Daffodil

1371 Words
Agatha berjalan ke arah gorden. Perlahan jemarinya memegang gorden berwarna cokelat muda itu. Tak terasa semilir dingin merambat ke kulit tangannya. Secepat kilat tangannya membuka gorden. Tidak ada siapa-siapa, bahkan bayangan-bayangan seperti yang ada dalam benaknya pun tidak ada. Kakinya melangkah kembali ke ranjang. Pikirannya masih beterbangan ke mana-mana, tidak tahu arah dan tujuan. Bulu-bulu di lengannya terangkat dengan rapi. Kedua telapak tangannya saling menyilang untuk menenteramkan dirinya. Tidak lama dari itu, terdengar petir yang menyambar. Kakinya kembali turun dari ranjang. Berlari kecil-kecil untuk meraih kabel USD yang masih terpasang dengan laptopnya. Tidak lupa, tangan putihnya meraih kabel yang masih terhubung dengan televisi di kamarnya. Semua aliran listrik di rumahnya ia matikan. Lima detik kemudian, hujan turun membasahi bumi. Seperti dengan pipinya yang telah basah akibat derai air mata. Ternyata, hanya angin kencang yang menggoyangkan gorden kamarnya. Ah, penakut! Memang, Agatha begitu takut dengan sesuatu. “Sial, ternyata ... hanya angin. Gue kira poci yang tiba-tiba tembus dari kaca jendela,” ujarnya sembari mengusap air matanya. Krek .... “Cil, temani Mama,” kata Elizha yang sedang berdiri di ambang pintu. Agatha melihat ke arah wanita separuh baya itu. Bibirnya menciptakan hasil karya yang begitu indah, senyum. Sebuah senyuman termanis milik Agatha untuk sosok ibunya. Wanita dengan daster warna kuning itu berjalan ke arah Agatha. “Ya Tuhan, Cilla .... “ “Mama, jangan panggil Cilla. Panggilnya ... Sayang aja, ya,” ucap Agatha sembari merengkuh pundak ibunya yang telah duduk di tepi ranjangnya. “Kang kasir saja. Eh, Mbak kasir,” jawabnya sembari menyilakan rambut putihnya. Kenapa, ya, seiring bertambahnya usia, maka rambut dan tubuh manusia akan berubah? Rambut akan menjadi putih yang sering disebut bakwan, eh, uban. Kemudian, kulit-kulit orang tua akan mengendur dan tampak keriput. Akan tetapi, sebuah rasa sayang kepada anak-anaknya tidak akan pernah berubah, walau tubuhnya sudah tak kuat lagi. “Mam, maaf, kalau Agatha belum bisa membahagiakan Mama dan Papa yang sudah tenang di sisi Tuhan.” Agatha berjalan ke arah gorden yang telah basah karena terkena air hujan yang kabur dibawa oleh angin yang sepoi-sepoi. Tangannya mengangkat gorden ke atas untuk melihat cuaca di luar sana. Beruntung, tidak terjadi angin ribut yang menumbangkan pohon atau petir yang menyambar ke aliran listrik dan jaringan internet. Kalau andai saja hal itu terjadi, sudah dipastikan besok Agatha akan berada di ranjang selama satu hari penuh. Sebab, tidak bisa melakukan recording. “Baiklah, kalau sudah tidak mau dipanggil Cilla, Mama bakal memanggilmu dengan sebutan Agatha. Supaya sama dengan temanmu.” Terdapat seulas senyum di ujung bibirnya, walaupun terpaksa. Sebab, panggilan ‘Cilla’ merupakan sebuah panggilan untuk Agatha dari Elizha sejak bayi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Agatha tidak ingin mendapatkan panggilan itu lagi. Dia merasa malu dengan panggilan itu. Sekalipun kata itu ada dalam namanya. “Mama bahagia dengan prestasimu selama ini. Papa pun pasti telah bahagia di sisi Tuhan Yesus dengan melihat kedua putrinya sukses di bidangnya masing-masing. Pesan dari Mama, selalu akur dan damai, ya, sama Mbak Sandra,” sambung Elizha sebelum akhirnya kembali ke kamarnya. Kehilangan seseorang yang begitu disayangi oleh Agatha adalah titik terpuruk dalam hidupnya. Seorang ayah yang selalu menjadi pendekar dan pahlawannya telah pergi sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi, hal itu tidak membuatnya berlarut dalam kesedihan. Agatha bisa bangkit karena pesan dari ayahnya. “Nak, kalian harus sukses di bidang yang kalian sukai. Papa tidak akan menuntut kalian untuk menjadi A atau B, akan tetapi Papa akan mendukung kalian di bidang yang kalian mau. Pricilla, terus berlatih dalam mengolah vokalmu. Suatu saat kamu akan menjadi seorang musisi hebat yang punya banyak karya. Sandra, jadilah kakak yang bisa dibanggakan oleh adikmu. Papa yakin kamu bakal menjadi orang sukses juga. Kalian harus saling mendukung, jangan pernah lupakan jasa Ibu dan saudara kalian ketika sudah sukses kelak. Sebab, orang pertama yang akan menjadi pendorong kesuksesan adalah keluarga.” Tidak lama kemudian, ayah Agatha menghembuskan napas terakhirnya. Dia meninggal dikarenakan penyakit yang telah menghambat pernapasannya. Biar dia pergi, tapi hati dan rasa sayangnya akan selalu melekat di dalam jiwa anak dan istrinya. “Sudah, sekarang tidurlah. Besok kamu ada jadwal buat rekaman.” Elizha beranjak keluar dari kamar Agatha. Setelah Elizha pergi, Agatha tidak bisa memejamkan matanya. Bukan hal baru baginya, memang jam tidur yang tidak teratur telah melekat dalam kehidupan malamnya. Di saat orang lain tertidur, dia masih sibuk bersama buku dan penanya. Jarinya memainkan pena di atas kertas putih untuk merangkai kata. Bukan hanya sebatas kata-kata mutiara atau bait-bait puisi, melainkan sebuah rangkaian kata yang mengalun menjadi rangkaian syair lirik lagu yang indah. Bahagia, merupakan sebuah kata yang tak asing untuk didengar. Tapi, sangat sulit untuk benar-benar diraih. Terkadang, ada seseorang yang mampu mengklaim dirinya bahagia, padahal hatinya rapuh. Sering tersedu dalam isak tangis atas beban yang ada dalam hati dan pikirannya. Bahagia tidak bisa diraih dari orang lain atau suatu benda, akan tetapi bahagia akan terasa kala diri kita memainkan sesuatu yang disukai. Agatha bahagia dengan jemarinya yang menyukai untuk menari dengan eloknya di atas kertas putih atau petikan senar gitar untuk merangkai melodi. Tak terasa malam telah larut. Bahkan, hari telah berganti. Akan tetapi, mata Agatha belum juga terpejam sembari terbaring di atas tempat tidur. Mungkin, Agatha mengidap insomnia? Hampir tiap hari seperti itu. Dia begadang bukan hanya sekadar memainkan ponsel untuk memainkan sosial media. Akan tetapi, Agatha menciptakan sebuah karya untuk menghibur para penggemarnya. Sekitar pukul tiga dini hari, Agatha menghentikan aktivitasnya untuk tidur. Sampai akhirnya, dia terbangun tepat di pukul delapan pagi. Dia beranjak lalu masuk ke kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Mengambil handuk yang tersampir di belakang pintu kamar mandi, dia mengakhiri ritual pagi harinya. Setelah selesai membersihkan diri dan melipat selimut, Agatha keluar dari kamar. Kakinya dengan sabar menuruni tangga demi tangga. Seakan permainan ular tangga, kini kakinya sedang mengalami fase mendapatkan gambar ular. Sampai tak terasa, kakinya telah sampai di tangga paling akhir. “Selamat pagi, Mama.” “Pagi juga, ayo sarapan. Oh iya, kamarmu sudah dibereskan? Kalau belum, bereskan dulu. Biar tidak gemuk,” kata Elizha. “Ih, itu penelitian dari mana lagi, Ma?” tanya Agatha yang sedang duduk di ruang makan. “Ya, tidak tahu. Tapi, sempat baca di salah satu ... Apa sih namanya?” “Postingan, Ma,” jawab Agatha sembari menyendokkan satu sendok nasi ke piringnya. Di atas meja terdapat beberapa menu yang menjadi kesukaannya. Terdapat nasi putih, tempe dan tahu bawang-garam, tumis kangkung, dan kerupuk bawang. Sebuah menu yang sederhana, akan tetapi begitu nikmat. Sebab, dimasak dengan penuh cinta oleh tangan seorang ibu. Percaya atau tidak, masakan seorang ibu tidak akan terkalahkan oleh masakan chef terkenal sekalipun. “Nah, itu. Silakan makan, ya. Mama tadi sudah makan. Kalau harus menunggumu, ya, Mama mengkis-mengkis karena kelaparan. Orang kamu tidurnya kaya kebo. Kalau belum ada petir belum bangun.” “Ha ha, iya, petir dari mulut Mama, kan? Terus kalau belum ada matahari yang berhasil nongol di jendela kamar juga bakal belum bangun. Namanya juga anak muda, Ma.” “Halah, anak muda, ya, memang. Tapi, ya, tolong dong, kamu ini anak perempuan, bangun itu harus pagi. Jangan menunggu Mama ngoceh baru bangun. Masa iya, pas udah tinggal di rumah mertua, bangun tetap siang.” Elizha berdiri di samping kursi. Tidak lama kemudian, dia pergi dari ruang makan. Kakinya berjalan untuk mengambil selang guna menyiram tanaman. “Mama, itu kok bawa selang, Mama mau mencucikan mobilku?” tanya Agatha dengan penuh rasa percaya diri. Percaya diri memang wajib untuk diterapkan dalam jiwa manusia. Tapi, kalau terlalu berlebihan, jatuhnya seperti orang hilang kendali. Sebab, sebuah rasa percaya diri sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Misalnya, dalam dunia kerja, seseorang harus memiliki rasa percaya diri agar bisa menarik simpati dari calon pelanggan. “Buat menyiram wajahmu. Biar bersih,” jawabnya asal. “Mama!” teriak Agatha mengikuti langkah kaki Elizha. Agatha telah siap dengan tas gendongnya. Tas berwarna hitam yang selalu dibawa ketika pergi untuk melakukan pekerjaannya. Akan tetapi, Elizha masih sibuk dengan tanaman bunganya. “Mama, sudah terlambat!” teriaknya. “Ya sudah berangkat saja sendiri. Mama belum selesai.” “Ma, masa iya Agatha berangkat sendiri?” “Ga pa-pa, biar diculik,” jawabnya sembari tertawa kecil. Elizha mematikan keran air. Kemudian melangkahkan kakinya untuk mengambil tas dan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan Agatha. “Agatha, ini kok hilang?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD