Luka, Apa Perlu Diobati?

1147 Words
Agatha telah duduk di bangkunya. Telah siap untuk mengikuti pembelajaran pagi ini. Menurut jadwal, akan diisi dengan materi tentang manajemen. Tentu saja, Agatha bergegas mengeluarkan bukunya sebelum sang dosen masuk ke ruang kelasnya. Akan tetapi, tiba-tiba jadwal diganti dengan adanya bimbingan konseling bersama dosen magang. “Selamat pagi dan semangat pagi,” sapanya sembari melangkah ke arah meja dosen. “Baik, sebelumnya saya akan memperkenalkan diri. Sebab, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Tapi, sayangnya tidak ada yang sayang. Sekalinya sayang, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Sudah, cukup. Baik nama saya, Ardi. Dosen magang dengan study konseling.” Receh, bu-cin, dan humor. Mungkin itu yang akan terbesit di dalam pikiran mahasiswa ataupun mahasiswi. Termasuk Agatha. Tapi, dosen dengan tipikal seperti itu yang disukai oleh muridnya. Bukan tanpa sebab, sebuah lawakan dari dosen akan membuat suasana di kelas tidak tegang. Akan memberikan sebuah kenyamanan di dalamnya. “Nah, apakah pernah yang mendapatkan perlakuan toxic?” tanyanya. “Hampir semua manusia pasti pernah mengalami hal itu. Tapi, hari ini bukan permasalahan tentang itu yang akan saya bahas. Silakan jika ada yang ingin menyampaikan sebuah perlakuan toxic?” Dosen magang itu tampak melihat absensi yang ada di kertas itu. Kertas HVS yang di masukkan ke dalam map berwarna biru. “Baik, Agatha Pricilla ... boleh untuk bercerita singkat tentang toxic.” Matanya tampak mencari-cari sang pemilik nama. Beberapa detik kemudian, mata mereka bertemu. “Namanya saya seperti mengenalinya,” sambungnya. Agatha mengangkat tangannya. Sebagai rasa hormat terhadap dosennya. Walau hanya magang, tapi tetap saja harus dihormati. Agatha berdiri agar terlihat oleh dosen. “Saya Agatha Pricilla, Pak. Berbicara soal toxic atau perlakuan buruk dari orang lain. Toxic tidak hanya terjadi dari pasangan, tapi bisa saja dari teman, kerabat, bahkan keluarga sendiri. Perlakuan buruk yang pernah saya alami adalah adanya tekanan batin yang diberi oleh seseorang yang tidak saya kenal. Saya sebagai publik figur, sudah dipastikan akan banyak warga net yang mencari saya untuk mengumpat atau menyakiti batin saya. Tapi, apakah dampak dari toxic atau rasa trauma yang menyebabkan adanya hati yang terluka, itu perlu untuk diobati?” “Pertanyaan yang bagus. Benar, adanya perilaku yang toxic, adanya perlakuan bullying itu akan menyebabkan sebuah tekanan. Menyebabkan adanya kata luka. Tidak bisa kita mengucapkan kalimat aku wis ora gagas kata luka seperti lirik lagu milik Denny Caknan itu. Sebab apa? Sebuah luka itu harus disembuhkan. Ibaratnya adalah fisik manusia. Apabila ada yang terluka akibat terbentur, jatuh, dan lainnya, pasti akan segera mencari obat agar tidak infeksi. Apalagi masalah hati atau batin. Perlu untuk diobati dan disembuhkan agar kesehatan mental tetap terjaga. Lalu caranya bagaimana? Itulah tugas kalian hari ini. Uraikan apa yang ada dalam pikiran kalian. Tanpa mencari di internet. Tuliskan secara essay di selembar kertas.” Agatha melongo sembari memainkan penanya. Pikirannya terus berpikir untuk mencari kata-kata yang sederhana untuk mengerjakannya. Katanya, sebuah tekanan batin harus disembuhkan. Tapi, kali ini justru membuat tekanan batin baru dengan mengerjakan tugas ini tanpa adanya referensi yang jelas. Agatha mulai menuliskan pendapatnya. Sebuah cara yang menurutnya benar. Sebuah self-healing yang selama ini ampuh ia gunakan. Memang benar, sebuah kesehatan mental juga penting, di samping pentingnya menjaga kesehatan fisik. Tapi, jauh lebih sulit mengobati rasa luka yang terjadi dalam kebatinan. Sebab, obat yang ampuh hanya berasal dari diri sendiri. “Baik, terima kasih atas jawaban yang sudah tertuang dalam lembaran ini. Kalian tenang saja, tugas ini tidak akan memengaruhi nilai kalian. Baik, dari konseling hari ini, apakah ada yang ingin dibahas lagi atau mungkin ada yang ingin cerita dengan saya?” tanyanya. “Pak apakah boleh dijelaskan atau diberi cara agar bisa menerapkan self-healing?” kata salah saru mahasiswi yang duduk di depan meja dosen. “Boleh. Jadi, self-healing bisa dikatakan sebagai proses penerimaan diri sampai akhirnya bisa menyembuhkan luka batin. Cara paling efektif sebenarnya dari diri sendiri. Karena apa? Orang yang paling mengerti dengan kita, ya, diri sendiri. Tapi, saya punya sebuah tips yang boleh dicoba. Saya kasih selembar kertas ini untuk kalian. Boleh digandakan,” katanya sembari merapikan barang-barangnya. “Sampai jumpa kembali dilain waktu,” sambungnya sembari pergi meninggalkan kelas. Di kertas itu ada beberapa tulisan dengan cara menyembuhkan luka dalam batin. Tapi, dua hak yang sangat dekat dengan keseharian, yaitu menerima diri sendiri dan memaafkan diri sendiri. Kenapa Agatha menyebutkan dekat? Sebab, banyak orang yang tidak bisa menerima dirinya, terlebih pada kekurangan dan kelemahannya. Padahal, tidak akan ada kelebihan jika tidak ada suatu kekurangan. Terkadang dalam hidup, kita harus menerima kekurangan yang ada di dalam diri kita untuk bisa menggali bakat yang ada. Terkadang, ada juga manusia yang dengan mudah memaafkan orang lain, tapi sulit untuk memaafkan berbagai kesalahan untuk dirinya sendiri. Padahal, perlu untuk bisa memaafkan diri sendiri agar bisa merasakan sebuah kata lega dan bahagia. Waktu telah menunjukkan saat yang tepat untuk istirahat. Ada sebuah rutinitas Agatha selama masuk kuliah. Mengikuti organisasi yang bergerak dalam bidang agama Kristen. Sebuah organisasi yang membahas seputar agama dan mengamalkannya dengan kegiatan peduli sosial. “Tha, tahun ini kita harus membuat apa?” tanya ketua organisasi. “Ada ide kah?” “Bikin mini showcase bagaimana? Gue ikhlas mengisi acaranya. Nanti bisa ajak teman-teman gue . Tapi, tetap saja kita harus mengeluarkan modal. Jadi, keuntungan kita dari sponsor dan penjualan tiket.” Agatha duduk sembari membenarkan posisi kucir kudanya. “Boleh, sih. Tapi, biaya modalnya bagaimana? Uang kas kita kan pastinya tidak bisa menutup.” Agatha terdiam sejenak. Jemari telunjuk tangan kanannya terangkat menyentuh dagu. Sesekali menundukkan kepala untuk mencari ilham. “Sisanya kita patungan bagaimana?” “Tha, untuk pengisi acara apa gak bisa cari yang gratisan? Jadi, tinggal mengeluarkan uang untuk panggung dan instrumen musiknya saja.” “Makanya, gue bisa jadi pengisi acara. Tapi, kan tidak mungkin tanpa ada band yang mengiringi. Apa ada yang bisa main musik? Kita bentuk band sendiri. Gue vokal merangkap gitaris juga gak apa. Tapi, ya, kaya yang kalian tahu, permainan gitar gue belum terlalu matang.” Mereka telah sepakat dengan itu. Sebuah acara mini konser untuk mencari penggalangan dana guna membantu korban bencana maupun orang yang membutuhkan biaya hidup. Sebuah kegiatan tahunan yang sudah berjalan selama beberapa periode. Agatha bersyukur, dengan adanya organisasi itu membuat matanya terbuka. Bahwa banyak manusia yang hidup serba kekurangan, jadilah manusia yang selalu bersyukur dengan yang dimiliki. Sebab, apa yang kita punya, mungkin ada orang lain yang juga sedang mengharapkannya. Agatha kembali ke rumah. Acara di kampusnya hari ini membuat sedikit penat di kepalanya. Apalagi, sebuah project yang akan dilaksanakan bersama organisasinya, benar-benar menguras otak. Mencari penggalangan dana dengan cara yang halal. Cara yang jauh dari kata minta-minta. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk mencari keuntungan dengan usaha. Sebuah pertunjukan mini konser bersama Agatha. “Tha, kok tidak bisa dihubungi dari pagi?” tanyanya melalui pesan teks. Agatha menghentikan kakinya di tangga urutan ketiga dari bawah. Bibirnya tidak berhenti tersenyum kala mendapati pesan yang begitu berarti. Seakan pesan yang menggambarkan rasa kekhawatiran dari kekasihnya. “ZAKI AKU PUSING!” balasnya.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD