Dering gawainya membangunkan Gavin dari tidur lelapnya. Lelaki itu berdecak kesal ketika mengetahui siapa yang meneleponnya dan menganggu waktu tidurnya.
“Udah inget rumah pah?” tanya Gavin dengan suara serak khas orang bangun tidur.
“Gavin, bukain pintu dong. Papa nggak bisa masuk ini, mama kamu marah sama papa,” ucap Banyu nadanya terdengar memelas.
“Wajar aja mama marah, papa nggak pernah nurut sih. Lagian udah tua masih aja main di club,” cibir Gavin.
“Hey, sama orang tua kok nggak ada sopan-sopannya. Papa cuma main, nggak minum kok.”
“Main janda maksdunya?”
“Gavin!” Banyu menggeram marah. Gavin memang benar-benar menguji kesabarannya.
“Iya, sebentar Gavin mau pake kolor dulu. Papa tunggu di bawah ya.”
Sementara itu Banyu yang tengah berada di luar, tepatnya di depan pintu dengan posisi jongkok. Wajahnya terlihat memelas ketika tak kunjung dibukakan pintu oleh sang istri. Banyu hampir lupa jika Saira memang tidak akan pernah main-main dengan ucapannya. Ini salahnya juga, mengapa bisa lupa waktu jika sudah bertemu dan mengobrol bersama Danu.
Banyu berdecak kesal ketika Gavin tidak kunjung membukakan pintu untuknya. Rasanya Banyu ingin merobohkan saya pintu yang tertutup rapat itu.
“Gavin kemana sih, nggak tau apa papanya lagi kebelet,” gerutu Banyu kesal.
Tidak lama kemudian pintu yang tertutup rapat itu akhirnya terbuka lebar dan munculah Gavin dengan wajah bantalnya tanpa atasan hanya kolor di atas lulut yang melekat pada tubuhnya.
“Lama banget sih,” gerutu Banyu.
“Ya maaf pah, Gavin tadi ke kamar mandi dulu,” ucap Gavin sembari menguap lebar.
“Udah sana kamu minggir, papa juga kebelet,” ucap Bayu lalu berlari ke dalam dan meninggalkan Gavin yang masih setia berdiri di depan pintu.
Gavin mendengus kesal ketika ditinggalkan seorang diri di ambang pintu. Lelaki itu menutup pintunya dengan perasaan kesal.
***
Kinan terdiam membisu ketika mendengar penjelasan dari dokter yang menangani kondisi Zena selama ini. Dokter menjelaskan penyakit TBC yang diderita Zena semakin parah dan ditambah lagi penyakit TBC itu sudah berdampak buruk pada kondisinya dan sudah berlanjut pada penyakit ginjal yang berat.
Dunia Kinan seakan runtuh secara bersamaan, meremukkan segala tulang-tulangnya lalu kembali di hempaskan ke jurang yang penuh duri. Adilkah takdir seperti ini? Hidupnya sudah menderita sejak di dalam kandungan, akankah penderitaan itu berlangsung sampai tua nanti?
Dokter menyarankan untuk mencarikan pendonor ginjal untuk Zena, namun lagi-lagi biaya operasi dan ginjal itu tidaklah murah. Harus kemana lagi dirinya mencari uang sebanyak itu?
Kinan memejamkan matanya erat samapi air itu keluar dari dalamnya mengalir bebeas membasahi pipinya. “Kira-kira, berapa biaya operasi mama saya dok?” tanya Kinan lirih.
“Kurang lebih seratus empat puluh juta, Kinan. Jika terus saja ditunda, maka nyawa mama kamu akan ….”
“Iya dok, saya akan berusaha lebih keras,” ucap Kinan lalu pamit untuk pergi dari ruangan dokter itu.
Della masih setia menunggu di depan kamar rawat Zenna, gadis itu begitu cemas ketika Kinan tidak kunjung keluar dari ruangan dokter. Hati Della tidak bisa tenang, pikirannya tertuju pada Zena yang masih memejamkan matanya rapat di atas brangkar rumah sakit dengan peralatan medis yang melekat pada tubuhnya.
Jika Della mengingat Zena terbaring mengenaskan di atas lantai seorang diri tanpa Kinan, detik itu juga rasanya Della ingin menampar Kinan sekuat tenaganya. Bagaimana bisa sahabatnya itu tega meninggalkan mamanya yang tengah sakit dalam kondisi tidak bisa melihat sendirian di rumah tanpa pengawasan.
Niat Della datang ke rumah Kinan adalah ingin mengajaknya mengerjakan tugas bersama, namun apa yang Della temukan? Zena yang tidak sadarkan diri tergeletak di atas lantai dengan posisi tengkurap. Sungguh, Della tidak ingin mengingatnya lagi.
Tidak berselang lama, Kinan keluar dari ruangan dokter dengan mata yang semakin sembab. Langkahnya begitu gontai seakan tidak ada gairah hidup untuk gadis itu. Matanya memandang kosong lurus ke depan dengan sesekali isak tangis yang lolos dari bibirnya.
Della berinisiatif untuk menuntun sahabatnya duduk di bangku. Ketika Della menarik Kinan, gadis itu sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Jujur, Della tidak sanggup melihat Kinan sehancur ini. Baru pertama kali ini Della melihat Kinan terpuruk seperti ini.
“Gua harus nyari kemana uang sebanyak itu Dell?” tanya Kinan dengan suara lirih dan pandangannya masih menatap kosong ke depan. “Gua harus apa?” tanyannya lagi.
Della mengusap bahu Kinan lembut, sekesal apa pun dirinya kepada Kinan pastilah seorang sahabat tidak akan tega melihat kondisi sahabatnya sehancur ini.
“Memangnya apa kata dokter?”
“Ginjal mama gua harus dioperasi Dell dan biayanya itu seratus empat puluh juta. Uang sebanyak itu gua harus dapet dari mana?”
Della membisu gadis itu sungguh terkejut dengan penjelasan singkat yang Kinan ucapkan. uang sebanyak itu bagaimana Kinan bisa mendapatkannya? Uang makan sehari-hari saja pas-pasan.
“Jika saja lelaki itu tidak pengecut, mungkin saat ini gua sama mama bahagia. Lelaki yang seharunya gua panggil papa udah lenyap di muka bumi ini. Gua benci. BENCI SAMA LAKI-LAKI PENGECUT, NGGAK MAU TANGGUNG JAWAB SEENAKNYA NINGGALIN KEWAJIBANNYA TANPA MEMBERIKAN SEPESER UANG PUN UNTUK ANAK DAN ISTRINYA HIDUP!” teriak Kinan frustasi. Banyangan lelaki itu membuat emosinya semakin memuncah. Di saat kesulitan seperti ini, lelaki itu tidak ada di samping Kinan dan mamanya.
Della memeluk Kinan erat, gadis itu berusaha menenagkan Kinan. “Kinan, ini tempat umum. Kasian pasien yang lain kalo lo teriak-teriak gitu. Inget Nan, mama lo butuh support dari lo, dukungan dari anak tersayangnya menjadi kekuatannya untuk sembuh. Nan, nggak ada gunannya lo benci sama papa lo, toh dia nggak ada di sini.
Kinan terdiam lalu mengangguk membernarkan ucapan Della. “Lo bener Dell,” ucap Kinan mata sembabnya menatap Della. “Tapi lo nggak pernah tahu gimana perasaan gua. Emang nggak ada gunannya beci sama dia, tapi setiap gua liat mama gua sakit, entah kenapa wajah dia selalu ada di otak gua.”
Della melihat betul kilatan kebencian dari mata Kinan saat gadis itu mengingat papanya yang sidah tega meninggalkannya dan mamanya tanpa nafkah sedikit pun.
“Dunia gua runtuh Dell, nggak ada harapan lagi buat gua bangkit jika mama nggak ada di hidup gua. Tapi, kenapa Tuhan tidak pernah adil? Tuhan selalu saja merenggut kebahagiaan gua Dell, mulai gua lahir nggak punya sosok papa, dan sekarang gua harus nyaksiin mama gua sakit parah. Dan lo tau? nyawa sebagai taruhannya.”
Curahan hati Kinan bagaikan lahar panas yang baru saja dimuntahkan ke daratan. Baru kali ini Della mendengar curahan hati Kinan yang selama ini dipendamnya seorang diri. Sedih. Della merasakannya ketika menatap mata sipit Kinan yang sudah mulai membengkak akibat terlalu lama menangis.
Della mengulurkan tangannya mengusap pipi Kinan yang basah akibat air matanya. Usapan itu begitu lembut seolah Kinan adalah sebuah kaca usang yang mudah pecah.
“Gua tau perasaan lo Nan, sekarang hati lo hancur dunia lo runtuh, tapi lo harus tahu satu hal, lo nggak boleh terus-terusan seperti ini. Ingat, masih ada mama lo yang butuh semangat dari anaknya untuk memperjuangan hidupnya,” ucap Della mencoba menguatkan dan menyadarkan Kinan dari keterpurukan yang dialaminya.