Kedua kaki Agatha bergerak untuk menggeser tubuhnya. Mencari sandaran tetap yang tak bergerak. Dinding rumah menjadi sasarannya. Akan tetapi, ketika kaki kanannya melangkah satu langkah ke kiri, tiba-tiba terjadi sesuatu yang membuatnya sedikit terkaget. Tangannya langsung meraih dinding untuk menjaga keseimbangan. Ternyata, di sana ada sedikit air yang menggenang.
“Perasaan tidak hujan, lalu air apa ini?” tanyanya dalam batin.
Kakinya kembali melangkah menuruni tangga. Mencari sebuah kain lap untuk menghapus sisa air yang jatuh entah dari mana. Dia takut jika tidak segera dihilangkan, akan menyebabkan petaka untuk orang lain, termasuk Elizha.
“Tha, kenapa?” tanya Elizha yang berjalan dari arah dapur.
“Ada air. Tapi, gak tahu air apa.”
Elizha mengangguk lalu melanjurkan untuk berjalan ke arah depan. Sebuah rutinitas baginya, duduk di teras sembari menikmati udara segar dan memanjakan mata. Melihat penjual keliling yang berlalu lalang. Katanya, biar turut menikmati makanan tanpa membelinya.
Agatha hanya bisa melihat punggung ibunya yang telah menjauh. Tidak lama kemudian, Agatha menaruh kain lap ke kamar mandi belakang. Di masukkannya ke dalam ember khusus untuk peralatan kebersihan.
“Hari ini benar-benar penat, ya, Tuhan.” Agatha membuka pintu kamarnya yang terletak di lantai dua. Melepas tasnya lalu diletakkan di atas meja samping ranjang. Kakinya melangkah masuk ke kamar mandi untuk memanjakan diri di bawah air hangat yang terjun bebas dari shower.
Lima belas menit kemudian, Agatha telah selesai membersihkan diri. Kemudian melangkah ke meja riasnya. Di atas kepalanya masih ada handuk kecil yang membalut rambut panjangnya. Dia duduk dengan sopan lalu mengambil beberapa produk skincare miliknya. Tangannya mulai menggunakan produk-produk itu sesuai dengan urutannya. Setelah selesai, Agatha melepas handuk dari kepalanya lalu menyisir rambutnya dengan penuh kelembutan.
“Akhirnya ... badan bisa terasa enteng,” katanya sembari duduk di atas ranjangnya. Di tangan kanannya telah siap sedia untuk menerima pesan dari Zakaria.
Jarinya telah siap bergerilya. Ponsel pun telah menyala kembali. Tapi, tiba-tiba ada suara aneh dari depan pintu kamar. Akhirnya, Agatha meletakkan kembali ponselnya ke atas meja di sampingnya. Perlahan, dia berjalan ke arah depan. Suara itu terdengar jelas. Seperti ada suara bayi menangis. Secara langsung, bulu-bulu dalam lengannya berdiri tegak.
“Suara bayi? Bukankah di rumah hanya ada gue sama Mama,” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Pada saat pintu kamar terbuka, ternyata ada seekor kucing yang berdiri di sana. Kucing milik Agatha yang diberi nama Leo. Kucing berwarna kuning-orange yang ternyata pandai akting. “Astaga, aktingmu begitu epiknya. Sampai aku kira suara siapa.” Agatha menggendong kucingnya ke kamar.
Agatha duduk di pojok kamar dengan beralas karpet bulu berwarna cokelat keabu-abuan. Duduk bersama Leo di sana. Tidak lama kemudian, Agatha mendengar ponselnya berdering tanda ada panggilan yang masuk. Agatha berjalan mengambil ponsel tersebut. Ternyata ada panggilan video dari Zakaria.
“Pusing? Pusing kenapa, Tha? Aku ke rumah, ya?” katanya.
“Aku chat, ya. Lagi malas bicara, ha ha ... “ jawabnya.
Agatha mematikan sambungannya. Wajah Zakaria pun telah menghilang dari layar. Agatha membuka aplikasi chatting.
“Aku pusing, sebab organisasi di kampus sedang merencanakan sebuah mini konser untuk penggalangan dana. Tapi, modalnya terbatas. Aku tidak keberatan jika harus menjadi pengisi acara. Tapi, tetap saja, kan, instrumen musik kalau harus menyewa menambah modal.” Agatha mengirimkan pesan tersebut.
“Tha, itu saja masalahnya? Acaranya kapan? Nanti aku sumbangkan buat pengisi acara. Tenang saja, gratis. Apa pun yang kamu lakukan asalkan baik dan ada pada jalan Tuhan, aku pasti bakal bantu,” balasnya.
Agatha tengkurap menggunakan bantal sebagai tumpuannya. Tangannya berusaha meraih jepitan biru miliknya. Menggulung rambutnya lalu menjepitnya untuk membuang keringat. Malam ini udara sangat panas.
“Oke. Nanti aku kabari. Kamu lagi apa sekarang?”
“Lagi main sama si anu,” balas Agatha.
“Anu? Anu apa? Tha, jangan aneh-aneh, ya!”
“Eh maksudku si Leo, kok.” Agatha tersenyum. “Zaki, besok ketemu, ya?”
“Leo? Kamu main mendua di belakangku?”
“Mendua kan judul lagu. Zaki, kangen ih,” jawab Agatha.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Zakaria membalas pesannya. “Iya. Bentar, aku lagi bantu Zahra. Eh, nenenin.”
“ZAKI! Jangan aneh-aneh, deh. Maumu apa, hah?”
Agatha mendudukkan diri. Pikirannya kesal dengan kata-kata yang terketikkan di dalam pesan itu. Membuang asal ponselnya lalu beranjak ke meja belajarnya. Mengambil sebuah buku lama yang digunakan untuk menuliskan syair-syair keresahan hatinya.
Membaca syair-syair itu kembali, membuat tangannya gatal agar segera mengambil gitar akustiknya. Gitar pemberian dari Sandra beberapa tahun yang lalu. Perlahan, jemarinya dengan nakal memetikkan senar gitar. Musik, salah satu tempat pelampiasannya ketika merasa resah dan emosi.
“Sial, kenapa sih jadi memberikan efek ke gue. Ayolah, Agatha berpikir yang positif. Bisa saja hanya salah ketik!” teriaknya sembari melempar gitar ke kasurnya. Mengambil obat merah untuk mengobati jemarinya yang terluka teriris senar gitar yang kasar.
Agatha duduk di lantai sembari bersandar pada ranjang kasurnya. Menyelonjorkan kakinya untuk mencari posisi yang ternyaman. Sesekali menekuknya. Menyembunyikan kepala di sana. Mencari sebuah ketenangan dalam dirinya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras seperti hujan badai di atas wajahnya. Entah, membaca pesan itu rasanya sakit seakan tersayat ribuan kali oleh rotan.
Agatha melepas jepitan dari rambutnya. Sorot matanya ke arah Leo—kucing peliharaannya—yang tengah berdiri di pojok ruang sembari mengamati Agatha seakan mengerti jika sang majikan sedang merasa sedih.
Agatha berjalan ke arah Leo. “Leo, jangan pergi tinggalkan gue.”
Agatha menggendong Leo keluar dari kamar. Membawanya ke halaman belakang. Memasukkannya ke kandangnya. Di sana tidak hanya ada Leo, tapi juga ada Axel—anjing peliharaan Agatha yang dibawa pulang dari jalanan. Mereka di tempatkan dengan kandang yang terpisah.
Agatha memberi mereka makan malam lalu pergi kembali ke kamarnya. Merebahkan diri di kasur dengan perasaan yang masih campur aduk. Dia masih enggan untuk membuka ponselnya lagi.
“Agatha, ingat ayo ingat! Dunianya bukan hanya lu. Tapi, ada hobi, karier, sahabat, keluarga, dan lainnya. Positif terus saja, jangan berpikir negatif. Percaya Zaki tidak akan melakukan di luar batas wajar!” teriaknya sembari memegang rambutnya dengan kedua tangan. Berusaha untuk membuat diri yang tetap tenang dan tegar.
Tidak lama kemudian, ponselnya berdering. Ada panggilan dari Zakaria. Agatha mengambil ponselnya, tidak untuk mengangkatnya. Agatha membiarkan panggilan itu tidak terjawab. Jemarinya asyik melihat isi akun dari bintang Korea. Tidak dipungkiri, Agatha juga sama dengan orang-orang pada umumnya yang menyukai bintang Korea. Agatha merasa tidak nyaman dengan Zakaria yang berterus-terusan memanggilnya.
“Ada apa lagi? Bukankah kamu lagi asyik dengan Zahra?” tanya Agatha tanpa mengucapkan salam atau menyapanya.
“Kenapa marah?” tanyanya tanpa dosa. “Oh gara-gara chat itu. Tha, maaf, itu typo. Aku lagi nemenin Zahra di Sawangan buat syuting. Besok ketemu di mana?”
“Oh iya. Aku pikir ... Zaki, aku percaya sama kamu. Aku tidak akan membatasi kamu dalam bergaul dan berteman. Aku tidak melarang kamu untuk melakukan apa pun. Asalkan, kamu tetap menjaga batasan normal. Jangan neko-neko dan tetap ingat sama Tuhan. Intinya, jangan pernah buat aku kecewa dengan tingkah yang di luar dugaan. Aku mau pergi ke beberapa tempat. Besok jemput di rumah, ya.” Agatha menampakkan gigi ke arah kamera agar Zakaria melihatnya begitu bahagia. Walau sempat terkena emosi, hanya gara-gara jari yang meleset di atas papan selancarnya.
“Siap, Sayang.”
Agatha menutupi wajahnya yang memerah. Panggilan sayang yang tidak setiap saat bisa keluar dari bibirnya. Sungguh, hal itu membuat Agatha terbuai tujuh keliling. Mampu mengocok perasaan dalam hatinya.
“Tha, ci .... “