21

1209 Words
Pagi harinya. Kinan masih setia menunggu Zena di dalam kamar rawatnya. Tangannya masih setia menggengam tangan Zena yang terdapat jarum infus di sana. Namun, mungkin Kinan harus lebih banyak bersabar karena sedari tadi Zena belum juga membuka matanya. Untuk hari ini, Kinan izin tidak bisa masuk kerja dengan alasan menjaga mamanya yang tegah sakit. Untunglah Lila berbaik hati memberikan izin satu hari untuknya. Saat Kinan tengah asyik mengamati wajah Zena yang damai terlelap, tiba-tiba dokter kembali memanggilnya untuk ikut bersamanya. Kinan mengangguk tanpa suara, lalu beranjak dari duduknya mengikuti langkah dokter itu. “Bagaimana keadaan kamu, Kinan? Saya berpesan jangan terlalu lelah, kasihan mama kamu jika nanti kamu jatuh sakit,” ucapnya dengan senyuman. Kinan pun membalas senyuman itu. “Baik dok, saya akan menjaga diri saya agar tetap bisa menjaga mama.” Dokter terlihat menghela napasnya pelan lalu melepas kancing jas putihnya agar napasnya tidak sesak. “Saya sangat berat mengatakan ini, tapi bagaimana pun juga kamu harus melunasi kewajiban kamu.” Ucapan dokter itu terhenti, setelah mengambil napas lalu melanjutkan lagi ucapannya yang sempat tertunda. “Kamu harus segera melunasi biaya administrasi,” sambungnya. Kinan nampak membisu, gadis itu tengah memutar otak untuk mendapatkan uang yang jumblahnya pasti tidak sedikit. “Akan saya usahakan malam ini ada dok,” ucap Kinan yakin. “Baiklah, secepatnya ya. agar penanganan ibu Zena segera ditindak lanjuti,” jelas sang dokter. Kinan mengangguk lalu tersenyum. “Iya dok, lakukan yang terbaik untuk kesembuhan mama saya.” “Kami para tim medis akan berusaha sekuat tenaga, tapi kamu juga harus banyak-banyak berdo’a karena lagi-lagi kesembukan itu ada di tangan Tuhan. Para tim medis hanya bisa membantu semampunya.” Kinan tersenyum lalu mengangguk pelan. Gadis itu masih berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya administrasi terlebih dahulu. Namun, tiba-tiba munculah ide untuk meminjam di tempatnya bekerja. Kinan rasa akan diperbolehkan, gaji bulan ini akan dirinya ambil terlebih dahulu. *** Kinan kembali menemani Zena. Beberapa menit yang lalu wanita itu sudah siuman. Kinan senang bukan kepalang ketika bisa melihat mata Zana kembali terbuka, meskipun wanita itu tidak bisa melihat, namun setidaknya Kinan masih bisa mendengar suara merdunya. “Mama mau minum?” tanya Kinan tidak tega melihat bibir Zena kering. Zena mengangguk. “Boleh sayang, maaf ya mama selalu merepotkan kamu,” ucap Zena tidak enak hati. “Mama bicara apa sih? Sudah menjadi kewajiban Kinan untuk mengurus mama, seperti yang mama lakukan ketika Kinan waktu kecil,” ucap Kinan sembari membantu Zena duduk. “Ini minumnya mah,” sambung Kinan sembari membantu Zena memegang gelas kaca itu. “Terima kasih sayang,” ucap Zena lalu kembali berbaring. “Sama-sama mah, mama istirahat ya biar kondisinya cepet pulih. Kinan sedih kalo harus liat mama pucat begini. Kinan pengen lihat wajah mama kembali berseri.” Zena terkekeh pelan,” Do’akan mama ya sayang,” ucap Zena sembari tangannya terulur untuk mengusap pipi Kinan yang selama ini Zena rindukan rasa halusnya. Kinan menangkup tangan Zena yang berada di pipinya lalu dielusnya pelan. “Kinan akan selalu mendo’akan mama.” Setelah Zena tertidur pulas, barulah Kinan berani keluar dari kamar itu. Saat ini gadis itu tengah berada di sebuah taman rumah sakit, mencoba menghirup udara segar di sana dan berharap bisa sedikit mengurangi beban pikirannya. Kini jam menunjukan pukul 11.00 WIB, panas matahari mulai terasa menyengat di permukaan kulitnya. Tangan kanan Kinan berada di atas kepalanya untuk menghalau sinar mata hari yang menyorot tajam ke arahnya. Gadis itu menghela napas pelan ketika mengingat pertemuannya dengan lelaki paruh baya yang mempunyai usaha club itu. Entah mengapa wajahnya tidak terlalu asing di matanya, mungkin saja karena Kinan sudah pernah bertemu dengannya di koridor rumah sakit. Saat Kinan tengah asyik melamun, tiba-tiba gawainya berdering ada panggilan masuk. Nampak jelas nama yang tertera di sana “Della” itulah si penelepon yang membuyarkan segala lamunan Kinan. “Iya, kenapa Dell?” tanya Kinan. “Lo masih ada di rumah sakit ‘kan? Gua mau nyusul ke sana,” ucap Della yang berada di sebrang sana. “Tunggu, bukannya ini masih jam sebelas ya? jangan bilang lo bolos!” tuduh Kinan. “Gua nggak pernah ngajarin lo bolos ya Dell,” sambung Kinan nadanya terdengar marah karena mengira Della membolos sekolah. “Kinan, bisa nggak lo itu nggak usah nuduh gua macem-macem? Sekolah juga udah pada bubar kok,” jelas Della. Kinan menghela napasnya lega ketika mendengar penjelasan Della. Ternyata tuduhannya salah. “Ya udah lo kesini dah, gua juga ada urusan penting.” “Penting, lo mau kemana lagi?” tanya Della namun tidak kunjung mendapat jawaban dari Kinan. “Nan, halo. Lo masih di sana ‘kan? Tanya Della lagi, namun hasilnya sama saja. Della melihat layar gawainya ternyata panggilannya terputus secara sepihak. “Kebiasaan nih, gua paling nggak suka kalo di giniin,” gumam Della mendengus kesal. *** Saat Della bertanya Kinan mau pergi kemana, Kinan langsung mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Kinan masih bingung ingin menjelaskan dari mana, karena Kinan juga tidak ingin berada di pekerjaan itu. Kinan merasa ini semua jebakan, tapi siapa yang menjebaknya? Kinan kembali beranjak dari duduknya, gadis itu berniat untuk kembali ke ruang rawat mamanya. Namun, ketika di pertengahan jalan, Kinan melihat sesosok gadis yang amat dikenalinya. “Ehh, ada anaknya penggoda nih. Apa kabarnya? Udah lama ya kita nggak ketemu. Gimana hasil jual tubuhnya, laku nggak? Dibayar berapa juta sama om-om hidung belang?” tanya Jesika menatap Kinan mencemooh. Kinan memincingkan sebelah matanya, seolah gadis itu sudah tidak peduli lagi dengan hinaan dan canian yang selama ini Jesika berikan kepadanya. "Gua rasa lo itu gadis yang kurang kasih sayang ya? bisanya kok cuma ngehina orang yang lebih lemah. Apa kurang uang bulanan yang dikasih sama orang tua lo? ups, gua lupa. Lo kan anaknya pemborosan,” ucap Kinan menekan kata ‘pemborosan.’ “Terus kemana larinya pacar-pacar nggak tau diri lo itu?” sambung Kinan. Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika Jesika mempunyai banyak cowok dan bodohnya lagi gadis itu mau-mau saja dibohongi dan dikuras habis uangnya. Meskipun cantik, tapi Jesika kurang pintar memilah lelaki yang pantas menjadi pendamping hidupnya. “Udah ya, gua mau pergi dulu. Nggak ada gunannya gua ngomong sama lo!” ucap Kinan tajam lalu melenggang pergi meninggalkan Jesika. Jesika mengepalkan tangannya erat. Gadis itu tidak terima jika Kinan selalu saja bisa mengalahkan ucapannya dan pada akhirnya Jesika juga yang akan menahan malu. “Awas lo Kinan!” gumam Jesika dadanya menyimpan penuh dendam amarah. *** Della sudah datang sejak beberapa menit yang lalu dan masih mengenakan baju seragam sekolah, Kinan yang melihat Della masih mengenakan seragam tentu saja tidak suka. “Kenapa lo masih pake seragam sih Dell? Emangnya besok lo nggak sekolah?” tanya Kinan yang memandang tajam ke arah Della. Della mengeluarkan permen lollipopnya yang sedang gadis itu emut. “Ya sekolah lah Nan, nanti kalo gua nggak sekolah lonya yang nyerocos nggak jelas,” sindir Della lalu kembali memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. Kinan mendengus kesal, “Terus kenapa ke sini masih pake baju sekolah? Nanti baju lo kusut, Della.” “Tenang aja, gua masih ada satu baju lagi di rumah. Udah ya, Kinandita yang cantik nggak usah ngomel terus. Sahabat lo ini lagi capek abis pulang sekolah,” ucap Della berusaha mengakhiri perdebatan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD