
“Kamu tidak mengenali saya sama sekali?” tanyannya tidak percaya semudah itukah gadis itu melupakan pertemuannya di rumah sakit waktu itu?
“Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Maaf pak, mungkin saya lupa,” jelas Kinan yang masih mempertahankan senyumnya.
Kinan dan lelaki itu saling terdiam. Kinan tengah meneliti wajah lelaki itu dan mencoba mengingat apakah dirinya pernah bertemu atau tidak. Namun, sekelebat bayangan di mana dirinya penah menabrak seorang lelaki paruh baya yang tengah melintas di koridor rumah sakit waktu itu ….
“Jadi bapak yang waktu itu pernah saya tabrak? Maaf pak, saya benar-benar tidak sengaja,” pinta Kinan memohon dengan menangkupkan ke dua tangannya di depan d**a.
“Tidak pa-pa Kinan, turunkan tanganmu,” perintahnya lembut. “Jadi kamu sudah tahu siapa saya?” sambungnya bertanya.
“Iya pak, bapak yang waktu itu pernah saya tabrak di koridor rumah sakit. Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja. Waktu itu saya memang sedang terburu-buru,” jelas Kinan agar tidak ada kesalah pahaman.
“Baik saya akan ….”
Ponsel lelaki paruh baya itu berdering ada panggilan telepon masuk.
“Saya angkat terlebih dahulu.”
Kinan hanya mengangguk, lalu lelaki itu melenggang pergi sembari menempelkan gawainya tepat di telingannya.
Tidak lama dari itu, tiba-tiba gawai Kinan juga berbunyi. Setelah mendengar kabar itu, Kinan langsung berlari menuju ruang ganti, namun sebelum itu dirinya sudah izin terlebih dahulu kepada Lila selaku senior di situ karena sang atasan tengah pergi mengurus bisnis.
***
“Gavin, mana papa kamu?” tanya Saira—mama Gavin.
“Nggak tahu mah, Gavin cari di clubnya om Danu nggak ada,” jelas Gavin yang melemparkan tubuhnya di sofa ruang tamu hingga tubuhnya terpantul beberapa kali.
Saria mendengus kesal, di dalam hatinya wanita itu merutuki tindakan suaminya yang tidak pernah ingat umur. “Papa kamu itu kebiasaan Vin, udah tua masih aja main ke club temennya itu. Entah apa yang dicari.”
“Janda tetangga mah,” celetuk Gavin.
Mulut Gavin memang tidak pernah ada remnya ketika berbicara dengan orang tuanya. Bahkan Gavin lebih menganggap mama dan papanya itu sebagai temannya sendiri.
“Gavin, mama itu lagi serius loh. Mama lagi kemakan api cemburu, ehh kamunya malah jadi kompor,” omel Saira lantaran kesal dengan anak semata wayangnya itu.
“Ya, abisnya Gavin harus jawab apa mah? Biarin aja kali mah, papa juga butuh hiburan,” ucap Gavin seringan kapas lalu lelaki itu beranjak dari duduknya dan memilih untuk pergi ke kamarnya.
“Gavin mau kemana kamu?” tanya Saira sedikit berteriak. “Mama belum selesai bicara loh,” sambung wanita itu.
“Gavin mau mandi mah, biar ganteng. Siapa tau ada anak gadis orang yang kecantol,” jawab Gavin dengan candaan.
Saira menatap Gavin yang semakin menjauh dengan gelengan kepala. Gavin memang tidak jauh berbeda dengan dirinya, jika berbicara pasti keluar dari topik pembicaraan.
***
“Iya, nanti papa usahakan pulang cepat ya,” ucap Danu lembut.
“Iya sayang, tapi kalo papa nggak pulang cepet kamu jangan ngambek ya.”
Lelaki itu tengah merayu anak gadisnya yang tengah merajuk pada dirinya karena Danu selalu saja sibuk dan tidak ada waktu untuk keluarganya terutama pada anak gadisnya yang sudah dewasa.
Danu mematikan gawainya lalu memasukkan kembali ke saku celanannya dan berniat kembali mengobrol dengan Kinan. Namun, gadis itu sudah tidak berada di tempat.
“Lila, apakah kamu tahu kemana perginya Kinan? Kenapa saya kembali dia sudah tidak ada?” tanya Danu pada Lila yang kebetulan melintas.
“Maaf pak, Kinan mendadak pulang katanya ada urusan penting,” jelas Lila. “Kalau begitu saya permisi ya pak.”
“Iya, terima kasih ya Lila.”
“Iya pak, sama-sama.”
Danu menghela napasnya kasar lalu lelaki paruh baya itu memilih untuk kembali ke ruangannya. Ya, Danu adalah pemilik club ini. Tidak bisa Danu mengelaknya, caranya mendirikan usaha memang kotor. Bagaimana tidak, tepat di depan pintu terpampang jelas bahwa ini adalah tempat karaoke, namun siapa sangka isinya sama seperti club malam. Minuman beralkohol di mana-mana dan juga para wanita malam yang selalu singgah di tempatnya setiap hari tanpa henti. Akan tetapi, ini lah bisnis. Kejam.
***
Sementara itu, Kinan tengah berlari di koridor rumah sakit dengan air mata yang setia jatuh di setiap langkahnya. Di sana, di sebrang sana tidak jauh dari tempatnya berlari, Kinan melihat Della tengah berdiri di depan pintu rumah sakit dengan wajah yang sama kacaunya dengan Kinan.
“Dell.” Kinan memeluk sahabatnya dengan erat disertai air maya yang masih mengalir.
Della tidak membalas pelukan Kinan, bahkan rasanya gadis itu ingin melepaskan pelukan itu. Della sangat kecewa kepada Kinan karena sikapnya yang mulai berubah. Bahkan gadis itu sekarang tega meninggalkan mamanya sendiri dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.
“Dell, apa yang terjadi?” tanya Kinan sembari melepaskan pelukannya.
Della masih setia bungkam dengan air mata yang mengalir. Rasa kecewa kepada sahabatnya itu terlalu besar, sehingga menjawab pertanyaanya pun terasa enggan.
“Dell, jawab gua!” Kinan mengguncang tubuh sahabatnya itu agar Della mau membuka mulutnya, menjawab pertanyaanya.
“Dell, please jangan diemin gua.” Tubuh Kinan merosot karena sudah tak kuasa menahan tubuhnya.
Della masih bungkam, walaupun matanya melirik Kinan yang sudah terkapar tidak berdaya di atas lantai. Bahkan Della tidak peduli akan keadaan Kinan.
“Tante Zena kambuh,” ucap Della yang sekian lama membungkam.
Dengan sisa tenaga yang ada, Kinan mendongakkan kepalanya menatap Della. “Kambuh?” tanya Kinan lirih.
“Gua kecewa sama lo Nan, sikap lo berubah seolah nggak peduli dengan kondisi mama lo, bahkan saat tante Zena kambuh, lo nggak ada di rumah. Sebenernya lo kemana?” tanya Della kepalanya terlihat menggeleng samar.
Kinan terdiam, pandangannya tertunduk. Rasanya Kinan sudah tidak ada wajah untuk menemui Zena. Malu dan hina rasanya menjadi anak yang tidak ada saat mamanya kambuh.
“Gua belum bisa cerita sekarang,” ucap Kinan lirih diiringi isak tangis yang berusaha ia redam.
“Mau sampai kapan? Sebenernya gua dianggap sahabat atau nggak sih sama lo? Kenapa lo nggak pernah cerita sedikit pun tentang masalah lo, gua emang nggak bisa bantu apa-apa soal uang, tapi setidaknya gua bisa bantuin cari solusi,” ucap Della dengan perasaan amarah yang menggemu, namun gadis itu mencoba menahannya karena ia tahu kondisi Kinan saat ini tidak baik-baik saja.
Kinan teriam, ototnya seakan kaku hingga tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan seketika pita suaranya menghilang dalam hitungan detik. Ucapan Della sungguh menampar hatinya, Kinan baru menyadari betapa terpukulnya Della ketika dirinya tidak bercerita apa pun tentang masalahnya.
Kinan tetaplah Kinan, dengan sikap tidak ingin merepotkan orang lain yang selalu melekat pada dirinya. Bahkan sudah mendarah daging.
“Kinan, mari ikut saya. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan sama kamu,” ucap dokter yang menangani Zena. Raut wajahnya semakin membuat jantung Kinan berdetak kencang. Ketakutan itu seketika menyerang bagai batu besar yang menghantam tubuhnya.