“Maaf saya tidak sengaja,” ucap Kinan sembari membantu lelaki paruh baya itu berdiri. “Maafkan saya pak, saya benar-benar tidak sengaja.”
“Kamu karyawan baru?” tanyannya sembari membenarkan jasnya yang sedikit berantakan akibat terjatuh tadi.
“Iya pak, saya karyawan baru. Saya mohon pak, jangan anduin ke tasan saya, saya masih menginginkan pekerjaan ini,” pinta Kinan sembari menangkupkan tangannya di depan d**a.
“Sepertinya kamu gadis baik-baik, kenapa bekerja di tempat seperti ini?” tanyannya dengan alis terangkat satu.
“Maksud bapak apa?” tanya Kinan tidak mengerti, mengapa dirinya selalu saja mendapat pertanyaan yang sama?
“Kamu nggak sibuk ‘kan? Bisa kita ngobrol?”
“Tidak ada pak, memangnya ingin membicarakan apa?”
Lelaki paruh baya itu membawa Kinan ke salah satu tempat duduk pengunjung yang berada di dekat jendela. Awalnya Kinan ragu untuk mengikutinya, namun karena paksaan lelaki itu akhirnya Kinan menyetujui ajakannya.
“Nama kamu siapa? Dari tadi kita berbicara, tapi saya belum mengetahui nama kamu.”
“Nama saya Kinandita, pak,” ucap Kinan tersenyum sopan.
“Kenapa kamu bisa berada di tempat seperti ini? Bahkan kamu terlihat gadis baik-baik,” selidiknya mulai mencari informasi.
“Memangnya ada apa dengan tempat ini pak? Saya lihat baik-baik saja tidak nampak mencurigakan,” ucap Kinan memberikan asumsi.
“Tempat ini semacam club, tempat semua orang melepaskan penat dan masalahnya. Mungkin dari luar tidak nampak seperti itu, tapi percayalah ini dunia bisnis dan harus pandai berkamukflase untuk mengecoh para polisi. Apa kamu tidak tahu botol yang kamu bawa tadi berisi apa?”
Kinan menggeleng, “Saya tidak tahu pak, tapi … ada bau menyengat setiap kali saya mencium aromannya,” jelas Kinan yang mulai terbuka.
“Itu adalah minuman keras, Kinan. Sudah saya duga bahwa kamu adalah gadis baik-baik. Saya adalah Banyu Kusuma teman pemilik club ini.”
Kinan tercengang ketika mendengar penjelasan dari Banyu. Ternyata tempat ini tidak sebagus yang dirinya lihat. Ternyata selam ini … Kinan merasa seperti orang bodoh selama ini.
Banyu terkekeh ketika melihat wajah Kinan berubah tegang. Banyu tahu gadis itu memang tidak ingin bekerja di tempat ini, mungkin karena suatu hal yang membuatnya terjerumus kedalamnya.
“Kamu mengingatkanku pada seseorang,” ucap Banyu tanpa ia sadari.
“Maksudnya?” tanya Kinan terheran.
“Oh, tidak. Saya hanya salah ucap,” kilahnya. “Kamu boleh kembali bekerja.”
Banyu bangkit dari duduknya lalu mengusap wajahnya yang terlihat frustasi kemudian tanpa menatap Kinan lelaki paruh baya itu melenggang pegi.
Kinan belum juga beranjak dari duduknya bahkan setelah lima menit yang lalu Banyu meninggalkan tempat. Kinan masih tidak percaya mengenai pekerjaannya saat ini. Menjadi pelayan di club? Akankah itu pekerjaan yang terpuji atau tercela? Sungguh, Kinan merasa bersalah pada Zena. Gadis itu berasa bahwa telah melanggar janjinya sendiri.
Kinan terlihat menghela napasnya pelan lalu gadis itu memilih untuk beranjak dari duduknya dan kembali melanjutkan pekerjaanya yang sempat tertunda. Baru saja Kinan bangkit dari duduknya, tiba-tiba gadis itu melihat sesosok lelaki yang paling ia kenali.
“Mati gua, kenapa dia ada di sini sih?” gumamnya sembari membalikkan badannya.
“Permisi mbak, apa tadi mbak sempat melihat papa saya? Pak Banyu namannya, pasti mbak kenal soalnya papa saya sering banget ke sini.”
Kinan hampir saja terjungkal dari temnpatnya berdiri. Pasalnya lelaki itu menghampirinya dan menannyakan Banyu.
‘Sebentar, Banyu? Bukankah itu lelaki yang sempet ngobrol sama gua ya?’ tanya Kinan dalam hati.
Kinan berdehem pelan mencoba menghilangkan kegugupan yang sedari tadi melanda. “Saya tidak tahu,” ucapnya lalu melenggang pergi begitu saja.
“Aneh,” gumam Gavin terheran ketika melihat tingkah pelayan yang aneh itu.
“Papa kemana sih? Heran deh, udah tua juga masih aja mampir ke tempat kaya gini. Ngasih contoh ke anaknya kok nggak baik,” dumal Gavin kesal lantaran Banyu tidak pernah menyadari umurnya yang hampir berkepala lima, namun masih saja mengunjungi tempat laknat seperti ini.
Gavin mengibaskan tangannya tepat di depan hidungnya mencoba mengusir bau asap rokok yang menerpa wajahnya serta bau alkohol yang menusuk indera penciumannya. Walaupun Gavin anak berandalan, namun lelaki itu masih tahu mana yang baik dikonsumsi dan yang tidak baik dikonsumsi.
Gavin hampir menyerah ketika tidak mendapati papanya di sana. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk pergi, namun langkahnya terhenti ketika melihat seorang pelayan dengan rambut sepanjang lehernya tengah membawa nampan berisikan gelas dan minuman. Gavin semakin menyipitkan matanya dan meneliti gadis itu.
“Gavin, gila lo ya nyuruh gua nunggu di luar, lo kira nggak panas apa?” cerocos Pipin yang tiba-tiba datang menghampiri Gavin.
“Berisik banget lu ah, nggak tau apa gua ini lagi meneliti sesuatu,” ucap Gavin menggeram kesal. Lalu tatapannya kembali pada sesosok gadis yang diamatinya tadi, namun tiba-tiba gadis itu menghilang tanpa jejak.
“Ah, gara-gara lo nih gua jadi kehilangan jejak,” ucap Gavin berdecak kesal.
“Emang lo lagi meneliti apa sih? Kaya ilmuan dadakan lo,” cibir Pipin, namun matanya juga ikut meneliti seperti Gavin. Lelaki itu ingin tahu apa sih sebenarnya yang membuat Gavin sekesal itu kepadanya.
“Udah lah, yuk pulang. Lo nggak nemuin bokap lo ‘kan?” tanya Pipin sembari menarik kerah baju Gavin hingga sang empu terseret mengikuti langkah Pipin.
“Santai aja kali gua bukan kambing!” Gavin menghempaskan tangan Pipin yang berada di kerah bajunya.
“Lagian lo ganteng-genteng tapi budeg,” cibir Pipin lagi-lagi membuat Gavin kesal.
Rasanya Gavin ingin sekali melayangkan satu tinjuan untuk bibir Pipin yang katanya sexy itu, namun niatnya di urungkan karena dirinya tidak mau merogoh kocek untuk pengobatan Pipin.
***
Kinan menghela napasnya lega sembari tangannya mengelus dadanya pelan tanda bahwa gadis itu telah melewati kepanikan yang sedari tadi nelanda. Bagaimana tidak, Gavin menatapnya penuh selidik saat dirinya tengah memberikan minum kepada pengunjung. Namun, untung saja Gavin tidak menghampirinya, jadi rahasia yang selama ini Kinan simpan tidak akan pernah terbongkar.
“Heh, kamu ngapain di sini?” tanya Lila sembari mendorong tubuh Kinan sampai punggungnya terbentur pinggiran meja.
“Aduh kak, punggung aku sakit.” Kinan memegangi punggungnya yang terasa nyeri akibat benturan keras tadi.
“Apa peduli gua? Lo ngapain di situ? Bukannya kerja malah ngumpet.”
“Maaf kak, saya lagi sembunyi takut temen saya lihat kalo saya kerja di sini,” jelas Kinan.
Lila nampak memincingkan sebelah matanya, “emangnya kenapa? Lo bukan salah satu wanita malam di sini ‘kan? Toh juga lo kerjannya cuma nganterin minuman, nggak lebih dari itu. Gitu aja kok dibawa repot,” cibir Lila lalu melenggang pergi begitu saja.
Lagi-lagi Kinan mengusap dadanya berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk bersabar melewati cobaan berat ini. Baru saja dirinya hendak beranjak, tiba-tiba Kinan dikejutkan dengan seseorang yang berdiri tepat di depannya.
“Apa betul kamu gadis yang bernama Kinan?”