“Kinan, tunggu!”
Kinan menoleh kebelakang dan mendapati Gavin tengah mengejar dirinya.
“Mau apa lagi sih tuh cowok,” gumam Kinan kesal.
Kinan berlari kecil untuk menghindari Gavin, namun karena langkah lelaki itu lebih lebar, alhasil saat ini Gavin sudah berada di hadapan Kinan dengan napas tersenggal akibat berlari.
“Kin, please jangan menghindar dari gua,” ujar Gavin memohon.
“Mau lo apa sih? Belum cukup tamparan yang gua kasih kemaren? Apa mau yang lebih?” tanya Kinan yang sudah mulai jengan dengan tingkah Gavin.
“Kin, gua tau lo lagi kesusahan. Lo lagi nyari kerja buat pengobatan mama lo ‘kan? Gua bisa bantu sampai mama lo sembuh.”
“Gua nggak butuh belas kasihan dari lo,” ucap Kinan dengan wajah yang datar, lalu gadis itu melenggang pergi meninggalkan Gavin seorang diri.
“Kinan, please jangan keras kepala.” Gavin kembali menghadang langkah Kinan.
Gadis itu berdecak kesal, “Gua udah bilang berapa kali sama lo, kalo gua nggak butuh belas kasihan dari lo. sekarang lo minggir atau burung lo gua tendang!” ancam Kinan melirik aset bergara milik Gavin dengan tajam.
Gavin menelan ludahnya kasar ketika mendengar ancaman Kinan yang nampaknya tidak main-main.
“Sekarang lo minggir!” perintah Kinan.
Mau tidak mau Gavin harus menyingkir dari hadapan Kinan demi aset berharganya yang harus diselamatkan.
Gavin menghela napasnya kasar ketika melihat punggung mungil Kinan sudah menjauh dari hadapannya. Niat Gavin baik untuk menolong Kinan, namun mengapa gadis itu mempunyai pikiran Gavin kasihan padanya?
“Woy! Diem-diem baek, ngopi apa ngopi,” gurau Pipin yang kemunculannya membuat Gavin hampir saja kehilangan detak jantungnya.
“Berisik lo!” Gavin memukul kepala Pipin sampai sang empu menggaduh kesakitan.
“Sakit dodol, lo kira kepala gua ini samsak apa yang bisa seenaknya lo pukul?” tanya Pipin dengan wajah kesalnya.
“Lagian lo kenapa sih dateng-dateng bikin kaget orang? Nggak ada kerjaan lain apa?”
“Santai bos, nggak usah ngegas soalnya masih pagi ini.”
Candaan Pipin lagi-lagi membuat Gavin ingin melayangkan pukulan yang lebih keras dari sebelumnya. Namun, niatnya itu Gavin urungkan karena kasihan apa bila melihat kepala Pipin benjol gara-gara dirinya.
“Lo kenapa sih?” tanya Pipin ketika melihat Gavin yang terdiam. “Kenapa lagi sama si Kinan?” sambungnya bertanya.
“Dia nolak bantuan dari gua, dia kira gua cuma kasian sama dia,” ucap Gavin nadanya lemas ketika ucapan penolakan Kinan menari-nari di dalam otaknya.
Pipin menepuk pundak Gavin beberapa kali, “Sabar bro.”
“Udah cuma gitu doang?” tanya Gavin membeo.
“Iya lah, terus gua harus apa? Cipika-cipiki gitu? Dih ogah, gua sih masih normal nggak belok kaya lo,” cibir Pipin.
“Sembarangan lu kalo ngomong, gua juga normal kali!” Gavin membantah ucapan Pipin tegas.
“Canda Vin,” ucap Pipi disusul gelak tawa keduanya.
Gavin merangkul pundak Pipin lalu keduanya berjalan beriringan dengan gelak tawa yang masih terdengar. Keduanya menyusuri korodor sekolah untuk menuju kelasnya.
***
Di depan kelas, Kinan tidak sengaja berpapasan dengan Jesika yang hendak keluar. Kinan mengerutkan keningnya ketika Jesika berlalu begitu saja tanpa berbicara satu kata pun dan yang lebih membuat Kinan terheran adalah sikap Jesika yang belakangan ini nampak diam tidak mengusik Kinan seperti biasanya.
Kinan tidak ingin mengambil pusing perubahan sikap Jesika itu, gadis bermata sipit itu langsung masuk ke kelasnya lalu menghampiri meja yang sudah terdapat Della di sana.
“Morning, Dell,” sapa Kinan ramah.
Della nampak terdiam seolah sapaan Kinan adalah angin lalu. Kinan tambah dibuat terheran ketika Della meinggalkan Kinan seorang diri.
“Della, lo kenapa sih?” tanya Kinan sembari menyamai langlkah Della yang semakin lebar.
“Dell, lo nggak denger gua ya?”
Lagi-lagi pertanyaan Kinan hanya dianggap angin lalu begitu saja oleh Della. Gadis berambut ikal itu terus berjalan tanpa mempedulikan Kinan yang terus mengejarnya.
“Della kenapa ya?” gumam Kinan. “Apa semalem gua salah ngomong kali ya?” lagi-lagi Kinan berbicara seorang diri.
***
Jam pulang sekolah telah tiba dan belnya pun sudah berbunyi bertanda pelajaran hari ini telah berakhir. Selama jam pelajaran dimulai sampai selesai, Della belum juga membuka suaranya dan yang membuat Kinan semakin bingung adalah sahabatnya itu pindah tempat duduk menjadi paling belakang, padahal Kinan tahu betul jika Della tidak suka duduk di sana.
“Dell, gua duluan ya,” ucap Kinan sebagai perpisahan untuk hari ini.
Della hanya diam, gadis itu masih saja disibukkan dengan buku-bukunya yang ingin dimasukkan ke dalam tas.
Kinan menghela napasnya kasar ketika tidak mendapat respon apa-apa dari Della akhirnya Kinan lebih memilih untuk keluar kelas terlebih dahulu.
“Kinan!”
Mata Kinan terpejam erat dan tangannya pun terkepal dengan kuat ketika suara itu meneriaki namannya.
Gavin, lelaki itu semakin mendekat di mana Kinan berdiri tegak.
“Kita pulang bareng ya? Soalnya gua mau jenguk mama lo,” Jelas Gavin ketika sudah berada di dekat Kinan.
Kinan memutar tubuhnya menjadi menghadap Gavin dengan bersidekap d**a. “Mau lo apa sih Vin? Nggak usah kasihanin gua, karena gua nggak butuh belas kasihan dari lo!”
“Kin, dengerin gua dulu.”
Gavin mencekal pergelangan tangan Kinan ketika gadis itu ingin pergi.
“Lepas Vin,” ucap Kinan tegas dan masih berusaha melepaskan cekalan itu.
“Enggak akan! Sebelum lo ngizinin gua buat ketemu sama mama lo.”
Tatapan Gavin geitu tegas dan Kinan tidak bisa berkata-kata. Jika Gavin sudah melayangkan tatapan seriusnya, itu berarti lelaki itu sedang tidak main-main dan juga tidak ingin dipermainkan.
“Vin, lepas ….”
“Gua rasa pendengaran lo masih normal Kin,” ucap Gavin dan lagi-lagi tatapannya membuat Kinan terdiam.
“Semua masalah gua lo nggak perlu tahu dan ikut campur Vin.” Ucapan Kinan tidak kalah serius dari Gavin. “Gua nggak butuh belas kasihan dari lo,” sambung Kinan lalu dengan sekuat tenaga gadis itu menghempaskan tangan Gavin hingga cekalan tangannya terlepas.
“KIN, GUA HARAP LO JANGAN EGOIS!” teriak Gavin lantang.
***
Kinan menghempaskan tas sekolahnya di dalam lemari kecil tepat di pojok ruang tempatnya bekerja. Mulai dari sekarang jadwal Kinan telah berubah karena bila bekerja di malam hari Kinan tidak sanggup meninggalkan Zena yang menunggunya seorang diri seperti malam kemarin.
“Kinan, cepet ganti baju ya bentar lagi giliran lo,” ucap Lila sembari menyesap minuman berwarna merah itu dari botolnya.
“Iya kak, sebentar lagi aku siap kok.”
“Jangan lelet,” ucapnya lagi lalu melenggang pergi.
Kinan sangat menyayangkan Lila berpenampilan seperti itu. Tubuhnya yang mulus dan bagus harus rela digerayangi oleh tengan-tangan para lelaki hidung belang hanya karena uang. Uang memang segalanya, tapi tidak harus merelakan tubuhnya yang paling berharga itu bukan?
“Ngapin masih di sini? Niat kerja nggak?”
Suara Lila membangunkan Kinan dari lamunannya.
“Iya kak, bentar lagi aku selesai kok.”
“Dari tadi bentar-bentar terus entah kapan siapnya.”
Kinan hanya tersenyum ketika mendengar sindiran tajam yang Lila berikan. Toh kalau mau membantah juga tidak ada guannya. Maka dari itu Kinan memilih untuk mengalah dari pada harus adu mulut dengan seniornya itu.
Kinan keluar dari ruang ganti dengan keadaan yang sudah rapih dengan pakaian khas pelayan yang melekat pada tubuhnya. Namun, pakaian yang Kinan gunakan tidak seperti yang lainnya. Kinan mengenakan pakaian yang sopan baju putih longgar lengan panjang dipadukan dengan rok span di bawah lutut.
Saat Kinan ingin berjalan ke salah satu meja pengunjung, gadis itu tidak sengaja menabrak seseorang sampai membuat baju seseorang itu basah karena minuman yang dibawanya tumpah.
“Maaf saya tidak sengaja,” ucap Kinan menunduk takut.