“Dell, tolong jagain mama gua sebentar ya. gua ada urusan,” ucap Kinan setelah diam beberapa saat setelah perdebatan itu.
Della menatap Kinan penuh selidik. “Lo mau pergi ke mana? Dari tadi loh gua nannyanya tapi lo selalu menghindar.”
“Dell, gua mau nyari pinjeman buat biaya administrasi rumah sakit. Jadi, tolong jaga mama gua sebentar,” jelas Kinan. Gadis itu tidak berbohong sama sekali.
“Lo mau nyari pinjeman di mana?” tanya Della masih menatap Kinan penuh selidik.
“Lo nggak perlu tau Dell. Gua nitip mama ya,” ucap Kinan langsung melenggang pergi dari tempatnya.
Baru saja bibir Della terbuka, namun Kinan sudah terlebih dahulu meninggalkannya seorang diri di kamar rawat Zena.
“Kebiasaan banget,” ucap Della berdecak kesal.
***
“Papa itu keterlaluan mah, mama sakit aja dia nggak ada,” ucap Jesika nadanya naik. Gadis itu marah karena papanya selama dirinya hidup tidak pernah ada untuk keluarganya yang ada dia hanyalah gila kerja. Sehari-hari di tempat kerja, seperti tidak mempunyai keluarga, dan rumah.
Nidya—mama Jinan hanya tersenyum tipis ketika melihat raut wajah sang anak mulai masam akibat mengingat perlakuan papanya terlalu buruk kepdanya. “Sudahlah, yang penting mama tidak pa-pa. hanya darah rendahnya kambuh.”
Jinan menghela napasya kasar, “Terserah mama deh, yang penting mama nggak boleh kecapekan lagi. Jinan nggak mau lihat mama sakit,” ucap Jinan memeluk Nidya erat.
Pertemuan Jinan dan Kinan memanglah tidak disengaja. Keduanya memang berada di rumah sakit yang sama. Namun, berbeda ruangan. Saat itu Jinan tidak sengaja melintas di sekitaran taman rumah sakit dan gadis itu melihat Kinan tengah melintasi daerah yang sama. Jinan tidak menyia-nyiakan pertemuan itu untuk menghina Kinan, karena akhir-akhir ini jarang sekali bertemu dengan Kinan dan tentunya jarang pula untuk mengusik hari gadis itu.
Jinan memanglah berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Namun, satu hal yang gadis itu tidak punya, yaitu kasih sayang dari seorang papa. Ya, sedari dirinya kecil papanya selalu saja bekerja dan jarang pulang ke rumah. Bahkan hari libur pun papanya tidak ada di rumah. Maka dari itu Jesika terlihat urakan dan bebas main sana-sini.
Nidya pun juga kurang memperhatikan pergaulan Jesika, yang wanita itu tahu adalah shopping dan menghamburkan uang suaminya. Dalam hidup Nidya jika tidak menghabiskan uang rasanya kurang komplit.
Jesika dibesarkan di rumah megah bak istana, namun dengan seorang pengasuh bukan dari tangan ke dua orang tuanya sendiri. Sungguh malang nasib Jesika.
“Mah, lain kali jangan traveling terus. Sekali-kali mama ada di rumah,” ucap Jesika nadanya sinis, namun penuh harap.
Nidya menghela napasnya pelan. “Kamu kan tahu sayang, mama itu paling nggak bisa kalo di rumah.”
Jesika hanya diam rasanya enggan untuk memulai perdebatan dengan Nidya. Semakin hari Jesika merasakan keluarganya tidak ada harmonisnya sama sekali, yang tercipta di rumahnya hanyalah pertengkaran lalu berakhir saling diam, tidak ada yang mau mengalah. Semuanya keras kepala.
“Udah yuk kita pulang, mama mau istirahat,” ucap Nidya yang sudah beranjak dari brangkar rumah sakit.
“Inget juga punya rumah,” sindir Jesika tajam.
***
Di tempat Kinan berada. Gadis itu tengah berdiri di bawah teriknya matahari. Di depan gedung di mana saat ini dirinya bekerja. Ada rasa ragu untuk melangkah masuk ke dalamnya. Rasa bimbang itu semakin menyelimutinya ketika ucapan Lila menghantui dirinya.
Beberapa detik yang lalu, Kinan menelpon Lila memastikan apakah dirinya boleh meminjam uang untuk sementara waktu dan untuk menyicilnya bisa memotong sebagian gajinya di bulan depan. Namun, yang Kinan dapatkan adalah cacian dari Lila. Lila mengatakan bahwa Kinan anggota baru tidak sepantasnya memijam uang. Bahkan usia bekerjanya masih bisa dihitung menggunakan jari.
Akan tetapi, Kinan tidak menyerah sampai di situ. Masih ada banyak pintu kesempatan untuk mendapatkan uang itu, demi Zena—mamanya yang tengah membutuhkan uang itu.
Kinan masih saja setia berdiri di depan pintu bercat hitam itu. Hatinya masih meragu. Namun, tekatnya sudah bulat, apa pun resikonya kan dirinya tanggung.
“Permisi pak,” ucap Kinan setelah mengetuk pintu bercat hitam itu sebanyak tiga kali.
“Ada apa Kinan?” tanyannya setelah mempersilahkan Kinan dduduk di hadapannya.
“Saya minta maaf pak, untuk beberapa hari ke depan saya tidak bisa bekerja karena mama saya sedang sakit,” jelas Kinan.
Lelaki itu mengangguk, “Tidak apa, tapi setelah mama kamu sembuh kamu harus semakin giat bekerja. Lalu, apa keperluan kamu kemari?”
Kinan mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dari ruangan itu lalu mengembuskannya secara perlahan. “Saya ingin meminjam uang pak,” ucap Kinan. “Nanti untuk menyicilnya, bapak bisa memotong gaji saya selama beberapa bulan,” sambung Kinan cepat.
Lelaki itu memincingkan sebelah alinya. “Kamu yakin?” tanyannya, wajahnya menyiratkan ketidak percayaaan.
“Yakin pak, diri saya sendiri sebagai jaminannya. Jika saya melanggar janji saja, bapak boleh melaporkan saya ke polisi.”
Lelaki itu tertawa lepas. “Aku hanya menggodamu Kinan, jangan terlalu serius,” ucapnya. Lelaki itu nampak membuka laci di meja kerjanya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
“Ambilah, saya akan memotong gaji kamu beberapa bulan ke depan.”
Binar kebahagiaan seketika muncul di wajah Kinan. Sungguh Kinan tidak percaya. Uang yang selama ini dirinya impikan sudah nyata ada di depan mata.
“Terima kasih, pak. Saya berjanji akan lebih giat bekerja,” ucap Kinan di dalam hatinya tidak henti mengucapakan rasa syukur. “Kalau begitu saya permisi ya pak.”
“Silahkan.”
Kinan bergegas beranjak dari tempatnya. Namun, sebelum itu Kinan memberikan salam sopan kepada lelaki itu.
***
“Dell, lo lagi di mana?” tanya seseorang yang berada di sebrang sana.
“Mau ngapa lo?” tanya Della jutek.
“Gua mau nanya, Kinan di mana?” tanyannya lagi.
“Gua lagi di rumah sakit dan Kinan lagi pergi,” jawab Della sembari mengunyak keripik singkong yang baru dibelinya tadi.
“Rumah sakit? Siapa yang sakit?” tanya Gavin penuh penasaran.
“Mamanya Kinan, sakitnya kambuh lagi,” jawab Della yang masih tidak henti memasukkan keripik singkong itu ke dalam mulutnya.
“Rumah sakit mana? Biar gua bisa jenguk.”
“Nanti gua kirimin alamatnya.”
“Ya udah, gua tutup dulu.”
Della memincingkan sebelah alisnya ketika sambungan telepon itu terputus dan Gavin memutuskannya tanpa menunggu jawabannya. Padahal ada sesuatu hal yang ingin Della tanyakan.
Tidak berselang lama, Kinan pun datang dengan membawa beberapa makanan ringan dan bubur untuk Zena.
“Abis dari mana lo?” tanya Della ketika melihat Kinan menutup pintu kamar bercat putih itu.
Kinan menghempaskan tubuhnya di atras sofa yang telah disediakan. Tubuhnya begitu lelah seakan habis berjalan dari kaki gungng menuju puncaknya.
“Gua abis bayar administrasi,” jawab Kinan setelah beberapa menit terdiam.
“Alhamdulillah. Lo dapet pinjeman dari mana?” tanya Della lagi.
“Ada lah,” jawab Kinan sekenannya.
Della hanya menggedikkan bahunya bertanda gadis itu sudah tidak mengharapkan jawaban lebih dari Kinan.
“Makasih ya, lo udah jagain mama gua,” ucap Kinan tulus. “Ada kabar apa lagi dari dokter?” sambung Kinan bertanya.
“Tadi tante Zena sempat diperiksa dan kata dokter udah ada kemajuan,” jawab Della menyampaikan kabar apa saja yang dokter ucapkan kepadanya.
“Alhamdulillah, gua lega dengernya.”
Keduanya saling terdiam. Namun, beberapa menit kemudian keheningan itu berubah menjadi kegaduhan ketika Gavin dan Pipin datang berkunjung.
“Assalamualikum.” Gavin membuka pintu bercat putih itu dengan lebar.
“Waalaikumsalam,” jawab Della dan Kinan bersamaan.
Della mendengus kesal ketika Pipin juga ikut bersama Gavin. Della sudah merasakan aura-aura tidak kondusif mulai tercium di ruangan itu.
Akan tetapi, berbeda dengan Kinan, gadis itu menatap Della penuh selidik dan tanda tanya besar. Kinan seratus persen yakin pasti dalang di balik datangnya Gavin dan Pipin adalah Della.